Masyarakat sekitar tambang dan organisasi lingkungan mendesak pemerintah menolak serah terima ‘limbah’ PT KEM yang direncanakan tahun ini. Sedang warga di Sulawesi, tempat Rio Tinto, membuka wilayah garapan baru diminta berhati-hati. Kasus di Kutai Barat, bisa menjadi pelajaran.
Pagi itu, 25 November 2013, Pius Erick Nyompe, bertemu dengan para awak media di Jakarta. Dia ingin menceritakan peninggalan kelam PT Kelian Equatorial Mining (KEM), anak usaha Rio Tinto ini, kala beroperasi di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Pius adalah Direktur Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKMTL), organisasi yang dibentuk setelah KEM masuk. Bukan kali ini saja, sudah sejak lama Pius, menyuarakan berbagai permasalahan seputar perusahaan tambang ini.
Di Kutai Barat, pengerukan emas oleh perusahaan ini telah berakhir sejak 2004. Tahun ini, rencana penandatanganan nota penutupan tambang bersama serah terima kawasan hutan pinjam pakai seluas 6.750 hektar kepada pemerintah. LKMTL bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak pemerintah Indonesia, mengkaji ulang dan tak tergesa-gesa menerima. Sebab, masih banyak ‘penyakit’ tinggalan KEM, yang belum jelas penyelesaiannya.
Dengan menandatangani nota itu berarti akan memindahkan beban tanggung jawab mengurus 80 juta ton tailing di dua dam, Namuk dan Nakan, kepada pemerintah. Dam-dam ini berada di hulu Sungai Kelian dan Sungai Nyuatan, yang mengalir hingga Sungai Mahakam.
Dua dam ini memiliki luas 455 hektar dengan ketinggian 425 meter di atas permukaan laut. Ia menjadi teror yang siap meledak dan meluluhlantakkan 31 desa dari empat kecamatan. Menurut Pius, masyarakat, tak pernah diberikan sosialisasi mengantisipasi andai dam itu bocor atau meluap.
Hari itu, saat jumpa pers berlangsung, di Kecamatan Nyuatan, Damai, Muara Lawa, Muara Pahu, Kutai Barat, sedang banjir. “Informasi di lapangan air Dam Namuk meluap dari sisi kanan. Bagaimana masyarahat harus mengantisipasi ini, tak diberitahu. Masyarakat tentu akan merasakan dampak,” katanya, kala berbincang di Sekretariat Jatam, Jakarta.
Persoalan krusial lain, kata Pius, mengenai tambang emas permukaan di lubang tambang (pit). Pit berupaya ditutup dengan memindahkan limbah tailing dari Dam Namuk, 10 juta metrik ton, tetapi sisi-sisi lubang masih terbuka.Ekonomi warga serba sulit. Kondisi ini memaksa mereka masuk wilayah bekas tambang itu. “Warga dituduh pencuri dan perusak, bahkan 2008, terjadi penembakan M Sofian di pit,” katanya di Jakarta, Senin (25/13/11).
Masyarakat sudah menambang di sana sejak tahun 1949. Pada 1974, datang PT Rio Tinto Indonesia, mengeksplorasi kandungan emas di Kelian. Perusahaan ini menggunakan penduduk setempat untuk menunjukkan lokasi yang mengandung emas, di lokasi tambang rakyat itu. Setelah perusahaan masuk, warga dilarang menambang. Kala selesaipun, kekerasan tetap dialami warga. Pasca tambang, dibentuk Komite Pengarah Pengakhiran Tambang (KPPT). Sayangnya, lembaga ini tak bisa menyelesaikan persoalan hingga tuntas.
Perusahaan juga membentuk PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL). Tujuannya, untuk pemulihan kawasan bekas tambang. Namun, reboisasi tak bisa berjalan di semua kawasan. Yang tak bisa direboisasi akan dipindahkan sekitar 80 kilometer dari tambang, di Bukit Soeharto, tempat taman anggrek alam, seluas 50 hektar. “Yang tak bisa direklamasi 400an hektar, lokasi pengganti hanya 50 hektar.”
Begitu juga kejahatan seksual yang menimpa perempuan pada masa itu. Tim pencari fakta (TPF), dipimpin Benyamin Mangkoedilaga dari Komhas HAM turun dari 1999 selesai Februari 2000. TPF mengindentifikasi 17 kasus, dari 21 yang dilaporkan sebagai perkosaan, pelecahan seksual atau hubungan seksual dalam tekanan. Kasus-kasus yang diduga terjadi 1987-1997 itu, lima di kamp Prampus dan melibatkan jajaran perusahaan dari petinggi hingga satpam.
Tim Komnas HAM dipimpin Prof Dr Saparinah Sadli turun ke Kelian menindaklanjuti temuan TPF. Laporan Tim Komnas HAM Mei 2001, menyebutkan kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang menimpa perempuan bahkan ada yang berusia belasan tahun, dari 13, 14, 15, 16 dan 18 tahun.
Namun, kasus-kasus itu dianggap selesai dengan perusahaan hanya memberikan sejumlah uang kepada para korban. “Apa benar kalau dengan kasih uang ke korban perkosaan berarti sudah selesai,” kata Pius. “Ada kasus pemerkosaan, penganiayaan tak pernah diselesaikan secara hukum. Hasil TPF tak ada tindaklanjut,” kata Abdullah Naem, Jatam Kaltim, di Jakarta, Oktober 2013.
Korban-korban perkosaan, sampai kini masih mengalami trauma. “Ada ibu-ibu trauma sangat dalam, tambah trauma karena anaknya bule. Anak itu tidak lagi melanjutkan sekolah. Di masyarakat dia diolok-olok. Anaknya trauma. Di sekolah tak diterima. Sedang sang ayah enak saja pergi bebas.”
Berbagai masalah yang tak tuntas ini mendorong LKMTL mengirimkan somasi kepada Ketua Bersama Komite KPPT, Bupati Kutai Barat (Kubar) Ismail Thomas dan Presdir PT KEM dan Rio Tinto, pada 11 Oktober 2013.
Dalam somasi itu, LKMTL menekankan kegiatan pengakhiran tambang tanggug jawab KPPT. Namun, dalam 12 tahun ini, meskipun sudah ada yang dilakukan, tetapi kinerja sangat tidak baik. Ketua Komite Bersama, dinilai tak transparan dan tak bertanggung jawab.
Somasi itu menyebutkan, komite bersama, tak pernah terbuka mengimformasikan kejelasan perubahan status kawasan menjadi hutan lindung. Masyarakat, tak pernah dilibatkan padahal berdampak pada mereka. Begitu pula mengenai dana abadi dalam KPPT dan transparansi pengelolaan dana US$1,2 juta oleh HLKL. “Tapi tak ada tanggapan dari somasi yang kami kirim,” ucap Pius.
Penyediaan dana US$11,2 juta oleh KEM untuk rehabilitasi lingkungan bekas tambang seluas 1.192,23 hektar dan membantu pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar.
Dikutip dari Antara Agustus 2006, Yudhi Nurchahyana, Manager Administrasi dan Hubungan Masyarakat KEM, kala itu mengatakan, masa penghentian produksi komersial sejak Februari 2005, KEM berinisiatif membuat beberapa program. Yakni, mereklamasi dan rehabilitasi bekas tambang serta menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat tambang.
KEM mendirikan HLKL untuk melindungi, mengelola dan memantau hutan lindung di bekas lahan tambang. Untuk mengelola aset sekaligus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar tambang, KEM mendirikan Yayasan Anom Lio, dengan anggota masyarakat sekitar tambang.
Yudhi mengatakan, sebelum meninggalkan ladang pertambangan, perusahaan bersama masyarakat melakukan sterilisasi di bekas lahan tambang. “Ini untuk menyakinkan kepada masyarakat setelah ditinggal betul-betul tidak ada bijih emas tersisa hingga terhindar dari tindakan tambang liar yang akan merusak lingkungan.”
Program sterilisasi dilakukan sejak Januari 2006. Sedang dana rehabilitasi tersimpan di BNI London dan bunga akan dimanfaatkan membiayai seluruh kegiatan hutan lindung yang ditargetkan hingga 2013.
Andika, Manajer Kampanye Jatam mengatakan, kini sudah 2013, tetapi danau limbah masih menganga berisi jutaan ton tailing. “Rio Tinto berusaha menyembunyikan borok. Mau dikemanakan jutaan ton tailing itu? Ini jelas bom waktu yang akan meneror Mahakam, dan warga Kutai Barat,” ujar dia. Ditambah lagi, berbagai tindakan kekerasan yang dialami warga, dari penangkapan, penembakan, sampai perkosaan dan pelecehan seksual.
Meskipun begitu, pemerintah tetap membuka peluang besar perusahaan ini berinvestasi. Dengan berbagai peninggalan di Kutai Barat itu, sejak 2011, Rio Tinto membuka tambang baru di Sulawesi. “Padahal, seharusnya kasus-kasus di Kutai Barat ini menjadi warning ke bagi pemerintah. Mereka pergi, tak ada ikatan apapun dengan masyarakat sekitar. Kala mereka keluar, tempat itu jadi sampah, bak kota mati.”
Kala pemerintah bersikap seperti itu, katanya, masyarakat di sekitar tambang di dua provinsi di Sulawesi, harus berhati-hati sejak dini. “Jangan sampai kasus serupa di Kutai Barat, terulang di sana.”
Di dua provinsi di Sulawesi, yakni Sulawesi Tengah dan Tenggara, Rio Tinto mendapatkan izin pertambangan khusus dengan mana PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM). Pada 13 Desember 2012, Jero Wacik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menandatangani Keputusan Menteri No 3323 K/30/MEM 2012 tentang penciutan IUP eksplorasi SCM karena tumpah tindih dengan izin perusahaan lain. Semula izin tambang 50.700 hektar, dikurangi 6.633 hektar, menjadi 44.067 hektar.
Rio Tinto adalah group tambang raksasa dari Australia yang memusatkan diri di London dan beroperasi lebih dari 20 negara. Perusahaan adalah hasil “perkawinan” dua perusahaan besar yakni RTZ Corporation PLC dan CRA Limited. Rio Tinto, dikelompokkan dalam masing-masing komoditi dipimpin Chief Executive. Ada tembaga, biji besi, energi, aluminium, emas, berlian dan mineral industri.
Berdasarkan hasil penelusuran awal Jatam, Rio Tinto berencana menambang nikel di tiga wilayah, yakni, Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan areal konsesi tambang 95.130 hektar. Kawasan yang saling berbatasan antar tiga provinsi ini diberi nama Blok Lasampala terdiri dari tiga sub-blok, dengan luas masing-masing; blok I 60.420 hektar, blok II 8.460 hektar dan blok III 27.250 hektar.