Mongabay.co.id

Menelusuri Aksi Penyelundupan Kayu dari Pelabuhan di Sumut

Sebuah truk besar melintas di jalan dari Kota Pematang Siantar menuju ke Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara (Sumut). Terlihat terlihat batang-batang pohon kayu ukuran besar dan panjang seberat belasan bahkan mungkin puluhan ton, yang disusun rapi dan menumpuk cukup tinggi memenuhi isi truk.

Truk-truk berisi kayu itu, melintas dengan tenang. Terdengar tawa renyah sang supir, dan dua teman yang berada di dalam mobil berisi kayu. Di setiap persimpangan yang dilintasi dan dijaga oknum aparat kepolisian, sang supir acapkali mengeluarkan tangan. Lalu, menggenggam sebuah benda, dan memberikan kepada oknum aparat yang dilewati. Belakangan diketahui, benda itu adalah uang, agar jalan mereka lancar dan oknum aparat itu tidak memeriksa dokumen untuk membawa kayu-kayu itu.

Ini aktivitas para supir yang membawa kayu-kayu itu, dari kawasan Kabupaten Simalungun, Kabupaten Tapanuli Selatan, dan Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Mereka memuat kayu, lalu menurunkan puluhan ton kayu, ke Pelabuhan Teluk Nibung, Kota Tanjung Balai pertengahan bulan Desember 2013.

Kemanakah kayu-kayu itu akan dikirim? Dan dari manakah kayu-kayu itu diperoleh? Saya mencoba menelusuri. Saya berbincang dengan para supir truk yang menunggu bongkar muat puluhan ton kayu ini di pinggir Pantai Teluk Nibung. Menurut mereka, kalau kayu-kayu itu dari kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi, yang beralih menjadi perkebunan sawit dan perkebunan karet.

Seorang supir yang biasa dipanggil Ucok Manaf, mengatakan, kayu-kayu ini dimuat pada malam hari, lalu mereka bawa ke Pelabuhan Tanjung Balai, Pelabuhan Sibolga. Sebagian kecil dibawa ke Pelabuhan Belawan, Medan.

“Yang dari Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan, sebagian dibawa ke Pelabuhan Belawan. Yang dari Kabupaten Simalungun, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Pakpak Barat, dan sejumlah wilayah lain yang berbatasan dengan Sumatera Barat dan Aceh, dibawa ke Pelabuhan Tanjung Balai dan Pelabuhan Sibolga, ” katanya. Dia bercerita lepas sambil meminum kopi dari warung dekat Pelabuhan Teluk Nibung, Tanjung Balai, lima jam dari Medan.

Menurut dia, pemberian uang kepada oknum petugas di jalan raya, agar tak ada pemeriksaan dokumen tentang izin membawa kayu-kayu, ke Pelabuhan Teluk Nibung dan pelabuhan lain. Kayu-kayu itu dimuat ke kapal laut untuk dikirim ke sejumlah negara.

Kegiatan ini sudah selama bertahun-tahun. “Kalau gak dikasih uang, bisa ditahan truk berisi kayu ini bang. Bos pun udah menyiapkan uang setiap kami muat kayu, ” ujar dia.

Ucok mengatakan, kayu-kayu itu akan diseludupkan ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Australia dan China, dari jalur laut melalui Malaysia. Agar tak mencolok, kayu-kayu ini dipotong ukuran lima centimeter dengan panjang tiga sampai enam meter, biasa disebut kayu olahan, dan dikerjakan di dalam hutan. “Jadi, setelah ditumbangi, diolah terus bang. Habis itu dibuat segi empat, papan segi empat, ukuran panjang. Supaya gak mencolok, kayu gak dibentuk dulu. Seolah-olah kayu sisa olahan saja.”

Kayu olahan yang dimuat di dalam truk untuk dibawa ke Pelabuhan Teluk Nibung, Tanjung Balai. Dalam pejalanan ke pelabuhan, jika bertemu pos penjagaan, sopir memberikan sejumlah uang pengaman. Foto: Ayat S Karokaro

Ketika kayu sudah sampai di penampungan akhir yakni pelabuhan, ada gudang terbuka dan tempat berdekatan dengan pos pengamanan laut serta kantor Bea dan Cukai Tanjung Balai. Ketika saya mencoba masuk, sejumlah pria berbadan langsung menghadang. Mereka melarang masuk, dan mengusir saya keluar.

Dari luar, tampak tumpukan kayu olahan, tersusun rapi, dalam jumlah sangat banyak. Barang-barang ini akan dimuat pada malam hari, lalu diberangkatkan ke luar negeri menggunakan kapal laut yang sudah disiapkan.

Dari informasi yang Mongabay peroleh, ada dua agen yang berangkat menggunakan kapal cepat menuju Malaysia, yang bisa ditempuh lima hingga enam jam dari Pelabuhan Teluk Nibung, Tanjung Balai. Disana, sudah ada yang menunggu, lalu transaksi penjualan kayu-kayu berkedok izin hak pengusahaan hutan (HPH). Setelah itu, kayu-kayu ini kembali dikirim ke negara lain tergantung permintaan.  Kayu-kayu inilah yang kemudian diolah. Ada yang menjadi furniture, bahan bangunan, dan kebutuhan lain.

Apa kata pemerintah? Lieli Puji Asmono, Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Dinas Kehutanan Sumut, mengakui hingga saat ini banyak sindikat bermain merusak hutan dan menebangi pohon untuk dijual, termasuk diselundupkan ke luar negeri.

Menurut dia, bukan hal mudah menindak dan mengusut sindikat. Kejadian perambahan dan penebangan hutan, masih terus terjadi. Dia tak menjelaskan mengapa kecolongan kayu itu bisa terjadi, tetapi seolah berupaya mengelak dengan menjabarkan bahwa aparat penegak hukum tak hanya dari Dinas Kehutanan. Sesuai Kepres Nomor 4,  katanya, berbunyi 10 instansi terkait dapat bersama-sama bertindak  mencegah illegal logging.

Lilie mengatakan, menjaga hutan bukan saja tugas Kementerian Kehutanan, tetapi semua pihak berperan penting, termasuk masyakarakat yang mengetahui, bisa mencegah. Contoh, katanya, saat penebangan kayu di hutan, bisa melarang dan melaporkan kepada pihak terkait. “Hutan rusak, banyak yang terkena dampaknya. Musibah alam pasti akan terjadi jika illegal logging tak dicegah.”

Aksi penyelundupan terjadi, kata Lilie, kemungkinan karena beberapa faktor, misal pemanfaatan izin disalahgunakan oleh pihak-pihak yang telah diberikan kepercayaan mengolah hutan dengan benar. Faktor lain, karena tidak ada petugas yang mengawasi, atau tak ada pos-pos di peredaran hasil hutan. “Itu tidak diawasi selama 24 jam, setelah keluar izin HPH, di kawasan hutan industri yang berdekatan dengan hutan lindung, biasa terjadi. Modus-modus ini terus kita dalami,” katanya.

Menurut dia, aksi ini tak mudah diusut, karena jaringan cukup kuat. “Perlu informasi dari penegak hukum lain dan melibatkan intelijen mengusutnya. Perwakilan Dinas Kehutanan dan Perkebunan di tiap kabupaten, harus bekerja maksimal, dan kepala UPT harus berani bersikap tegas.”

Dia mengatakan, banyak laporan diterima. Salah satu tentang pohon-pohon ditebangi pengusaha yang baru mengantongi izin, dan kayu-kayu diseludupkan ke luar negeri itu. Ini berasal dari sejumlah lokasi pembukaan hutan bermoduskan perkebunan dan tambang di Sumut.

“Tambang-tambang juga ada izin pemanfaatan kayu, itu diajukan tidak? Namun sesuai aturan, itu tidak. Dinas kabupaten setempat juga harus tahu dan terus mengawasi!”

Kayu-kayu yang ditebang dari kawasan hutan dan tak memiliki dokumen jelas ini sengaja dipotong-potong menjadi kayu olahan. Foto: Ayat S Karokaro

Bagaimana pendapat aktivis lingkungan? Oslan Purba, Manajer Sekretariat Walhi Nasional, mengatakan, selama ini,  penebangan hutan berawal ketika pemerintah mengeluarkan izin prinsip. Saat itu didapat, pengusaha menganggap sudah bisa melakukan eksploitasi. Padahal, ada tahapan-tahapan harus dilakukan, seperti Amdal. “Tetapi yang terjadi, pengusaha-pengusaha ini sudah menebang kayu di kawasan hutan.”

Modusnya,  biasa pengajuan izin untuk perkebunan karet dan sawit dengan target utama menebang kayu di hutan. Tak kapan kebun terealisasi. Namun yang pasti hutan-hutan digunduli terlebih dahulu.

Menurut Oslan, aksi itu suatu rangkaian kejahatan kehutanan secara sistematis, mulai dari pemberian izin prinsip, lalu penebangan hutan, kayu dikeluarkan. Masyarakat yang melaporkan ke kepolisian diabaikan, oknum aparat penegak hukum terlibat, mulai dari mengamankan dan mengawal kayu yang ditebang sampai ke pelabuhan atau ke lokasi penampungan akhir.

Sumut, kata Oslan, merupakan wilayah yang sangat kecil pelaku kejahatan hutan diproses hukum. Contoh kasus, perkara illegal logging dengan terpidana Adlin Lis, terpidana penebangan hutan ribuan hektar di Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan. Di tingkat peradilan pertama di PN Medan, dia divonis bebas. Di Mahkamah Agung, dinyatakan bersalah.

Ketika PN Medan vonis bebas, beberapa jam dia dikeluarkan dari Rumah Tahanan Kelas I Medan, langsung melarikan diri. “Ini membuktikan banyak oknum aparat penegak hukum terlibat dalam jaringan pengusaha nakal menebangi hutan di Sumut.”

KPK, katanya, harus menjadikan kasus ini perhatian khusus. Sebab, kerusakan hutan di Sumut dan Indonesia sudah begitu parah. Pelabuhan Tanjung Balai, Pelabuhan di Sibolga dan Pelabuhan Belawan, merupakan pembuangan akhir kayu-kayu selundupan. Ia dikuasai sejumlah oknum aparat. “Harusnya jika sepakat dengan sertifikasi, harus jelas asal kayu, ada sertifikat atau tidak. Karena ini memang kejahatan lingkungan, dan memang belum terendus, dipastikan akan terus terjadi.”

Berdasarkan investigasi Walhi, kasus banjir, tanah longsor di Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, di Kabupaten Simalungun, Labuhan Batu dan Labuhan Batu Utara, akibat penebangan hutan oleh perusahaan yang baru mendapatkan izin prinsip.

Data dari Dinas Kehutanan Sumut, daerah ini mempunyai luas daratan 7.168.000 hektar, dengan luas hutan berdasarkan hasil paduserasi TGHK-RTRWP seluas 3.675.918 hektar atau 51,28 persen. Hutan lindung seluas 1.294.470 hektar (35,21%), hutan konservasi 362.333 hektar (9,86%). Lalu, hutan produksi terbatas 1.316.155 hektar (35,80%), hutan produksi 502.839 hektar (13,68%) dan hutan produksi konversi 200.120 hektar (5,54%).

Data Dinas Kehutanan Sumut, sejak 2007, pemanfaatan kawasan hutan alam (HPH) kepada 10 perusahaan, dengan luas 627.081 hektar, tiga pemilik izin aktif, satu tak aktif dan enam telah habis izin atau belum ada perpanjangan.

Untuk hutan tanaman industri (HTI), diberikan pada 10 perusahaan, dengan luas 507.283 hektar. IPHHK ada 66 izin, dengan luas 6.600 hektar, di Kabupaten Karo, di Kabupaten Labuhan Batu Tiga, Tapanuli Utara enam, Kabupaten Dairi 11, Mandailing Natal ada 24, dan Tapanuli Selatan ada 31 izin.

Untuk IUPHHK, izin ada tiga izin, dengan luas 26.000 hektar, di Kabupaten Tapanuli Selatan seluas 15.500 hektar, Kabupaten Dairi 5.500 hektar, dan Kabupaten Asahan 5.000 hektar. Untuk perkebunan, seluas 2,5 juta hektar. Lahan kritis seluas 1.343.000 hektar, berada di kawasan hutan 300 ribu hektar, dan di luar kawasan hutan 1.043.000 hektar. Hutan terancam perambahan dan telah rusak seluas 550.000 hektar.

Exit mobile version