Mongabay.co.id

Kala Mereka Mengembalikan Penghargaan Kalpataru dan Wana Lestari…

“Diterima atau tidak yang penting kami sudah kembalikan. Sudah plong. Beban moral sudah lepas, kami akan pulang ke Toba,” kata Marandus Sirait, dari Kabupaten Samosir.

Pengembalian penghargaan ini, ujar dia,  agar pemerintah bisa membuka mata dan melihat kondisi Danau Toba yang sesungguhnya. “Kalau dari jauh Danau Toba, itu cantik, coba dari dekat sudah banyak kerusakan. Kalau dulu, memang benar, cantik dari jauh dan dekat.” Dia ingin pemerintah punya komitmen serius dalam menjaga hutan dan lingkungan.

Pada Selasa (3/9/13), ketiga pejuang lingkungan dari Sumatera Utara (Sumut),  ke Jakarta, untuk mengembalikan penghargaan-penghargaan kalpataru dan wana lestari.

Tiga orang ini adalah Marandus Sirait dari Kabupaten Samosir mengembalikan penghargaan wana lestari dan kalpataru. Lalu, Wilmar Simandjorang dari Kabupaten Toba Samosir mengembalikan wana lestari dan Hasoloan Manik dari Kabupaten Dairi menyerahkan kalpataru.

Sekitar pukul 10.00, mereka bersama beberapa pendamping berpakaian adat Batak, berkumpul di Monas. Ada pembacaan puisi berbahasa Batak yang mengisahkan kehancuran Danau Toba karena kerusakan lingkungan sekitar. Lalu dilanjutkan ke sekretariat negara (setneg) untuk menyerahkan kalpataru.

Sesampainya di sekneg, mereka kesulitan untuk menyerahkan penghargaan itu. Mereka diminta menunggu dan hanya boleh tiga orang masuk menyerahkan serta akan diterima humas. Wartawan dan pendamping tak boleh ikut. Ketiga penerima penghargaan ini ingin ada saksi saat menyerahkan selain pihak setneg. “Baik, kami akan koordinasi,” kata petugas setneg.  Kata-kata “baik kami akan koordinasi,” berulang-ulang diucapkan tapi tak juga ada keputusan.

Setelah kurang lebih 30 menit menanti, akhirnya mereka memutuskan meninggalkan setneg. Mereka meletakkan kalpataru di depan plang batas akhir daerah pembatas (restricted area) setneg. Polisi melarang. Pria diduga seorang petugas berpakaian biasa membawa kalpataru ke tempat awal berkumpul.

Wilmar Simandjorang, kala berbicara tentang penyerahan penghargaan dengan petugas setneg. Foto: Sapariah Saturi

“Jika diterima langsung, berarti kalpataru punya nilai. Ternyata tak diterima. Itu berarti tak berguna. Berarti barang tak bermakna. Barang tak punya nilai,” kata Manik.

Manik tak kecewa diterima atau tidak. “Sudah sampaikan, serahkan dan saya sudah tahu arti kalpataru, yang ternyata tak punya arti dan nilai.”

Selama ini, Manik selaku Ketua LSM Peduli Lingkungan Hidup Indonesia, aktif tanam pohon di sekitar Danau Toba, maupun hutan gundul, sampai ikut menjaga Taman Nasional Gunung Lauser. Mereka tak perlu penghargaan. “Pulang ke daerah kami akan tetap menjaga lingkungan,” kata Manik.

Senada dengan Simandjorang. Dia tak peduli ada yang menerima pengembalian penghargaan atau tidak. “Kami kembalikan, tak diterima ya tinggalkan di situ.”

Kekecewaan terhadap pemerintah sangat dalam. Dia melihat begitu banyak kejahatan kehutanan, tetapi pemerintah seakan tutup mata. Dia lapor kerusakan hutan dari level kabupaten sampai pusat, tak ada tindak lanjut. “Saya ini mantan Bupati Samosir. Dulu, banyak perusahaan datang minta izin ini itu, tak saya kasih. Sejatinya, yang mau minta izin buka kebun, perikanan, itu ecek-ecek. Intinya mau ambil kayu.”

Walhi yang ikut mendampingi mereka sejak awal mengingatkan pemerintah agar sadar, bahwa pemberian penghargaan saja tak cukup. Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan Walhi Nasional mengatakan, pelibatan masyarakat dalam melestarikan hutan dan lingkungan harus dinilai dengan penghargaan lebih tinggi. “Penghargaan atas hak hidup dan lingkungan yang baik dan sehat.”

Akhirnya, para penerima Kalpataru melakukan tanda tangan serah terima penghargaan kepada perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup, yang kebetulan hadir. “Karena penghargaan ini dari KLH, kalaupun mereka mengembalikan kami akan menerima dengan baik,” kata Agus Sukanda,  Kepala Bidang Peningkatan Peran dan Kelengkapan Organisasi Kemasyarakatan KLH.

Menurut dia, pengembalian penghargaan ini merupakan hak asasi masyarakat penerima. “Ini juga satu bentuk advokasi mereka atas kekhawatiran kerusakan lingkungan yang terjadi di daerahnya.” “Kita hargai.”

Usai di Monas, mereka ke Kementerian Kehutanan, untuk menyerahkan penghargaan wana lestari. Di sana, mereka diterima Dirjen Bina Usaha Kehutanan, Bambang Hendroyono dan Kepala Humas, Sumarto.

Setelah bertele-tele di setneg, akhirnya mereka meletakkan kalpataru di depan setneg tepat di plang bertuliskan daerah terbatas. Foto: Sapariah Saturi
Polisi melarang meletakkan kalpataru di depan plang bertulis daerah terbatas. Lalu seorang petugas membawa kalpataru ke depan Monas. Foto: Sapariah Saturi
Hasoloan Manik, tanda tangan serah terima kalpataru di depan Monas. Foto: Sapariah Saturi
Marandus Sirait kala tanda tangan serah terima kalpataru di depan Monas. Foto: Sapariah Saturi
Wilmar Simandjorang menandatangani serah setima wana lestari di depan Monas. Foto: Sapariah Saturi
Agus Sukanda dari KLH, saat membawa kalpataru yang dikembalikan di depan Monas. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version