, , ,

Organisasi Buruh dan Lingkungan Tolak Ekspansi Sawit di Indonesia

Pada pertemuan RSPO di Medan, berbagai organisasi ini akan aksi besar-besaran menuntut penghentian ekspansi perkebunan sawit. Menyetop buruh anak dan perempuan dan menghentikan perusakan hutan.

Pada 31 Oktober 2013, di Medan, 14 organisasi buruh dan organisasi lingkungan, mendeklarasikan penolakan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia, khusus di Sumatera Utara (Sumut). Pada pertemuan RT11/RSPO di Medan, gabungan organisasi ini berencana aksi besar-besaran dengan mengerahkan ribuan massa.

Mereka yang menolak ekspansi perkebunan sawit itu, antara lain,  SBSU, SPSI 1992, SBMI Sumut, dan SBPI. Lalu, Sawit Watch, Lentera Rakyat, Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-usaha Kerakyatan (Oppuk), LBH Sumatera Utara (Bakumsu), dan Serikat Petani Kelapa Sawit. Pertemuan Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) akan dihelat 12-14 November 2013 di Medan.

Herwin Nasution, Koordinator Serikat Buruh Indonesia, Sumut, mengatakan, eksploitasi anak dan perempuan terjadi di perusahaan sawit. Mereka dipekerjakan sebagai buruh perkebunan, termasuk di Sumut. Anak-anak dan perempuan ini tanpa digaji, dengan anak istri dan keluarga dari orang tua atau suami bekerja di perkebunan sawit itu.

Modus sebagian besar  perusahaan sawit dalam mempekerjakan anak dan perempuan, dengan memberikan tanggung jawab terhadap buruh mengerjakan berbagai tugas mulai membersihkan kebun sawit, sampai memanen buah. “Lalu, memperbaiki aliran air antara pohon sawit, hingga mengangkut sawit hasil panen ke tempat yang sudah disediakan,” katanya.

Dengan tanggungjawab ini, jika target tak tercapai, sang buruh diberi hukuman, mulai pemotongan upah, sampai pemecatan. Jadi, dengan target dan tekanan ini, anak dan istri serta keluarga para buruh, akhirnya membantu mengerjakan pekerjaan ini. “Supaya borongan selesai, anak istri dan remaja perempuan turut membantu tanpa digaji. Perusahaan membiarkan tanpa ada perikemanusiaan sedikitpun, ” ucap Herwin.

Menurut mereka, kondisi ini terjadi, karena peran negara melindungi buruh perkebunan  sawit tak maksimal. Anak-anak di bawah umur dan perempuan dipekerjakan di kebun sawit tanpa ada pengawasan pemerintah. Pemandangan ini banyak ditemukan di daerah pedalaman. “Kalau industri jelas berdasarkan kalori tujuh jam kerja, satu jam istirahat. Sedangkan di buruh perkebunan sawit, perusahaan buat borongan, tanpa ada konsep basis borongan.”

Dengan sistem ini, dimanfaatkan pengusaha menentukan upah dan mau tak mau melibatkan anak dan perempuan. Parahnya lagi, pemerintah menyetujui lewat pembiaran. “Sistem ini tidak bisa diterapkan, karena melanggar HAM.”

Data hasil investigasi mereka, para anak dan perempuan yang diperkerjakan di perkebunan sawit ketika musim panen datang atau musim tanam tiba. Buruh wajib bekerja melibatkan anak dan istri. “Ini jarang terungkap di permukaan.”

Untuk itu, mereka mendesak agar pertemuan RSPO membahas masalah ini disertai tindakan tegas bagi perusahaan sawit.  “Saat ini di Indonesia ada 4,6 juta  buruh kontrak. Untuk buruh harian lepas dikali tiga, hingga ada 10 juta yang tidak punya hubungan kerja dengan perusahaan tetapi bekerja tanpa digaji. Sebagian anak-anak dan perempuan.”

Konflik di Desa Biru Maju yang lahan transmigrasi dicaplok perusahaan. Aparat pun kerab berada sebagai penjaga perusahaan. Foto: Walhi Kalteng

Jefry Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, ada 40 persen anak dan perempuan sebagai buruh perkebunan sawit di Indonesia,  melalui modus borongan kepada suami atau orang tua yang menjadi buruh sawit. ” Yang buruh harian lepas itu didominasi perempuan. Ada jutaan anak dan istri bekerja tanpa digaji akibat sistem jahat perusahaan sawit ini,” katanya.

Bukan itu saja, kerusakan lingkungan dan perambahan hutan dari ekspansi perkebunan sawit secara besar-besaran terjadi di Kalimantan, Papua, Sumut, dan Sulawesi. Ekspansi ini saling menguntungkan perusahaan dan devisa negara, tanpa memperhitungkan dan memperhatikan anak-anak dan perempuan yang menjadi korban kebijakan ini.

Pengembangan sawit terjadi di hutan primer dan hutan gambut yang dirambah dan menjadi perkebunan sawit, hingga berdampak pada kehilangan sumber daya pertanian. “Sebab perkebunan sawit sangat rakus air.”

Dampak negatif lain keragaman hayati hilang, dan terjadi perubahan iklim, karena cuaca makin panas karena hutan primer hancur. “Hutan hilang dan sangat sulit mengembalikan ke kondisi awal karena sudah menjadi monokultur perkebunan sawit. Padahal hutan sumber daya air cukup besar, sumber keragaman hayati, dan sebagai penyerapan CO2. Ini  kerugian besar bagi Indonesia.”

Maruli Sitorus, dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), mengungkapkan, ekspansi sawit ini, menyebabkan Indonesia 10 besar negara di dunia, yang menyumbangkan CO2 ke udara. “Itu akibat eksplorasi perkebunan sawit. Tidak berlebihan saya rasa.”

Kementrian Perdagangan Republik Indonesia tahun 2012, berhasil meraup devisa dari sawit US$ 21 miliar atau sekitar Rp205 triliun. Di Sumut, pelabuhan internasional Kuala Tanjung, salah satu proyek master plan peningkatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI), rencana sebagai jalur ekspor-impor sawit di Indonesia.

Serikat Buruh Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Serbundo,  mengatakan, aksi nanti mendesak menghentikan pemberian kepada perusahaan  sawit di Indonesia, yang melanggar aturan. Terutama, tingginya perusahaan mempekerjakan anak dan perempuan menjadi buruh, perusakan hutan, hingga keragaman hayati hilang sampai kerusakan lingkungan hidup yang cukup besar.

Sampai saat ini di RSPO, belum ada working group, menyangkut mekanisme penyelesaian konflik antara buruh perkebunan sawit dengan managemen. Sebagai lembaga sertifikasi  RSPO didesak membahas ini.

Data WWF tentang peta wilayah konsesi sawit terbesar di Indonesia, Riau, Kalteng, Kalbar, dan Kaltim.

Truk membawa penuh muatan sawit. Temuan di lapangan, memperlihatkan banyak anak-anak dan perempuan bekerja di kebun sawit. Parahnya, mereka ada yang bekerja tanpa gaji demi mengejar target kerja perusahaan. Foto: Ayat S Karokaro
Truk membawa penuh muatan sawit. Temuan di lapangan, memperlihatkan banyak anak-anak dan perempuan bekerja di kebun sawit. Parahnya, mereka ada yang bekerja tanpa gaji demi mengejar target kerja perusahaan. Foto: Ayat S Karokaro
Hutan di Kabupaten Langkat yang berubah menjadi perkebunan  sawit dan perkebunan karet. Foto: Ayat S Karokaro
Hutan di Kabupaten Langkat yang berubah menjadi perkebunan sawit dan perkebunan karet. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,