Mongabay.co.id

Soal Hutan Adat: Mau Dibawa Kemana Putusan MK?

Putusan Mahkamah Konstitusi, yang menguatkan posisi wilayah adat di negeri ini sudah keluar pada 16 Mei 2013. Menjadi jelas, hutan adat bukan hutan negara. Meskipun sudah ada keputusan ini, tetapi belum ada tanda-tanda pemerintah baik di level pusat maupun daerah serius bergerak cepat mendorong merealisasi ‘penyerahan’ wilayah adat.

Pernyataan-pernyataan dari pemerintah selalu menyambut baik keputusan ini, tetapi langkah apa yang akan mereka lakukan, itu yang belum jelas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi internasional di Jakarta, akhir Juli 2013, sudah mengumumkan komitmen akan memulai proses pendaftaran dan pengakuan hak masyarakat adat. Sampai hari ini, baru sebatas deklarasi. Seraya menanti aksi pemerintah, AMAN pun mulai melakukan pemetaan partisipatif pada wilayah-wilayah adat yang oleh pemerintah banyak diberikan kepada para pemilik modal.

Hal ini muncul dalam diskusi dan pemutaran film bertema Hutan Adat Pasca Putusan MK 35 yang diadakan Perkumpulan HuMa dan Indonesia Nature Film Society (Infis) di Jakarta, Senin (30/9/13). Dalam acara yang dimoderatori Ridzki R Sigit, Manajer Program Mongabay-Indonesia ini hadir beberapa pembicara seperti Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Lalu, Andiko, Direktur Eksekutif Perkumpulan HuMA, Sandra Moniaga, anggota Komnas HAM, Sumarto, Kepala Humas Kementerian Kehutanan dan Gunawan Muh, Kepala Humas BPN.

Abdon Nababan mengatakan, sebenarnya MK telah membuat keputusan yang progresif. “Putusan ini yang harus direspon. Ini proses perjuangan membebaskan diri dari penjajahan. Jadi tinggal bagaimana sikap pemerintah?  Dan apa tindakan yang mesti dilakukan?” katanya.

Sementara menanti aksi pemerintah baik pusat maupun daerah, yang bakalan lama, AMAN pun melakukan pemetaan-pemetaan wilayah adat. Masyarakat adat mulai mematok dan memberi plang di wilayah-wilayah adat mereka, istilah baru muncul meminjam gaya Vicky: plangisasi. “Karena kita tahu tak ada respon cepat. Apalagi pikiran masing-masing  daerah berbeda-beda, maka masyarakat adat bikin pemetaan partisipatif. Jadi, sambil menunggu (langkah pemerintah), AMAN bantu pemerintah dengan pemetaan partisipatif.”  “Kalau hanya harapkan Dirjen Planologi, tak jadi-jadi. Mohon nanti diterima atau tidak, pokoknya petakan dulu.”

AMAN, kata Abdon, juga ada gerakan konservasi untuk mengamankan hutan. Di mana, wilayah-wilayah adat terbaik dijadikan sumber benih. Lalu bibit-bibit disebarkan ke berbagai daerah. “Karena banyak hutan bagus dikonversi jadi sawit, maka masyarakat adat tanam pohon di antara pohon sawit.” Contoh ini, sudah dilakukan di Muara Tae, Kalimantan Timur.

Sumarto, Kepala Humas Kemenhut mengatakan, dengan putusan itu menjadi jelas, hutan adat di luar hutan negara. “Ini terobosan besar.” Namun, sesuai UU Kehutanan, pengakuan wilayah adat memerlukan proses di daerah lewat penetapan melalui peraturan daerah (perda). Sementara itu, sambil menanti pengakuan lewat perda, kata Sumarto, Kemenhut menawarkan solusi yang dinilai lebih cepat, yakni hutan desa.

Dia juga menyinggung tentang penetapan tata batas kawasan hutan yang baru 12 persen. “Ini yang susah atur wilayah. Karena punya negara begitu luas, ataukah memang susah atur atau memang negara pelan-pelan aturnya.”

Masyarakat Adat Mantangai di Kuala Kapuas, Kalteng aksi tidur di Kantor Bupati karena lahan mereka dicaplok perusahaan. Parahnya, perusahaan yang belum berizin lengkap inipun bisa beroperasi hingga menimbulkan konflik berlarut tanpa penanganan cepat dari pemerintah. Foto: Indra Nugraha

Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM memandang fungsi pemegang hak seharusnya hanya satu di Badan Pertanahan Nasional (BPN) tetapi lembaga ini seakan terpasung. “Kalau Kehutanan bersikeras dengan UU 41 pasal 67, yang menetapkan pemda dan itu tak jelas kabupaten, kota atau provinsi, sebenarnya Kehutanan mempertahankan status quo.”

Dia mengibaratkan, putusan MK ini semacam obat demam yang tak menyembuhkan penyakit. Sebab, ‘penyakit’ ini bisa sembuh kalau ada peraturan yang lebih komprehensif. Meskipun ada putusan MK,  tetapi tak ada yang menindaklanjuti, pengelolaan sumber daya alam (SDA) tak akan ada perubahan. Bahkan, dia khawatir dampak ketidakjelasan ini bisa memunculkan ledakan konflik lebih mengerikan. Saat ini, tiap tahun konflik yang dilaporkan ke Komnas HAM itu sekitar 5.000-6.000 kasus, 25 persen konflik lahan. Menurut Sandra, harus ada pembenahan atas semua kebingungan ini, pimpinan negara harus turun tangan.

Dia mengatakan, jika melihat kilas balik berbagai perundangan yang mengatur sumber daya alam (SDA), UU Pokok Agraria (UUPA) merupakan titik awal pengakuan kepada hak ulayat. Sayangnya, sejak ditetapkan tahun 1960 sampai saat ini, UUPA tak ada peraturan pemerintah tentang hak ulayat. “Pasca kongres masyarakat adat tahun 1999 memang ada keluar peraturan menteri tetapi hanya mengatur beberapa wilayah. Mengapa? Karena UUPA dipasung.”

Dari sejarah, UU Kehutanan tahun 1967, menjadi lebih kuat. Kemenhut dulu hanya di bawah Departemen Pertanian. Kini berdiri sendiri menjadi Kemenhut. Sedang BPN, dulu adalah Departemen Agraria. Kini hanya menjadi badan. “Artinya apa? Terjadi pengkerdilan urusan agraria.”

Sandra menambahkan, kawasan hutan, ditetapkan akhir 1800 an atau awal 1900 an oleh Belanda, yang dilanjutkan pemerintah orde baru. Persoalan hak-hak masyarakat adat muncul. Hak-hak yang memang diabaikan dan dilanggar negara sejak zaman dulu.  Putusan MK ini, ujar dia,  seharusnya dilihat sebagai bentuk koreksi.

“Apakah mungkin hak-hak itu dipulihkan? Apakah mungkin negara mengembalikan? Pelanggaran HAM harus ada penyelesaian. Hak harus dikembalikan.” Bentuknya? Kata Sandra, ada restitusi hak, rehabilitasi hak, maupun kompensasi hak.

Tak jauh beda diungkapkan Andiko, Direktur Eksekutif HuMA.  Dia mengatakan, banyak jalan bisa dilakukan untuk pengakuan wilayah adat, bisa lewat tata ruang wilayah khusus,  BPN, mekanisme pelepasan hutan di Kemenhut, otonomi khusus dan banyak lagi. “Masyarakat adat merupakan anak bangsa, jadi pengembalian hutan adat bukan pengembalian sakit hati. Mereka harus diperkuat dalam pengelolaan hutan ini,” katanya.

Gunawan Muh, Kepala Bidang Humas BPN angkat bicara. Dia mengatakan, BPN tegas mengakui tanah ulayat. Namun, dalam pelaksanaan kerab terkendala masalah teknis. Dalam memberikan hak atas tanah,  BPN terikat dengan tata ruang atau arahan penggunaan tanah. Kala, hak ulayat berada di kawasan hutan lindung, kemungkinan dalam proses legalisasi menemui kendala. “Ini yang akan kita cermati dan jadi pe er bersama.”

Exit mobile version