Mongabay.co.id

Mereka yang Temukan Peluang Usaha dari Menjaga Lingkungan

Dari menjaga hutan, laut, sungai, sampai memulihkan lingkungan kritis, mereka bisa menciptakan peluang usaha yang menghasilkan pendapatan bagi komunitas.

Ada tenun berpewarna alami, sepatu eceng gondok, batik tulis, maupun tas dari sampah. Ada juga beragam penganan lokal dari kerupuk mangrove, dodol mangrove, madu alam, dodol cabai sampai kacang-kacangan dan banyak lagi. Produk-produk ini merupakan hasil wirausaha komunitas yang dibangun dari landasan awal menjaga alam. Mereka berasal dari berbagai daerah, Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, sampai Papua.

Siapakah mereka? Dari Serdang Bedagai, Sumatera Utara (Sumut) ada Kelompok Perempuan Muara Tanjung. Kelompok ini digerakkan istri para nelayan di Desa Sei Nagalawan, dimotori ibu Jumiati.  Delapan tahun lalu mereka menanam mangrove di pesisir pantai desa. Tujuannya, desa mereka bisa selamat dari hantaman ombak, dan banjir rob.

Ketika menanam, mereka sempat dicela sebagian tetangga mereka. Bahkan, mangrove ada yang sempat dirusak. Kini, mereka sudah menanam mangrove seluas 12 hektar.

Mangrove tumbuh subur. Ikan-ikan, kepiting yang dulu tiada, kini bermunculan. Burung migran dunia pun singgah. Tempat itupun kini menjadi ekowisata dengan nama Wisata Kampung Nipah. Ia menjadi wisata menarik bagi mahasiswa dan masyarakt luar yang ingin menikmati kehidupan alam asli.

Dari mangrove ini mereka bisa membuat sirup, dodol, kerupuk, teh sampai tepung kue. “Kini kami tidak lagi tergantung rentenir ketika suami tidak melaut,” katanya saat berbagi cerita dalam acara Kewirausahaan Komunitas Menuju Gerakan Indonesia Hijau, di Jakarta, 12 September 2013.

Mereka pun bisa membeli perahu sendiri untuk para suami. Keuntungan pun bisa untuk membeli bibit mangrove, cemara, bahkan membuka usaha lain hingga menyerap tenaga kerja.

Ada lagi dari Kelompok Tani Wana Lestari Dieng. Erna, yang mewakili kelompok ini menceritakan, bagaimana anggota kelompok yang sebagian besar tani dan buruh tani ini mengembangkan tanaman langka seperti kacang-kacangan. Tumbuhan langka ini mereka tanam di lahan kritis.  “Hasil diolah, dan bisa digunakan masyarakat serta dimanfaatkan bersama,” ujar dia.

Batik tulis dari pewarna alami dan sepatu eceng gondok, Foto: Sapariah Saturi

Cerita lain dari Siti Rofiah, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia mengatakan, Lembata dikenal sebagai daerah gersang dengan sebagian warga menjadi tenaga kerja ke luar negeri, terutama Malaysia. Banyak perempuan-perempuan menjadi janda.

Jadi, ada kelompok perempuan korban jamal alias menjadi janda karena suami ke Malaysia. Kelompok ini hidup dengan kearifan lokal, misal membuat kerajinan tangan, sampai menenun.  Kini, mereka bisa membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Ada lagi kelompok petani penyangga abrasi laut dan darat beranggotakan 1.430 orang. Kelompok ini bergerak di beberapa bidang seperti, pertanian, peternakan, pengembangan mangrove dan program kerajinan tangan.

“Kami coba kembangkan kembali pangan-pangan lokal.  Kini sudah kami kembangkan benih dua hektar. Tahun ini benih tak akan ambil dari pulau lain,” ucap Siti. Ada budidaya mangrove, sampai kacang-kacangan hutan sebagai pangan alternatif.

Dari Yogyakarta, ada kelompok perempuan yang peduli kelestarian tenun dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka mendirikan perusahaan sosial, Lawe. Mereka mau memastikan tenun di pelosok Indonesia tik punah.

Di Jakarta, ada Yayasan Ciliwung Merdeka. Yayasan ini menggerakkan warga di Bantaran Kali Ciliwung agar membersihkan sampah, menata lingkungan sekaligus menghasilkan pendapatan. Sampah diolah menjadi berbagai produk seperti tas, mainak anak, bros, juga kompos dan biogas.

Di sini,  ada program pemberdayaan dan pengembangan tata ruang kampung swadaya. Warga diajak mendesain dan menjadi arsitek buat kampung mereka sendiri. Mereka mengusulkan kepada Jakowi, Gubernur Jakarta, pembangunan rumah susun manusiawi di Kampung Bukit Duri, Jakarta Selatan. “Usulkan normalisasi kali tak berarti harus merelokasi, tapi juga menata. Ini sudah diajukan, tapi blom ada jawaban,” kata Ade, dari Yayasan Ciliwung Merdeka.

Masih banyak cerita-cerita dari komunitas-komunitas wirausaha ‘hijau’ lain. Catharin Dwihastarini, Koordinator Nasional Global Environment Facility – Small Grant Program GEF-SGP) mengatakan, kewirausahaan komunitas  ini contoh kongkret ekonomi rakyat yang “hijau” untuk Indonesia. Ia bisa menghidupkan ekonomi rakyat,  sekaligus menjamin keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup dengan nyata.

Kewirausahaan komunitas ini, adalah usaha kelompok masyarakat yang melihat ada potensi ekonomi muncul belakangan setelah mereka melakukan gerakan dalam menjawab permasalahan lingkungan ataupun  sosial sekitar mereka.

Usaha mereka tak sekadar usaha kecil menengah (UKM). Namun, lebih pada kerja-kerja komunitas. “Dari komunitas, oleh komunitas, untuk komunitas. Jika mereka dapat keuntungan, akan kembali ke komunitas dan perbaikan lingkungan,”  katanya dalam acara Kewirausahaan Komunitas Menuju Gerakan Indonesia Hijau, di Jakarta, 12 September 2013.

Chatarin berharap, kewirausahaan komunitas yang diawali dengan pergerakan perjuangan memperbaiki lingkungan dan sosial tak dianggap sebagai perlawanan. Namun, sebagai menjawab solusi tantangan persoalan suatu wilayah.

Untuk itu, pemerintah, seharusnya memberikan dukungan penuh terhadap gerakan ini. “Sebab terbukti, membawa kesejahteraan masyarakat sekaligus kelestarian lingkungan.”

Produk-produk perajin dari Komunitas Kewirausahaan Hijau yang membuat kaos, sampai pernak pernik yang memanfaatkan sumber dari alam. Foto: Sapariah Saturi
Tas tenun berbahan dan pewarna alami. Foto: Sapariah Saturi
Dodol mangrove, salah satu produk kelompok usaha komunitas. Produk ini hasil kreasi setelah mereka merehabilitasi kawasan hutan mangrove. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version