Mongabay.co.id

Pentingnya Melibatkan Masyarakat Adat dalam REDD+

No Right. No REDD. Begitu komitmen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, menyikapi proyek berlabel pengurangan deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia ini. Jika tak ada kepastian hak, masyarakat adat bisa kembali menjadi korban alias mengalami masalah di tanah sendiri.

Mina Susana Setra, Deputi Urusan Politik, Hukum, dan Advokasi AMAN mengatakan, dulu atas nama pembangunan, wilayah adat dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. “Saat ini, atas nama penyelamatan bumi, lagi-lagi wilayah adat yang menjadi sasaran,” katanya kala berbicara pada acara Konsultasi Nasional REDD+ di Jakarta, akhir November 2013.

Isu perubahan iklim, katanya, seharusnya menyangkut sosial dan lingkungan. Kini, malah menjadi ajang bisnis. Lagi-lagi ancaman mengintai masyarakat adat, jika mereka tak dilibatkan.

Untuk itu, REDD bisa berjalan di wilayah adat, kata Mina,  jika ada kepastian hak-hak masyarakat adat, kepastian hak tenurial dan pengelolaan wilayah, serta dukungan pengetahuan. Lalu, menjadikan kearifan tradisional sebagai alternatif solusi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, menguatkan kapasitas organisasi masyarakat adat.  Serta free prior and informend consent (FPIC) atau konsep persetujuan tanpa paksaan dengan memberikan informasi kepada masyarakat dari awal.

Diapun merekomendasikan pemerintah agar mengembangkan kerja sama dengan masyarakat, dalam bentuk sederhana. “Mudah dipahami masyarakat adat yang kini punya hutan alam.” Dalam Badan REDD+ yang sudah terbentuk, tetapi belum memiliki pengurus ini pun, kata Mina, perlu ada representasi masyarakat adat. “Bukan hanya dilibatkan mengawasi atau konsultan.”

Sejalan dengan pemikiran Wiliam Sabandar,  dari Tim Khusus REDD+.  Menurut Wiliam, masyarakat adat harus dilibatkan dalam implementasi REDD+. Sebab, badan REDD+ tak bisa bekerja sendiri. “Pemerintah harus berpihak  pada masyarakat,” ujar dia.

Menurut dia, masalah di lapangan begitu kompleks hingga kemitraan dengan masyarakat adat sangat penting. “Saya tak yakin Badan REED+ yang cuma 60 orang itu bisa selesaikan masalah. Jadi perlu mitra, masyarakat adat inilah mitra. Jika masyarakat adat tak mitra, keputusan badan ini bisa keluar dari konteks.”  “Badan REDD+ ga bisa kerja sendiri. Harus bersama-sama dengan yang lain.”

Untuk itu, badan REDD+ ini harus dikelola kritis oleh AMAN dan masyarakat sipil lain agar tak salah arah, terlebih dari awal badan ini sudah berjalan bersama masyarakat adat, seperti proses penyusunan strategi nasional.

Batas kawasan hutan adat yang diklaim negara. Kini, Kabupaten Bulukumba tengah menyusun perda untuk pengakuan masyarakat Adat Kajang. Foto: Christopel Paino

Andiko, Direktur Eksekutif HuMA mengatakan, dalam implementasi REDD+, AMAN bisa mulai berkoordinasi dengan beberapa kementerian yang ada dalam badan REDD+. Hingga ada rumusan penanganan berbagai persoalan, misal, jika ada perusahaan mau masuk hutan adat.

Dia mengusulkan, ada satu model hutan adat yang bisa dilihat proses pengusulan hingga pengakuan. “Jadi ada contoh.” Meskipun begitu, Andiko, melihat, tak semua pihak optimis dengan Badan REDD+ ini. “Ada kelompok pesimis. Kita tak boleh pesimis terus, tapi harus manfaatkan ruang-uang yang ada. Jadi pemangku kelompok kepentingan ini harus diisi masyarakat adat atau AMAN.”

Menurut dia, ada kemajuan aturan-aturan di negeri ini tetapi dalam implementasi masih banyak pekerja rumah. “Level normatif sangat maju sekali. Tapi aplikatif?”

Untuk itu, perlu dipikiran bagaimana masyarakat adat masuk dalam proses kerangka hukum dan peraturan. “Jadi keputusan MK, harus dijadikan starting point.”

Pelaksanaan putusan MK,  35, di level pemerintah terlihat lamban. Dia mencontohkan, Ditjen Planologi, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) baru belajar membaca beberapa peraturan daerah mengenai keputusan pengukuhan masyarakat adat. Tak ada aturan standar. “Ini harus ada pegangan kalo ga akan lama, karena pejabat akan lempar sana sini, cari aman.” Dia menlihat, tak ada jembatan antara pemerintah pusat dan daerah. “Kalo kementerian berwacana terus dengan keputusan MK 35 ini, tak ada penyelesain.”

Menurut Andiko, panduan perizinan di wilayah adat juga harus ada. Dia mempertanyakan, tentang penyelesaian wilayah masyarakat adat yang ‘terlanjur’ masuk wilayah perusahaan. “Apakah ada kebijakan keterlanjuran? Seperti belum lama ini,  pemerintah bikin peraturan pelepasan kawasan hutan karena ada investor yang ‘terlanjur’ masuk di kawasan hutan,” ujar dia.

Kepengurusan Badan REDD+?

Sampai hari ini, sejak dikeluarkan keputusan pembentukan Badan REDD+ awal Sepember 2013, belum ada penentuan pengurus. Kabar yang berkembang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  telah memutuskan yang akan duduk sebagai kepala.

Namun, lagi-lagi, keputusan belum final karena Kepres belum ditandatangani Presiden. Terakhir, Heru Prasetyo, Deputi II UKP4, disebut-sebut bakal menduduki posisi ini setelah hasil pertemuan berdua Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4, bersama Presiden.

Agus Purnomo, Staf Ahli Presiden juga Sekretaris Dewan Nasional Perubahan Iklim, mengatakan, Heru bisa dikatakan sosok yang paling tahu kala persiapan REDD+. “Pak Heru ikut membidani Satgas REDD+. Dia juga co director pendanaan REDD+ dari Norwegia yang US$30 juta. Untuk pemahaman masalah, dia sangat menguasai,” ujar dia.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, mendesak Presiden segera menetapkan figur yang duduk dalam Badan REDD+ itu. “Ini kan tahun politik, kalau tidak tahun ini, berarti dia melemahkan inisiatif yang sudah dikeluarkan.”

Menurut dia, pengurus badan ini penting, karena bak rumah, sudah dibuat tetapi tak ada yang mengurus, sama saja bohong. “Percuma.”  Jadi, penetapan pengelola badan ini harus segera, jangan sampai Presiden turun dari tahta. “Badan REDD+ harus operasional,” katanya.

Exit mobile version