Izin Tambang Marak, Reklamasi Lahan Pasca-Tambang Tak Berjalan di Kaltim

Tercatat sekitar 100.000 ha kawasan hutan terpakai untuk tambang, dari total 14 juta ha kawasan hutan di Kalimantan Timur. Dan kebanyakan perusahan yang memanfaatkan kawasan hutan adalah perusahaan besar yang memiliki ijin pertambangannya melalui Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan dikeluarkan pemerintah pusat.

Pengeluaran ijin tersebut tidak diikuti dengan proses pendataan kandungan mineral tanpa melihat lahan yang akan di tambang secara mata telanjang.  Namun dilain pihak, tumbuh berkembangnya sektor pertambangan batubara juga menimbulkan masalah tidak hanya berkaitan dengan isu lingkungan saja, akan tetapi juga masalah kesehatan, deforestasi dan degradasi kawasan hutan.

Untuk itu diperlukan usaha pencegahan dan perbaikan, dan salah satunya adalah dengan melakukan rehabilitasi lahan pascatambang melalui kegiatan reklamasi dan revegetasi. Dinas Kehutanan Kaltim mendorong program reklamasi lahan pasca-tambang dengan biaya murah, mudah, dan teknologi sederhana. Hal ini dikatakan Sekretaris Dinas Kehutanan Kaltim Sigit Budi Tjahjono. Ia mengatakan, saat ini sudah terbentuk Forum Reklamasi Hutan yang keanggotaannya berasal dari pelaku usaha tambang. Forum ini bertujuan untuk memfasilitasi dan menggodok aturan‑aturan mengenai kegiatan reklamasi dan revegetasi lahan pasca-tambang.

“Jadi forum ini khusus menggodok reklamasi yang berada di areal kehutanan,” ujarnya.

Aturan mengenai reklamasi di areal hutan, kata Sigit, kini diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan yang isinya sudah melalui pembicaraan dengan Forum Reklamasi Hutan. “Kalau di kehutanan itu yang namanya reklamasi tidak hanya menutup, tapi juga sekaligus menanam,” katanya.

Kewajiban menanam tersebut tidak hanya difokuskan di areal tambang yang dipinjam pakai. Namun tiap-tiap perusahaan juga diwajibkan untuk merehabilitasi lahan kritis di luar areal tambang yang masih berada dalam satu kawasan hutan.

“Misalkan kalau ada tambang yang dipinjamkan 100 Ha, selain wajib mereklamasi dan merehab yang 100 Ha, dia juga wajib melakukan di tempat lain, tapi masih di dalam kawasan dan seluas yang sama. Itu untuk menanggulangi risiko lingkungan, karena tambang ini tidak lepas dari lubang,” jelasnya.

Reklamasi lahan pasca-tambang di Provinsi Kalimantan Timur masih bisa dihitung jari. Dari sekitar 1.200 perusahaan tambang yang beroperasi, hanya sebagian kecil saja yang menunaikan kewajiban melakukan reklamasi. Hal ini dikemukakan Kepala Puslitbang Peningkatan Produktifitas Hutan, Dr Ir Bambang Trihartono.

“Saya melihat secara pribadi hanya sedikit perusahaan yang konsen ke arah itu (reklamasi), dan rata-rata adalah perusahaan besar. Sedangkan perusahaan-perusahaan kecil masih banyak yang mengabaikannya,” ujarnya.

Bambang prihatin mengingat sejauh ini belum ada kemauan kuat dari pemerintah ataupun aparat di daerah untuk mendorong reklamasi lahan pasca tambang. Padahal jika ini menjadi komitmen bersama, maka biaya untuk reklamasi atau revegetasi lahan bisa relatif lebih murah. “Kebanyakan kita melakukan itu ada ego sektoralnya, padahal kalau bisa dikolaborasikan saya kira biayanya relatif murah, kemudian SDM juga harus banyak,” jelasnya.

Reklamasi lahan pasca-tambang, kata Bambang, sebenarnya tidak hanya diwajibkan bagi industri batubara. Tapi juga semua kegiatan penambangan, termasuk galian C yang kini marak dilakukan di berbagai daerah.

Beberapa kawasan hutan di Kaltim yang tergerus oleh tambang Batubara. Foto: Hendar
Beberapa kawasan hutan di Kaltim yang tergerus oleh tambang Batubara. Foto: Hendar

“Galian C itu di Sulawesi cuma berfungsi untuk tanah urukan, tapi itu mengorbankan sawah yang harusnya untuk panen masyarakat setiap tahun. Sekarang nggak bisa dipanen lagi karena sudah habis sawahnya. Di Banten pun begitu, galian C kedalamannya bisa sampai 20 meter, sehingga kondisinya kalau ada rumah maka rumah itu seperti berada di pucuk gunung, akhirnya terpaksa si penghuni rumah keluar. Jadi sentuhan rohani kita sudah tidak ada lagi karena kebijakan yang sangat repot, yang semaunya sendiri, kemudian pelaksana yang mendapatkan izin tidak punya hati nurani,” tegasnya.

Adapun solusinya, kata Bambang, jaminan reklamasi itu harus dihitung dengan betul dan perlu duduk bersama antara Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan untuk bisa menghijaukan kawasan yang sudah hancur akibat tambang. “Tidak ada kata mustahil untuk menghijaukan. Reklamasi itu kalau kita meluangkan waktu untuk jauh-jauh memikirkan, misalnya kita cek tanahnya seperti apa, kemudian jenis tanaman yang cocok seperti apa, saya kira bisa,” jelasnya.

Lebih lanjut, Bambang mengatakan saat ini sudah ada lima jenis tanaman yang dirilis melalui SK Peraturan Menteri Kehutanan untuk kegiatan reklamasi dan revegetasi lahan pasca-tambang. Di antaranya jenis tanaman mahoni, Acacia mangium, Eucalyptus, dan murbei.

“Jenis tanaman ini sudah bagus, terutama Acacia mangium walaupun dia sifatnya gulma tapi kita bisa kendalikan sifat itu dengan tanaman campuran. Jenis tanaman ini juga cocok di Kaltim, Acacia mangium misalnya sudah ditanam di daerah Kukar dan Kutim,” jelasnya.

Namun Bambang menyarankan, kegiatan reklamasi dan revegetasi tersebut tidak hanya fokus pada tanaman murni, namun juga dicampur dengan tanaman lain yang punya nilai potensial tinggi untuk masyarakat. Pelibatan masyarakat juga diyakini faktor penting dalam keberhasilan reklamasi.

“Masyarakat nggak bisa dibiarkan atau ditinggalkan, tapi mereka harus diikutkan dengan pengaturan pembentukan kelembagaan, dan sebagainya. Itu semua harus komperehensif, karena hasil dari tanaman itu nanti juga bisa diambil untuk masyarakat,” katanya.

Di sejumlah daerah, lanjut Bambang, terbukti sudah berhasil melakukannya. Salah satunya yakni tambang nikel PT Inco di Soroako, Sulawesi Tengah. “Sekarang kita sudah punya tanaman unggulan seperti jenis cempaka, mahoni, itu semua bisa kita coba. Bahkan tanaman bambu seperti di KPC, juga bisa dimanfaatkan. Di samping rebungnya diperdagangkan, hasilnya juga bisa untuk bio energi, dibikin pelek lalu kita sebarkan ke masyarakat. Dan tanaman bambu ini juga baik sekali untuk daerah tangkapan air,” pungkasnya.

Perusahaan Tambang Batu Bara dengan Ijin PKB2B memakan wilayah hutan paling besar. Foto: Hendar
Perusahaan Tambang Batu Bara dengan Ijin PKB2B memakan wilayah hutan paling besar. Foto: Hendar

Reklamasi Dengan Tanaman Lokal

Penerapan konsep bersinergi dengan alam pada intinya adalah bagaimana mengkombinasikan usaha-usaha perbaikan dan pemulihan suatu ekosistem yang rusak dengan kekuatan alam.

Usaha-usaha perbaikan dan pemulihan yang dilakukan melalui kegiatan reklamasi dan revegetasi khususnya di lahan bekas tambang di dalam kawasan hutan jauh lebih efektif dan efisien jika kita mampu menciptakan kondisi di lapangan yang dapat mempercepat terjadinya proses regenerasi  alami.

Penerapan konsep bersenergi dengan alam dalam mereklamasi lahan bekas tambang batubara khususnya di dalam kawasan hutan harus diterapkan mengingat kondisi pemungkin untuk diterapkan konsep ini sangat mendukung.

Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang berada di dalam kawasan hutan dengan skema IPPKH akan selalu dekat dengan hutan atau sisa-sisa hutan (fragment forest) yang menyediakan banyak biji-biji dari beragam jenis dan juga habitat bagi populasi hewan-hewan pemancar biji.

Tabel Rekapitulasi Izin Usaha Tambang Batubara di Kalimantan Timur

Sejak tahun 2011 lalu Biltek KSDA Samboja secara aktif mencoba menerapkan konsep bersinergi dengan alam dalam mereklamasi lahan pasca tambang batubara di dalam kawasan hutan. Dan hasilnya cukup baik. Dengan menanam jenis pohon Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan jenis-jenis lokal lainnya seperi Laban (vitex pinnata), Pulai (Alstoni sp), Shorea balangeran, jambu-jambu (Syzygium sp) hingga 5,5 ha di temukan ada sekitar 45 jenis pohon, gherba, liana dan rumput dari 21 famili.

Dari 45 jenis tersebut beberapa jenis yang dominan hadir lebih dahulu melalui proses regenrasi alami (suksesi) diantaranya Homalanthus populous, Melastoma malabathricum, Cledimia hirta, Mallotus Panicultus, Trema tomentosa, trema cannabina, Macaranga gigantea, Macaranga trichocarpa, Macaranga hypoleuca, Piper aduncum, Fordia spelendidissima dan beberapa jenis lainnya.

Dr Ishak Yassir, Peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPTKSDA Kementrian Kehutanan mengatakan dengan mengambil contoh tanaman local yang biasa tumbuh dilahan pasca tambangm tentu akan membantu dalam proses reklamasi lahan pasca tambang. “Asal perusahaan tambang mau serius melakukan reklamasi, dengan memilih tanaman local yang telah terbiasa dengan tanah yang memiliki kandungan batubara, tentu lahan pasca tambang dapat di reklamasi dengan tanaman local tersebut,” kata Ishak.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,