Hujan baru berhenti. Tanah masih basah, udara pun dingin menusuk. Namun, keadaan ini tak menjadi penghalang bagi puluhan masyarakat adat Matteko untuk beraktivitas. Laki-laki dan perempuan. Mereka melintasi padang, menerobos hutan menggunakan sepatu boot. Ada hal besar harus mereka tuntaskan hari itu: memetakan kawasan hutan adat, tempat mereka berdiam selama ini.
Pemetaan hutan adat Matteko, di Kelurahan Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel), salah satu program advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel. Sejak 2012, mulai persiapan namun baru mendapatkan momentum, seiring terbit keputusan MK No 35/PUU/X/2012 yang menguatkan pengakuan terhadap hutan adat.
Pemetaan ini sebenarnya hanya memerlukan 20-an orang, tetapi hampir seluruh warga Matteko antusias ikut.“Ini pemetaan kawasan hutan adat teramai yang pernah kami lakukan,” kata Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel. Dia tersenyum puas. Udara dingin membuat suaranya sedikit bergetar.
Dia mengatakan, pemetaan selama seminggu, 17-24 Juli 2013, merupakan klarifikasi hasil pemetaan Maret 2013. Dari hasil perbaikan peta ini, akan disusun rencana tata ruang wilayah, lalu diberikan kepada Pemerintah Gowa untuk diintegrasikan pada RTRW kabupaten.
Antusiasme masyarakat mengikuti pemetaan ini, kata Sardi, tak lepas dari sejarah konflik dan kriminalisasi panjang yang mereka alami. Hutan adat mereka kini menjadi hutan pinus.
“Sudah lama warga marah dan tersingkirkan karena hutan adat mereka dijadikan hutan pinus oleh pemerintah. Banyak ditangkapi dan dipenjarakan hanya karena mengambil kayu untuk kebutuhan dasar hidup. Meski kayu dari pohon tumbang.”
Sejarah kriminalisasi warga sudah terjadi sejak lama. Nasrum, Divisi Hukum dan Advokasi AMAN Sulsel, mengatakan, hasil kajian setahun terakhir ini menunjukkan, salah satu isu utama di kawasan adat Matteko adalah sejarah panjang kriminalisasi dan tipu daya pemerintah dalam pengelolaan hutan.
Tidak hanya terjadi masa awal ekspansi pinus di kawasan itu, sekitar 1977-1979, tetapi sampai sekarang kriminalisasi masih terjadi. Nasrum mencatat, upaya perampasan tanah adat Matteko berawal dari Dinas Kehutanan (Diskhut) Gowa tahun 1977 masuk program pembibitan pinus. Awalnya, Dishut membagikan bibit pinus untuk dikelola warga. Karena ada upah dan iming-iming pengelolaan pinus kelak jika sudah besar, warga pun sukarela proses pembibitan itu.
Dua tahun kemudian, tahun 1979, ketika bibit-bibit siap tanam, Dishut pun memerintahkan bibit ditanam dalam hutan. Awalnya, warga tak menanami kawasan-kawasan datar agar bisa untuk berkebun. Namun, Dishut memaksakan. Mereka menjanjikan, kayu-kayu pinus itu kelak bisa dimiliki dan digunakan warga.
Saat itu, informasi terbatas dan ada tekanan, wargapun ikut keinginan Dishut. Nyatanya, pinus yang ditanam masyarakat Matteko menjadi kawasan hutan homogen, tak bisa diakses warga. “Ruang kelola masyarakat makin terbatas dengan keberadaan hutan pinus ini.”
Abdul Jabbar, tokoh adat Matteko, mengatakan, setelah pinus besar, masyarakat Matteko dilarang mengelola lahan. Apabila ada yang masuk mengelola dan mengambil pinus, ditangkap orang Kehutanan. “Akhirnya kami semua sekarang sudah tidak ada lagi lahan untuk mencari hidup dan lahan tempat tinggal.”
Keberadaan hutan pinus yang menjadi kawasan hutan produksi terbatas ini malah diberikan hak kelola kepada perusahaan, PT Adimitra Pinus Utama. Tak sedikit pun hasil dirasakan oleh warga. Terlebih, pinus ini menyebabkan tanaman lain tidak bisa tumbuh. ”Akhirnya sebagian besar warga kami mencari lahan di luar dusun dan desa, di Kelurahan Tamaona, sekitar empat kilometer dari tempat ini,” katab Jabbar.
Penyadapan getah pun tak berarti. PT. Adimitra, kata Jabbar, hanya membeli getah pinus dari penyadap dengan harga murah, Rp2.500 per kg. Dalam satu bulan, penghasilan masyarakat dari menyadap sekitar Rp500 ribu. “Itu pun efektif hanya di Juli-Oktober, karena November-Februari memasuki musim hujan. Pada Juni-Juli itu masyarakat biasa turun ke sawah karena telah memasuki musim tanam.”
Keberadaan PT Adimitra bahkan menjadi masalah tersendiri. Mereka kerap mengkriminalisasikan warga yang mengambil sisa-sisa kayu di sekitar hutan pinus untuk keperluan kayu bakar, bahkan dari pohon tumbang sekalipun.
Masalah lain, suplai air mengairi sawah yang dikelola warga, makin kurang diduga keberadaan hutan produksi terbatas yang hanya pinus.“Dulu sebelum ada pinus, air banyak sekali. Sekarang, kita sudah setengah mati mendapatkan air, bahkan sering kering. Padahal luas sawah itu-itu saja dari dulu,” kata Jabbar.
Dusun Matteko, satu dari tujuh dusun di Desa Erelembang, Kecamatan Tombolo Pao, Gowa. Ia terdiri dari dua rukun keluarga (rukun warga) dan empat rukun tetangga. Secara geografis, kawasan Matteko memiliki bentang wilayah berbukit-bukit dengan ketinggian antara 900 – 1.400 mdpl. Berada di lereng Gunung Bowong Langit, bersebelahan dengan kawasan masyarakat adat Patalassang.
Dusun ini berjarak sekitar lima km dari Desa Erelembang. Akses ke dusun ini menggunakan kendaraan roda dua, karena jalan sebagian besar masih pengerasan dari bebatuan dan tanah timbunan. Jalan juga menanjak dan berbelok-belok. Pada musim hujan, menuju Matteko sulit dilewati, bahkan kendaraan roda dua sekalipun.
Warga Matteko ada 323 orang dengan 88 keluarga, 159 laki-laki dan 164 perempuan. Bahasa keseharian Makassar-Konjo, dan jarang warga fasih berbahasa Indonesia.
Jabbar mengatakan, masyarakat awal mula tinggal di Kampong (kampung) Balombong, sejak 1933. Saat itu, warga Balombong berjumlah sekitar 90 jiwa dengan 25 keluarga dipimpin seorang penghulu digelar Matoa Balombong, bernama Baco ri Langi.
Baco ri Langi mengajak warga bercocok tanam, beternak kuda, sapi, dan kerbau dengan kandang dari bahan alami seperti ”bara batu”( batu yang disusun secara tradisional). Kehidupan masyarakat waktu itu berkebun secara berpindah-pindah dalam kawasan Kampong Balombong.
Tahun 1945, masyarakat yang turun temurun hidup di Kampung Balombong bergeser membuat perkampungan di sebelah timur Balombong, dengan sungai berliku-liku. Sejak itu diberi nama Matteko. Kehidupan warga pun tak hanya berkebun juga membuka persawahan di lembah.
“Pemangku adat saat itu Pappa Daeng Sese, diberi gelar Punggawa dibantu tokoh-tokoh adat lain seperti kapala kampong, sariang, imam kampong, pangngulu sampa dan pangngulu solongan.,” ucap Jabbar.
Kapala kampong (kepala kampung) memiliki fungsi sama dengan rukun keluarga, dan sariang setara rukun tetangga. Imam kampong (imam kampung) menikahkan warga, menentukan hari baik untuk bercocok tanam. Lalu, pangngulu sampa adalah tokoh adat yang mengatur batas-batas lahan masyarakat. Sedangkan pangngulu solongan mengurus atau mengatur pengairan.
Menurut Sardi, masyarakat adat Matteko hidup turun temurun dikenal sangat peduli kelestarian lingkungan. Ini terlihat berbagai bentuk kearifan menjaga hutan yang ada sejak dahulu. Salah satu, mereka mempunyai ompo atau hutan adat, hanya bisa diambil untuk kebutuhan bersama seperti pembangunan mesjid, sekolah, jembatan, dan lain-lain. Hutan dilindungi masyarakat karena merupakan ulu ere atau hulu air, hingga tidak bisa diambil kayunya.
”Masyarakat adat Matteko menjaga hutan karena dirasakan manfaat langsung sebagai sumber pengairan bagi persawahan. Masyarakat yang lalai atau melanggar diberi sanksi maupun denda oleh pemangku adat.”