Mongabay.co.id

Nestapa Warga Kalteng karena Sawit, dari Sungai Tercemar sampai Pencaplokan Lahan

Eben Ezer, warga Desa Biru Maju, dan ratusan warga di daerah itu tak berdaya. Lahan pertanian yang mereka peroleh dari penempatan transmigrasi di Kecamatan Telawang, Kabupaten Kota Waringin Timur (Kotim), Kalteng, kini dikuasai PT Buana Artha Sejahtera, anak usaha Golden Agri Resources, Sinas Mas Group.

Dia mengatakan, lahan awal mereka bersertifikat diambil warga lokal yang mengklaim pemilik lahan. Lalu, lahan kedua berupa surat kepemilikan tanah (SKT) sekitar 650 hektar dicaplok perusahaan yang masuk sekitar 2002. Sejak itu,  kehidupan warga menjadi tambah susah. “Dulu kami bertani. Jadi lahan diambil sekarang kami kebingungan. Ada yang berburu untuk bertahan hidup,” katanya di Jakarta, Sabtu (28/9/13).

Eben datang bersama tiga perwakilan warga lain dari Kalteng, yang sama-sama terkena dampak buruk dari investasi sawit Sinas Mas dan Wilmar International. Mereka mengadu ke beberapa organisasi di Jakarta, seperti Walhi Nasional dan Sawit Watch.

Mereka adalah, Tasik dari Desa Pantap, Kecamatan Mentaya Hulu, Kotim, dan Swester warga Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kotim. Lalu, James Watt dari Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan.

Menurut Eben, tak hanya mata pencarian hilang, kriminalisasi warga pun kerab terjadi. “Polisi itu alat bagi investor intimidasi masyarakat. Baik sektor usaha maupun kehidupan sosial,” ujar dia.

Belum lama ini, kades dan sekdes desa itu dituduh mencuri di kebun perusahaan. Beberapa hari ini, dua warga juga dipenjara karena memungut sawit jatuh di lahan konflik.

Padahal,  pengusaha tak bisa memperlihatkan legalitas mereka seperti hak guna usaha (HGU) atau izin lain. “Mereka hanya kantongi izin perkebunan dari daerah. Pelepasan kawasan hutan pun tak ada. Bukankah seharusnya tanampun tak boleh. Tapi mereka sudah beroperasi.”

Masyarakatpun bertanya-tanya. “Apakah aturan gitu? Kalo investor masuk bisa berbuat sesuka hati, dan tak perlu memperhatikan masyarakat. Atau memang perusahaan dibantu untuk rampas hak masyarakat?” “Perusahaan ilegal tapi polisi malah melindungi perusahaan. Aneh!!!!” ucap Eben.

Area Buana Artha Sejahtera, sekitar 2.700 hektar, tetapi menanam lebih dari itu sekitar 2.900 an hektar. “Setelah ukur ulang merambah APL yang jadi wilayah Desa Biru Maju.”

Masyarakat, katanya, telah melakukan berbagai upaya, seperti membuat laporan pelanggaran perusahaan kepada polisi dan mencari legalitas perizinan perusahaan. Mereka juga sempat ke Kementerian Kehutanan. “Tapi, tetap saja sampai saat ini tempat hidup kami hilang.”

Pembuangan limbah dari pabrik PT. Mustika Sembuluh yang mengalir ke Sungai Sampit dan Pondok Damar. Kini, sungai Sampit pun tak bisa digunakan keperluan sehari-hari layaknya dahulu. Foto: Walhi Kalteng

Nasib miris juga dialami warga Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kotim. Swester, perwakilan warga mengatakan, sejak perusahaan sawit anak usaha Wilmar ini masuk, PT Mustika Sembuluh,  Sungai Sampit mulai tercemar. Pada 2008, ikan-ikan di sungai mati. “Sungai dulu tempat cuci mandi sampai air minum, sudah tak bisa lagi.”

Pada 2012, pencemaran parah kembali terulang. Warga yang nekad mandi di sungai karena tak memiliki alternatif lain, mengalami gatal-gatal. Pada waktu itu, kata Swester, warga mengundang legislatif untuk menyaksikan kejadian itu.

Mediasi antar warga dan perusahaan pun dilakukan dari tingkat desa sampai kabupaten. “Perusahaan berjanji akan membangun sarana air bersih bagi warga. Dibangun tapi tak layak.”

Sebenarnya, janji membuat sarana air bersih bagi warga sejak 2008. Pada 2012, selain menuntut air bersih, warga juga mendesak penyelesaian konflik lahan. “Warga dulu punya karet diklaim perusahaan dan dimasukkan area konservasi tinggi.”

Penderitaan juga dialami warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalteng.  James Watt, warga Desa Bangkal mengatakan,  masalah muncul salah satu dari perusahaan sawit PT Bina Sawit Abadi Pratama, Sinar Mas Group, konflik berawal pada 2007. “Lahan warga diambil tanpa ada ganti rugi. Pada 2007, ada pertemuan bersama petani tetapi tak pernah selesai.”

Pada 2007, warga melaporkan kasus mereka ke Komnas HAM. Pada 2010, terjadi pengerahan massa. “Warga pernah panen massal di lahan warga yang diklaim perusahaan.”

Aparat pun membantu perusahaan agar warga menghentikan panen massal. Warga mundur.  Pada 2011, sekitar 2.000 massa turun ke kabupaten dan meminta bupati mencabut izin perusahaan ini. “Tuntutan kami izin dicabut dan kembalikan hak pada masyarakat.”

Tak hanya konflik lahan, pencemaran sungai juga terjadi. Sungai Rungau tercemar, air mengalir ke Danau Sembuluh. Di sekitar danau ini mata pencarian masyarakat mencari ikan. Tak pelak, setelah danau tercemar penghasilan warga pun terganggu. “Ikan-ikan di keramba itu banyak mati.” Warga juga kehilangan sumber air bersih.  “Kami konsumsi air ini, kini tak bisa lagi. Dulu, air langsung diminum. Desa Bangkal, kemarau kesulitan air.”

Pencaplokan lahan warga juga terjadi di Desa Pantap, Kecamatan Mentaya Hulu, Kotim. Tasik, warga Desa Pantap mengungkapkan, konflik lahan terjadi dengan PT Bumi Sawit Kencana II, Wilmar Group. Izin perusahaan ini keluar pada 2006 seluas 4.750 hektar di Kecamatan Kota Besi, Kotim. Namun yang terjadi, perusahaan membuka kebun di Desa Pantap, bukan Kota Besi.

“Ini pencaplokan wilayah. Perusahaan caplok wilayah desa, dan penyerobotan tanah Desa Pantap, termasuk lahan di kanan kiri jalan HPH. Sebab, sebelum ada kebun sudah ada pemukiman di jalan-jalan HPH.” Sejak Agustus 2013, perusahaan membikin parit pembatas di lahan-lahan warga. “Saya minta alat berat ditahan.”

Selain itu, perusahaan juga bermasalah dengan lahan kelompok yang dketuai Simamora, seluas 1.484 hektar. “Ini lahan kelola 94 keluarga. Sampai saat ini tak berujung.”

Perusahaan meminta Simamora membongkar rumah dan membabat kebun karet. “Ini dilaporkan ke kecamatan. Lalu diundang Kapolsek untuk mediasi. Warga datang tapi perusahaan tak datang,” ucap Tasik.

Warga di Desa Pantap, sebagian besar bukan penduduk lokal, hingga dia khawatir jika isu ini dimanfaatkan perusahaan. Sebab di lapangan, beberapa kali perusahaan berusaha menghadapkan masyarakat dengan masyarakat. Bahkan, satpam perusahaan bersenjata parang. “Perusahaan datangkan warga lokal dari berbagai tempat untuk dihadapkan dengan warga pendatsng di desa saya. Saya khawatir, jangan sampai warga pendatang diadu dengan masyarakat lokal.”

Untuk itu, mereka  menuntut pengembalian lahan Desa Pantap, maupun lahan kelompok. “Kami juga menuntut proses hukum karena perusahaan telah mencaplok wilayah hingga tanah kelola dan tempat hidup warga terampas. Izin di Kota Besi, malah kebun di Desa Pantap.”

Danau Sembuluh yang ditanami sawit. Kini, masyarakat yang berada sekitar danau yang biasa mencari ikan atau memiliki keramba ikan, menjadi kesulitan. Foto: Walhi Kalteng

Ekspansi sawit di Kalteng, per Desember 2012 mencapai 4, 1  juta hektar, sebanyak 3.825.058 hektar di kawasan hutan  berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Ada 286 perusahaan dan hanya 84 dinyatakan clear and clean berdasarkan prosedural perizinan.

Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, kondisi ini mendorong pelanggaran hukum oleh korporasi. Untuk legalisasi, Kalteng mengusulkan perubahan tata ruang demi mengakomodir pelepasan kawasan hutan. “Perubahan kawasan hutan lewat SK 529, sekitar 1,2 juta hektar akan dilepaskan dari kawasan hutan,” katanya.

Perubahan hutan di Kalteng, tak hanya sawit juga HTI, maupun HPH dan tambang. Arie menyoroti dominasi penguasaan lahan oleh grup besar seperti Sinar Mas dan Wilmar.  Di Kalteng, Wilmar memiliki 17 anak usaha seluas 288.000 hektar. Khusus di Kabupaten Kotim, memiliki pencadangan lahan 74.611,62 hektar, sebanyak 47.213,04 hektar sudah ditanami. Sedangkan Sinar Mas, dengan luas hektar  25.111 hektar tertanam dan pencadangan lahan 48.226, 23 hektar. “Ini ada di wilayah masyarakat hingga terjadi konflik.”

Menurut dia, Kalteng bagian Kalimantan yang punya hutan luas,  seharusnya memberikan kontribusi kesejahteraan pada masyarakat. Yang terjadi, sebaliknya. Warga menderita karena mengalami penggusuran dan kerusakan lingkungan.  “Sumber kehidupan warga diubah, hingga mengubah kehidupan rakyat, misal sumber air terganggu,” ujar dia.

Kalteng juga menjadi pilot project REDD+, tetapi malah mengalami deforestasi tinggi, lebih dari 100 ribu hektar per tahun. “Deforestasi ini karena konversi hutan untuk sawit, pertanbangan, HTI dan HPH.”

Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besa Walhi Nasional, menyoroti kinerja kepolisian yang tidak profesional dalam merespon pelangaran hukum sektor kehutanan dan perkebunan.

Polisi cenderung menjadi bagian dari proses pelanggaran hukum dan perampasan lahan, seperti pembiaran aktivitas perusahaan dalam kawasan hutan, melindungi perusahaan dengan mengkriminalisasi petani. “Posisi seperti ini membuat perusahaan menjadi ketagihan dan berani merusak hutan.”

Bahkan, dalam konteks konflik justru membuat konflik tak selesai. Sebab, kepolisian dijadikan alat perusahaan untuk menutupi masalah perdata dengan memunculkan kasus pidana terhadap warga yang tak jarang direkayasa dan dipaksakan.

Senada diungkapkan Bondan Andiyanu, Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch. Dia menyatakan, sistem perkebunan sawit mendorong pada monopoli penguasaan lahan dan pasar hingga mengakibatkan konflik berkepanjangan.

Data Sawit Watch sampai 2012, izin yang dilepaskan untuk kebun sawit sekitar 12,5 juta hektar. Ke depan, diperkirakan terjadi ekspansi besar-besar guna memenuhi target pencapaian produksi minyak sawit mentah (crude palm oil) 25 juta ton. “Ekspansi ini diterjemahkan perusahaan dengan buka lahan sebesar-besarnya.”

Dalam membuka kebun, perusahaan banyak mengabaikan prinsip free prior, informed consent (FPIC). Ini adalah proses yang memungkinkan masyarakat adat maupun lokal mendapatkan hak-hak mereka.  “Masyarakat tak ada pilihan menolak atau menerima. Bahkan sampai penanaman berjalan, masyarakat tak mendapatkan informasi, tak jarang malah mendapatkan intimidasi.

Konflik di Desa Biru Maju yang lahan transmigrasi dicaplok perusahaan. Aparat pun kerab berada sebagai penjaga perusahaan. Foto: Walhi Kalteng
Exit mobile version