Minim Pengelolaan Lestari, Seperlima Lahan Gambut di Jambi Berubah Jadi Perkebunan

Jambi adalah provinsi yang memiliki lahan gambut ke-3 terluas di Sumatra. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Wetlands International Indonesia Program (WIIP) total luas lahan gambut Jambi adalah 746.230 hektar dan 155.380 hektarnya telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain dikonversi menjadi perkebunan sawit lahan gambut di provinsi ini juga telah dikonversi menjadi hutan tanaman industri.

Sebelum digunakan menjadi lahan budidaya harus dilakukan pembuatan kanal (drainase) untuk menurunkan permukaan air tanah sehingga lahan gambut menjadi kering dan dapat ditanami. Pembuatan kanal – kanal ini akan menyebabkan penurunan permukaan gambut (subsidensi). Kebakaran lahan gambut juga akan mengakibatkan penurunan permukaan gambut. “Jika penurunan permukaan lahan gambut ini terus terjadi maka lahan gambut akan tergenang air dan tidak dapat dimanfaatkan sama sekali” kata Iwan Tri Cahyo Wibisono, Koordinator Ecosystem Alliance – WIIP pada saat Workshop Peran Tata Ruang dalam Pengelolaan Lahan Gambut di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan beberapa waktu yang lalu. Menurutnya jika ini terus berlangsung bukan tidak mungkin menjadi bencana ekologis terutama bagi daerah timur Jambi yang didominasi oleh lahan gambut.

Pembuatan kanal di lahan gambut
Pembuatan kanal di lahan gambut untuk keperluan perkebunan skala besar. Foto: Lili Rambe

Merujuk pada studi yang dilakukan oleh Hoijjer pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit dan akasia tahun 2012 lalu pada lima tahun pertama sejak  kanal dibuat terjadi penurunan permukaan lahan gambut sebanyak 142 cm. Dan akan terjadi penurunan secara konstan sebanyak 5 cm per tahun setelah lima tahun pertama pembuatan kanal. Karena gambut terikat dalam satu kesatuan hidrologis maka dampak dari kegiatan pemanfaatan lahan menjadi lahan budidaya ini tidak hanya dirasakan pada lokasi kegiatan berlangsung tapi juga akan berdampak pada kawasan gambut disekitarnya. Dan dalam jangka waktu tertentu penurunan permukaan gambut di beberapa daerah akan mengakibatkan banjir.

Lahan gambut memiliki karakteristik yang berbeda dengan tanah mineral biasa. Lahan gambut memegang peranan penting dalam pengaturan iklim global karena dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar sehingga tidak lepas ke atmosfir. Ketika mulai dikeringkan atau telah mengalami degradasi lahan gambut akan melepaskan karbon lebih cepat dari karbon yang diserapnya.

Penurunan muka air tanah akibat rusaknya lahan gambut ini juga menyumbangkan emisi karbon yang besar bagi bumi karena setiap penurunan muka air tanah sebesar 10 cm akan melepaskan emisi karbon sebanyak 9,1 juta CO2 per hektar per tahunnya dan akan berdampak besar terhadap perubahan iklim. Jika Indonesia terus melakukan kegiatan pemanfaatan lahan gambut menjadi lahan budidaya maka lahan gambut akan menyumbang emisi sebesar 41%. Sementara Jambi sendiri menghasilkan emisi sebesar 57 Juta Metrik Ton CO2 (MtCO2e) per tahun dan 85% nya berasal dari eksploitasi gambut dan alihfungsi lahan. Ini berarti Jambi memberikan sekitar 3% dari total emisi Indonesia.

Tabel Tutupan Hutan dan lahan gambut Indonesia dan Malaysia antara tahun 2000-2010.
Tabel Tutupan Hutan dan lahan gambut Indonesia dan Malaysia antara tahun 2000-2010.

Oleh karena itu pengelolaan lahan gambut harus dilakukan dengan lebih mengutamakan aspek konservasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim akibat pelepasan emisi CO2. “Tukar Menukar Lahan” (Land Swap) adalah salah satu opsi yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi dan melindungi lahan gambut” jelas Iwan.  Yang dimaksud dengan tukar menukar lahan adalah jika terdapat hutan gambut yang berada di Areal Penggunaan Lain (APL) yang kondisinya masih baik ditukar dengan lahan non hutan atau lahan kering yang berada di kawasan hutan. Namun Iwan mengakui bahwa skema ini memiliki kendala legalitas lahan, konflik kepentingan pemerintah negara dan pemerintah pusat serta konflik dengan pihak – pihak lainnya.

Opsi penyelamatan lain yang dapat dilakukan adalah melakukan proses pembasahan kembali (rewetting) dengan membangun bendungan (tabat) pada lahan gambut yang telah terlanjur dibuat kanal – kanal. Namun menurutnya hal terpenting yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan lahan gambut adalah komitmen serius dari pemerintah untuk melindungi dan mengkonservasi lahan gambut yang tersisa dan tidak lagi menerbitkan izin usaha atau membangun infrastruktur diatas lahan gambut serta memasukkan pengelolaan lahan gambut dalam rencana pengelolaan tata ruang wilayah dengan mengutamakan aspek konservasi.

“Saat ini Ecosystem Alliance tengah memfasilitasi pemutakhiran peta sebaran dan kedalaman gambut di Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah serta memfasilitasi rehabilitasi lahan gambut dan pengelolaan gambut berbasis masyarakat” ungkap Iwan. Dengan pemutakhiran data tentang gambut ini diharapkan agar pengelolaan gambut dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan kelestarian gambut karena gambut adalah sumber daya alam yang tidak terbarukan. Jika eksploitasi lahan gambut yang mengakibatkan turunnya permukaan gambut terus dilakukan maka dalam waktu 100 hingga 300 tahun mendatang diperkirakan 10 juta hektar daratan Indonesia akan hilang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,