Mongabay.co.id

Hutan Batang Toru, Rumah Orangutan yang Terancam Tambang

Pertengahan tahun lalu, warga Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, aksi sampai luka-luka dan ditangkap polisi karena protes pemasangan pipa limbah tambang emas PT Agincourt di Sungai Batang Toru. Warga khawatir air sungai tercemar. Kini, hutan Batang Toru, yang menjadi habitat orangutan Sumatera dan beragam satwa lain, terancam ekspansi tambang anak usaha PT G Resources ini.

Pada Juli 2013, Yayasan Ekosistem Lauser, OIC dan Walhi  membuat laporan khusus hasil pemantauan pengeboran perusahaan tambang emas ini di hutan lindung Register 33. Kawasan ini merupakan hutan primer dengan hutan dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value forest/HCVF).

Laporan itu menyebutkan, suara bising dari aktivitas tambang, mulai helikopter sampai pengeboran menyebabkan satwa-satwa menjadi panik, terutama orangutan. Populasi orangutan di kawasan ini unik dari sisi genetika dan ada kemungkinan besar menjadi jenis tersendiri. Jadi orangutan di Batang Toru menjadi populasi kera besar paling terancam di dunia. Dalam aktivitas awal ini, perusahaan menebang tak kurang 700 pohon.

Tak hanya itu. Dampak pengeboran menyebabkan perubahan bentuk tanah dan pencemaran Sungai Aek Marulak. Air sungai berubah warna menjadi kehijauan, dan ada bau logam. Pengkikisan tanah menyebabkan erosi tinggi terhadap hulu dari DAS Sipansihaporas.

Menurut laporan ini, aktivitas tambang meningkat pada Januari 2013 hingga Juli 2013 di hutan lindung Register 33, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah.  Hampir setiap hari terdengar suara helikopter di atas hutan ini. Aktivitas makin tinggi pada Juni 2013, setiap hari dan lebih satu kali dalam sehari helikopter berputar–putar.

Pada Maret 2013, perusahaan ini juga membuat berbagai jalur-jalur pengambilan sampel batu di beberapa lokasi di dalam hutan lindung.  Sejak Juni 2013, suara chainsaw mulai terdengar. Penebangan pohon terdengar dari pagi hingga sore hari.

Pada 11 Juli 2013, terdengar suara pengeboran. Setelah beberapa jam, Sungai Aek Marulak, mengalami perubahan warna dan endapan. Perubahan kondisi Sungai Aek Marulak tidak biasa, berbeda dengan keruh karena hujan maupun erosi tanah.

Diduga perubahan warna dan sedimentasi ini terjadi karena aktivitas tambang di bagian hulu dari Sungai Aek Marulak, yang mengalir lewat Stasiun Monitoring Flora dan Fauna hingga ke ke PLTA Sipansihaporas. Bagian hilir berada di Kecamatan Sibuluan, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Hutan lindung Register 33 bagian dari hutan Batang Toru. Hampir semua bagian lain dari hutan Batang Toru masih berstatus HPH. Sejak 2006,  hutan ini diusulkan menjadi kawasan konservasi atau hutan lindung karena berdasarkan berbagai kajian, mulai dari kerentanan lingkungan di hutan pegunungan ini, kepentingan berbagai daerah tangkapan air, dan keragaman hayati sangat tinggi.

Beberapa waktu lalu, Mongabay, menanyakan usulan ini ke Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Menurut dia, usulan hutan Batang Toru menjadi hutan lindung itu bagus sekali. “Ini prosesnya lebih mudah, usulkan ke Kemenhut, nanti kita kajian, lalu bisa langsung ditetapkan Menteri tanpa perlu persetujuan DPR. Bagus itu kalau diusulkan jadi hutan lindung,” katanya. Sayangnya, baru sebatas pernyataan. Kenyataan,  usulan sudah hampir delapan tahun lalu tetapi belum membuahkan hasil.

Sungai Marulak, sebelum tercemar. Sungai ini merupakan tempat hidup ikan jurung, yang dilindungi. Foto: YEL
Sungai Marulak, setelah tercemar, pasca pengeboran oleh perusahaan tambang, PT Agincourt. Foto: YEL
Alat berat untuk pengeboran yang menyebabkan suara bising dan air sungai berubah warna. Foto: YEL
Tenda-tenda yang dibangun perusahaan untuk persiapan pengeboran di hutan Batang Toru. Foto: YEL
Peta satelit lokasi kerja PT Agincourt, di hutan Batang Toru. Sumber: YEL
Exit mobile version