Mongabay.co.id

Kala Banjir Kembali Hantam Jakarta

Gustaf Sosiwa hanya pasrah. Rumah tempat dia tinggal kebanjiran satu meter lebih. Televisi, lemari dan perabotan lain, terendam. “Saya pun tak bisa ke kantor hari ini. Ya, mau bagaimana, lemari terendam, baju basah,” katanya kala ditemui di Jl Prapanca Raya, Senin (13/1/14).

Gustaf sehari-hari bekerja pada sebuah bank di bilangan Jl MH Thamrin. Di hari ‘libur’ ini, dia hanya duduk-duduk di jalan yang berada di dataran tinggi. Sesekali dia masuk melihat keadaan di rumah. “Air mulai tinggi Minggu siang. Sebetis, malam hari sudah sepinggang. Sekarang sudah mulai surut tinggal di atas lutut.”

Warga sekitar memilih tak mengungsi. Mereka bertahan di rumah masing-masing atau numpang di rumah tetangga. “Yang tingkat dua, naik ke atas. Ga ngungsi,” ujar dia.

Banjir, tak hanya dampak guyuran hujan deras sejak Sabtu hingga Minggu(11-12/1/14) tetapi luapan air kali. Sekitar 100 meter dari rumah itu ada kali kecil. Rumah-rumah di kiri kanan jalan dekat kali terendam. “Makin dekat kali, makin dalam,” kata Gustaf. Banjir seperti ini, katanya, bukan kali pertama tetapi seakan jadi agenda tahunan.

Arus deras di kali kecil itu. Terlihat pula sampah menggunung, tersangkut. “Kali itu dangkal dan sering banyak sampah hanyut.”  Kali itu tak jauh dari Kantor Walikota Jakarta Selatan. “Heran, walau dekat kantor walikota,  belum pernah dikeruk,” ucap Gustaf.

Meskipun begitu dia memuji Jokowi-Ahok. Beberapa hari sebelum ini, tetangganya sempat memotret sampah yang menumpuk di kali, lalu mengirim ke Jokowi. “Besoknya datang truk Dinas Kebersihan mengangkut sampah. Cepat tanggap. Tapi, ya kali masih dangkal, dan sampah terus datang.”

Tak jauh dari daerah Gustaf, di Jalan Wijaya Timur Dalam, dan Jl Wijaya Timur Raya, Jakarta Selatan (Jaksel), ribuan warga juga kebanjiran pada kisaran 50 cm-1,5 meter! Meskipun begitu, sebagian besar warga memilih tinggal di rumah.

“Saat ini, kami pilih bertahan, sekarang mulai surut. Mudah-mudahan tak hujan lagi. Tapi, kalau air makin tinggi, mungkin mengungsi. Posko sudah ada,” kata Rizal, warga Wijaya Timur Dalam. Kendaraan dari motor sampai mobil di parkir di jalan yang tak terkena banjir. Sebagian warga berjaga-jaga di jalanan sambil mengamati keadaan.

Di Jalan Wijaya Timur Raya, genangan air juga tinggi. Bahkan, jalan utama berubah bak kali dengan arus deras. Warga hati-hati berjalan dekat arus deras itu. Di Jalan Wijaya I, warga memarkir kendaraan di pinggir jalan. Mereka memilih duduk di kendaraan ataupun di halaman gedung di tepian jalan itu. Rumah-rumah bagian belakang, tergenang.

Warga di Jalan Wijaya Timur Raya, juga mengalami banjir. Jalanan mereka menjadi jalan arus air cukup deras. Warga sebagian di posko pengungsi, tetapi lebih banyak di rumah masing-masing. Foto: Sapariah Saturi

Di bagian Jakarta lain, juga banjir parah, seperti jalanan Cawang yang berbatasan dengan Casablanka, terputus karena luapan Ciliwung. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPB) Jakarta, menyebutkan, banjir terparah di Cawang, Cililitan, Bidara Cina, dan Kampung Melayu. Tak hanya Jakarta, Banten seperti Tangerang dan Jawa Barat, antara lain Depok, dan Bekasi, juga banjir.

BNPB menyatakan, hingga Senin (13/1) pukul 07.00, banjir menyebabkan 276 RT, 75 RW di 31 kelurahan di 18 kecamatan terendam. Sebanyak 7.367 rumah dengan 24.269 jiwa terendam. Pengungsi 5.152 jiwa tersebar di 35 titik pengungsi. Tinggi banjir bervariasi di beberapa tempat. Di kelurahan Cawang Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur banjir menggenangi lima RW dengan tinggi empat meter.

Di Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, banjir merendam 1.508 rumah atau 3.427 jiwa dan mengungsi 212 jiwa. Sebagian besar warga tak mau mengungsi meski banjir mencapai 100-250 cm.

Kelurahan Cawang, Kramat Jati,  Jaktim banjir merendam RW I, II, III dan V, dan VIII.  Sekitar 1.944 rumah atau 6.293 jiwa terendam dengan tinggi 50-400 cm. Warga mengungsi mencapai 3.446 jiwa. Di Kelurahan Cawang, Kramat Jati,  Jaktim banjir merendam RW I, II, III dan V, dan VIII.  Sekitar 1.944 rumah atau 6.293 jiwa terendam dengan tinggi 50-400 cm. Warga mengungsi mencapai 3.446 jiwa.

Sejak Minggu malam (12/1/14), kala hujan deras, Joko Widodo, Gubernur Jakarta, sudah turun mengecek pintu air Karet dan Manggarai. Dia blusukan malam itu, berbecek-becek. Keesokan hari, Senin (13/1/14), Jokowi menetapkan, Jakarta siaga banjir. Dia juga memutuskan membuka pintu air Manggarai dan mengalirkan sebagian ke Waduk Pluit. “Sore ini, sedikit demi sedikit pintu Manggarai dibuka. Buka dikit dan dialirkan ke laut. Dimasukkan ke Waduk Pluit yang masih mines 100 cm,” katanya kala diwawancarai reporter Metro TV dari lokasi banjir.

Untuk kondisi saat ini, kata Jokowi,  air masih bisa ditangani agar bisa segera dibuang ke laut. Namun, jika volume terus membesar dan pompa tak mampu, tentu perlu proses panjang.

Menurut dia, menangani banjir Jakarta, bukan pekerjaan mudah. Terlebih Jakarta, dilewati 13 sungai besar dan 800-an sungai kecil. “Pengerukan dilakukan, tapi baru 20 persen dikeruk. Karena betul-betul harus pengerukan total.”

Begitu juga pengerukan waduk. “Hampir semua sudah masuk eskavator, Waduk Pluit, Rawa Babon. Mulai keruk tapi belum selesai. Yang Pluit itu baru sepertiga. Belum rampung.”

Bagi Jokowi, yang paling berat dalam memperbaiki kondisi waduk adalah alat berat sulit masuk. Kanan-kiri pemukiman. Contoh, Kali Ciliwung kanan kiri sekitar 30-an ribu keluarga, Kali Pluit sekitar 7.000 keluarga. “Ini tak hanya keruk mengeruk juga siap rusun. Siap rusun berarti siap lahan, dan lain-alin. Memang banjir ini harus sama-sama. Pusat ikut. Masyarakat sendiri juga ikut berperan.”

Warga di Jalan Wijaya Timur Dalam, Jaksel, juga mengalami banjir hingga 1,5 meter. Meskipun begitu mereka memilih berjaga di rumah (di lantai dua) daripada mengungsi ke posko banjir. Foto: Sapariah Saturi

Mukri, Manager Tanggap Bencana Walhi Nasional, pun angkat bicara. Menurut dia, jika diibaratkan rumah, Jakarta ini tipe sangat sederhana. Luas tanah sempit, penghuni ramai, dan semua terisi bangunan yang hampir tak menyisakan lahan untuk taman.

Jakarta, katanya, telah mengalami kejenuhan hingga alam tak lagi mampu memberikan layanan dan fungsi-fungsi ekologis. Beban terlampau berat harus dipikul Jakarta.

Setidaknya, kata Mukri,  ada lima faktor penyebab banjir Jakarta. Pertama, ketersediaan ruan terbuka hijau (RTH) hanya 9,3% dari luas Jakarta. Kedua, penyempitan dan pendangkalan pada 13 sungai. Ketiga, reklamasi pantai telah mengalihfungsi daerah resapan air. Keempat, situ terkubur. Kelima, sistem drainase masih belum maksimal. “Kelima penyebab ini ditunjang letak georafis Jakarta di dataran rendah dan diperberat kiriman volume air besar dari wilayah hulu, Bogor.”

Untuk pengurangan risiko bencana ini,  harus dilakukan mitigasi. Ada dua bentuk mitigasi, struktural dan non struktural. Menurut dia, saat ini Pemda Jakarta, baru menekankan mitigasi struktural seperti perbaikan banjir kanal, pemulihan situ dan perbaikan drainase.

Walhi mengapresiasi langkah pemerintah ini. Namun, dalam konteks mitigasi non struktural belum melihatkan tanda perbaikan. Seharusnya, Jakarta berani mulai menghentikan reklamasi pantai atau tak memberi izin baru maupun menambah luas wilayah reklamasi. Demikian pula pembangunan gedung belum ada tanda-tanda pembatasan. “Gedung-gendung baru berukuran besar masih terus berkembang,” ujar dia.

Walhi berpendapat, perlu ada keseimbangan antara kepentingan mitigasi struktural dan non struktural (kebijakan). Perluasan RTH,  harus dikejar sampai target maksimal, meski semua mahpum sulit bagi Jakarta memperluas RTH pada kisaran 20 persen. “Izin-izin pembangunan gedung baru besar harus dibatasi. Bagi masyarakat di sekitar bantaran sungai, jika tak berkenan direlokasi harus didorong mengubah konstruksi bangunan misal, semi panggung.”

Bagaimana kerja sama antarwilayah guna mengatasi banjir? Kata Mukri, Pemerintah Jakarta bisa mengalokasikan dana bagi kepentingan restorasi ekosistem. Pemerintah Jakarta,  bisa mengusulkan kepada Bogor, permohonan hak kelola hutan baik pada areal rusak maupun yang direncanakan dialih fungsi. “Kerjasama ini saya kira menjadi model sangat strategis dan menguntungkan kedua pihak.”

Pemerintah Kabupaten Bogor,  katanya, tak perlu merasa malu jika mendapatkan bantuan dana sebagai bentuk kompensasi hak kelola hutan. Prinsipnya, bukan nilai uang, tetapi semangat bersama-sama menyelamatkan lingkungan agar beban dan intensitas banjir perlahan-lahan bisa menurun.

Sepeda motor ‘diungsikan’ ke tempat lebih tinggi di pinggiran jalan menghindari genangan banjir. Foto: Sapariah Saturi
Klik  di sini untuk mendapatkan ukuran sebenarnya. Sumber: BNPB
Exit mobile version