Mongabay.co.id

“Madu Alam” dari Hutan Desa di Bantaeng

Namanya Desa Labbo. Ia ada di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel). Desa ini merupakan bagian dari hutan desa dengan kekayaan alam, madu,  yang menjadi mata pencarian andalan warga. Warga juga mengembangkan dan menjual bibit-bibit tanaman.  Dengan produksi madu dan bibit tanaman ini, masyarakat Desa Labbo, bisa menikmati ‘madu alam’ dari mengelola hutan sendiri.

Amiruddin, peternak madu menceritakan, kalau madu di hutan itu panen tiap enam bulan sekali. Sekali panen, dia bisa memperoleh puluhan botol madu asli. “Hasilnya cukup menutupi kebutuhan hidup sehari-harilah,” katanya pertengahan November 2013.

Saat ini, ada lima kelompok peternak madu di Desa Labbo. Setiap kelompok biasa terdiri 20–30 orang. Masa panen dua kali setahun, dengan produk 10-20 kotak per peternak, atau sekitar 40-80 botol.

Madu ini dijual  ke Ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes)  dengan harga berkisar Rp75.000–Rp100 ribu per botol.“Kami sedang mengupayakan izin dari Dinas Kesehatan dan mengemas lebih baik,” kata Jamil, Ketua Bumdes Ganting Desa Labbo.

Tak hanya madu. Di halaman rumah warga berjejer puluhan polibeg bibit cengkih dan sejumlah tanaman perkebunan lain. Selain ditanam sendiri,  bibit ini kadang diperjualbelikan. Harga bibit cengkih Rp10.000 per pohon.

Ini hanya sebagian kecil dari cerita pengelolaan hutan desa oleh warga Desa Labbo. Hutan Desa Labbo , merupakan salah satu pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Ia dikelola swadaya warga difasilitasi pemerintah. Pengelolaan oleh Bumdes, dengan komisaris otomatis dijabat kepala desa setempat. “Prinsipnya bagaimana hutan bisa terkelola baik dengan memanfaatkan hasil hutan tanpa merusak eksosistem di dalamnya,” kata Aris, Direktur LSM Balang, yang selama ini mendampingi masyarakat sekitar hutan di Kabupaten Bantaeng.

Asaduddin Rakhman, Kepala Dinas Kehutanan Bantaeng, mengatakan, keberadaan hutan desa selama ini bisa menjadi solusi degradasi hutan tanpa harus berkonflik dengan masyarakat, khusus di Kabupaten Bantaeng.

Menurut dia, saat ini, sekitar 54,4 persen lahan hutan di Bantaeng dalam kondisi kritis, sebagian besar karena konversi lahan menjadi perkebunan dan pertanian. “Ini diharapkan jadi solusi. Melalui upaya konservasi partisipatif dalam skema hutan desa.”

Kabupaten Bantaeng, temasuk daerah di Indonesia yang pertama kali merespon keberadaan skema hutan desa pada 2009. “Di saat launching program Januari 2009, kami langsung menggandeng berbagai pihak untuk terlibat, antara lain Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin dan RECOFTC.”

RECOFTC (The Center for People and Forests) adalah organisasi nirlaba internasional yang memiliki kekhususan pada peningkatan kapasitas kehutanan masyarakat dan pengelolaan hutan di Kawasan Asia-Pasifik. RECOFTC langsung terlibat di Indonesia sejak 1998 dan melatih lebih dari 300 alumni dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Pada 2010, RECOFTC secara formal berkantor di Bogor di Pusdiklat Kehutanan.

Pemkab Bantaeng juga memberikan dukungan kebijakan melalui Peraturan Bupati No. 03 Tahun 2010 tentang Hutan desa, membentuk Bumdes di daerah sasaran disertai modal awal Rp100 juta.

Sebagian besar warga di Desa Labbo melakukan usaha pembibitan tanaman di halaman rumah. Foto: Wahyu Chandra

Kawasan hutan di Bantaeng yang ditetapkan Menteri Kehutanan sebagai hutan desa pada 2010 seluas 704 hektar, terletak antara lain di Desa Labbo, Pattaneteang dan Campaga. Di tahun sama, terbit pula izin pengelolaan dari Gubernur Sulsel.

Keberhasilan pengelolaan hutan melalui hutan desa di Desa Labbo dan dua desa lain mendorong desa-desa di Kabupaten Bantaeng, seperti Desa Bonto Karaeng, Bonto Tangnga, Bonto Marannu, Bonto Daeng, Bonto Lojong, Pa’bumbungan,  mengusulkan hutan desa kepada bupati.

Pada 2011, usulan telah diverifikasi Kementerian Kehutanan. “Hingga saat ini tinggal menunggu penetapan dari Menteri Kehutanan,” ucap Asaduddin.

Luas hutan di Kabupaten Bantaeng, cukup besar, sekitar 6.222 hektar atau 15,16 persen dari total kabupaten, seluas 39.583 hektar. Ini terdiri dari hutan lindung 2.773 hektar (44,6%), hutan produksi terbatas 1.262 hektar dan hutan produksi biasa 2.187 hektar.

Menurut Asaduddin, hal penting dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini adalah perubahan paradigma pemerintah, khusus Dinas Kehutanan terkait pengawasan hutan. “Mulai 2013, kami melakukan restrukturisasi kelembagaan kehutanan dengan menempatkan masing-masing satu orang tenaga teknis kehutanan di setiap kawasan hutan.”

Begitu juga dengan polisi hutan, jika selama ini mereka bertugas menjaga hutan, sekarang lebih pada upaya pelayanan dan turut membantu warga mengelola hutan.

I Nyoman Pujawan, Kepala Seksi Kelembagaan Daerah Aliran  Sungai (DAS) BP DAS Sulsel, menilai,  penerapan hutan desa penting dalam menjaga kelestarian hutan. “Tanpa harus mengabaikan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalamnya.” Prinsipnya, tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan dan ada keterkaitan masyarakat terhadap sumber daya hutan.

Aloysius Suratin, Wakil Direktur Oxfam Indonesia menambahkan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat opsi mengurangi kemiskinan, mencegah laju deforestasi hutan serta mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan. Apalagi, masyarakat di sekitar dan bergantung pada hutan saat ini sekitar 48,8 juta jiwa, sebanyak 10,2 juta jiwa dalam kondisi miskin.

Exit mobile version