, , ,

Perkebunan Sawit, Bom Waktu Bencana Alam Kalbar

Syarif M Amin, mahasiswa S2 Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak, membeberkan sejumlah fakta terkait fenomena perkebunan sawit di Kalimantan Barat (Kalbar). Produk primadona itu tak lebih dari bom waktu pemicu ledakan bencana alam dahsyat di Kalbar.

Berdasarkan hasil studi  ini, kata Amin, perkebunan sawit di Kalbar,  memiliki dampak positif dalam penyerapan sektor tenaga kerja. Ini selaras dengan upaya pemerintah menekan angka pengangguran tinggi di provinsi itu.

Data terakhir BPS Kalbar, pengangguran 2010, diperkirakan mencapai kurang lebih 101,6 ribu jiwa atau sekitar 4,62 persen dari 2,2 juta jiwa angkatan kerja. Perkebunan dan pertanian, terutama perkebunan sawit sektor paling tinggi menyerap tenaga kerja, bahkan, mencapai 60,43 persen. Sedangkan, perindustrian hanya 12,39 persen, dan pelayanan serta jasa 27,18 persen.

Namun, pembukaan perkebunan sawit berdampak negatif terhadap lingkungan. Kehadiran menjadi ancaman bagi wilayah Kalbar, sebagai satu kesatuan ekologis. Perkebunan sawit dinilai bisa merusak keseimbangan alam dan lingkungan. “Jika kita melihat Kalbar dari udara, jelas mulai dari sejengkal tanah di tapal batas dengan negara tetangga Malaysia, hingga rivarian sungai dan pesisir laut wilayah Kalbar, sebagian besar kawasan sudah dipenuhi sawit dan pembukaan lahan sawit baru.”

Dia menjelaskan, sekitar 60 persen lahan di Kalbar, beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Yang paling mengkhawatirkan, pembukaan lahan sawit itu mengabaikan status lahan seperti kawasan hutan, bukan lahan tak produktif. “Ini yang paling kita kritisi, pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan sawit skala besar.”

Target luasan pembukaan perkebunan sawit di Kalbar, mencapai 1,5 juta hektar. Sedang kebun sudah ditanam dan dikelola 900 ribu hektar. Fakta, proses perizinan kini mencapai 4,8-4,9 juta hektar. Luas perkebunan masih proses perizinan, jauh lebih luas dari target itu.

“Sangat ironis, banyak areal perizinan perkebunan sawit justru masuk permukiman warga. Ini menunjukkan betapa semberononya proses penentuan perkebunan para pengusaha ke pemerintah yang hanya memikirkan investasi dan PAD.”

Sebenarnya, target luasan perkebunan sawit 1,5 juta hektar itu prioritas untuk lahan kritis dan tak produktif. Namun, jika izin melebihi target, bisa dipastikan lahan bukan hanya lahan kritis tapi masuk kawasan hutan, baik hutan produksi, maupun lahan gambut. Akibatnya, wilayah kelola masyarakat menjadi makin sempit.

Sumber Bencana

Inilah yang menjadi sumber bencana bagi Kalbar ke depan. Pembukaan lahan baru berskala besar dengan pola membakar atau mekanisasi menggunakan alat berat pasti mengubah kontur alam untuk areal tanam.

Akibatnya, anakan sungai dan cekungan alam yang sebelumnya menjadi media menampung air hujan, kini areal datar dan tak bisa dijadikan tempat penampungan air saat hujan. Padahal, secara alami, air selalu mencari tempat rendah. “Seyogyanya, ini menjadi perhatian semua pihak. Sebab, dengan merusak kontur alam, pasti bencana banjir akan datang.”

Beragam persoalan pun muncul, seperti sumber air bersih hilang, perambahan ruang kelola dan pertanian warga, perampasan tanah warga, penghilangan fungsi hutan melalui kebijakan pembukaan hutan skala besar untuk perkebunan sawit, konflik sampai kriminalisasi warga. Keadaan ini menjadi bom waktu bencana alam seiring kebijakan pemerintah yang cenderung tunduk pada pemodal.

Banjir di berbagai daerah di Kalimantan Barat, seperti di Pontianak, Singkawang, sudah menjadi agenda rutin. Makin lama makin parah. Foto: Andi Fachrizal
Banjir di berbagai daerah di Kalimantan Barat, seperti di Pontianak, Singkawang, sudah menjadi agenda rutin. Makin lama makin parah. Foto: Andi Fachrizal

Malaysia Kuasai Kebun Sawit Kalbar

Data Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar (Ilham Sanusi 2012), dari 124 perusahaan perkebunan sawit di Kalbar, sekitar 60 persen dimiliki asing, terutama pengusaha dari Malaysia.

“Pengamatan saya, memuluskan bisnis mereka dan melawan kritik masyarakat di Kalbar, para pengusaha Malaysia banyak menggunakan tokoh-tokoh berpengaruh atau mantan pejabat, mantan anggota DPRD, dan para akademisi yang duduk di jabatan posisi penting di perusahaan perkebunan sawit itu,” ucap Amin.

Akibatnya, degradasi hutan di Kalbar makin menuai dampak serius bagi manusia. Pembukaan hutan masif untuk berbagai kepentingan manusia, sedikit demi sedikit menghilangkan kemampuan hutan menyimpan cadangan air. Aliran air itu, mengalir ke permukiman penduduk.

Dia pesimistis, dengan program REDD+ dan penurunan emisi gas rumah kaca. Negara maju tetap merusak dan memproduksi gas rumah kaca, lalu menjanjikan kompensasi kepada negara-negara berkembang pemilik hutan tropis, dengan memberikan syarat tak masuk akal.

Mekanisme perolehan dana pun dibuat rumit hingga mustahil tersentuh. Mereka sadar jika menurunkan emisi GRK berarti menurunkan produksi yang akan memengaruhi perekonomian. “Buat kita, perilaku adil dan bijak terhadap alam tak perlu dengan iming-iming insentif yang masih di awang-awang dan realisasi tak jelas.”

Kontradiksi MP3EI

Sedang MP3EI yang dicetuskan pemerintahan SBY sejak 2011, lewat Peraturan Presiden No 32/2011, dirumuskan melalui Rencana Aksi Nasional GRK, kata Amin mustahil berjalan beriringan.

Pasalnya, target utama MP3EI kenaikan pendapatan per kapita dan nilai total perekonomian (PDB) dengan meningkatkan 22 kegiatan ekonomi utama. Termasuklah perkebunan sawit skala besar di Kalimantan.

Hingga kini, beberapa kegiatan ekonomi utama tidak terbukti bisa sejalan dengan penurunan GRK. Justru sebaliknya, perusakan hutan besar-besaran melalui pembukaan lahan perkebunan sawit, habitat satwa liar hilang dan konflik satwa dan manusia akhir-akhir ini sering terjadi.

“Contoh, orangutan ke permukiman warga di Wajok Hilir, Kabupaten Pontianak, dan terbakar saat evakuasi. Lalu, kasus orangutan dimakan warga di kawasan Batu Layang, Pontianak, belum lama ini.”

MP3EI tampak berlawanan dengan program pemerintah yang lain. Pada 5 Januari 2012, Pemerintah Indonesia bertekad mengalokasikan 45 persen Kalimantan sebagai paru-paru dunia. Ini upaya menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada 2020.

Di manakah letak 45 persen kawasan hutan yang dipertahankan itu? Pembukaan lahan perkebunan sawit berskala besar sampai masuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung hingga taman nasional terus terjadi, terutama di Kalbar. “Program pembangunan dengan memprimadonakan sawit, tak lebih hanya meninggalkan bom waktu bencana alam yang luar biasa bagi generasi mendatang.”
sawit kalbar3-peta kalbar

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,