Mongabay.co.id

Menagih Aksi SBY Akui Hak Wilayah Masyarakat Adat

Masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tinggal menghitung hari. Masyarakat adat di Indonesia menagih komitmen yang pernah diucapkan Presiden, akan memulai proses pendaftaran, dan pengakuan hak kolektif masyarakat adat pasca putusan Mahkamah Konstitusi pada 16 Mei 2013. AMAN memperkirakan, jika pelaksanaan putusan MK tentang pengakuan hutan adat diulur-ulur, konflik bakal makin meningkat tahun ini.

“Di sisa waktu sekitar empat bulan ini, masyarakat adat berharap, Presiden bisa menunjukkan aksi nyata dari komitmen yang sudah disampaikan,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, Senin (27/1/14).

SBY menyampaikan janji ini pada Kamis (27/6/13), pada acara Tropical Forest Alliance 2020: Promoting Sustainability and Productivity in the Palm Oil and Pulp & Paper Sectors Workshop di Jakarta. Saat itu, SBY mengatakan, proses pendaftaran dan pengakuan wilayah adat langkah awal yang penting dalam implementasi keputusan MK yang menetapkan hutan adat bukan lagi hutan negara. Keputusan ini, kata SBY,  menandai langkah penting menuju pengakuan hak masyarakat adat  atas tanah, wilayah dan sumber daya.

Sayangnya, setelah berjalan hampir tujuh bulan, komitmen SBY tak menampakkan implementasi di lapangan. Bahkan, yang terjadi cenderung pelemahan-pelemahan terhadap putusan MK. Dia mencontohkan, surat edaran dari Menteri Kehutanan (Menhut) tentang putusan MK pada 2013. 

Dalam SE itu, Menhut menafsirkan sendiri, bahwa setelah putusan MK 35, Pasal 5 ayat 1, hutan itu berdasarkan status ada tiga, hutan  negara, hutan hak dan hutan adat. “Isi berbeda dari putusan MK, hutan itu hutan negara dan hutan hak. Hutan adat itu masuk hutan hak,” ujar dia.

Dari kenyataan ini, terlihat bahwa pemerintah belum bersungguh-sungguh melaksanakan keputusan MK ini. Malah, jika melihat respon dari kementerian, Abdon menduga sengaja agar pengakuan hutan adat tak terwujud. “Kami merasa ada reduksi kepada komitmen Presiden dalam menjalankan putusan MK.”

Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru mengatakan, SBY sudah banyak membuang waktu padahal dia bisa berperan banyak dalam mewujudkan hak masyarakat adat. “Tapi setiap hari dan bulan tak di-follow up. Padahal sudah masa akhir dan SBY paling potensial mengatasi keadaan ini. Saya tak anti SBY tapi anti kelambanannya.”  Begitu kata Wimar, yang hari itu menjadi moderator dalam jumpa pers AMAN ini.

Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Ternyata putusan MK 35 yang memperkuat pengakuan hak wilayah masyarakat adat yang menyatakan, hutan adat bukan hutan negara, baru sebatas putusan. Foto: AMAN Bengkulu

AMAN pun mendesak Presiden turun tangan, dan memastikan kementerian tak melakukan hal-hal yang dapat menghambat implementasi putusan MK. Menurut Abdon, SBY bisa membuat Instruksi Presiden (Inpres) tentang inventarisasi, identifikasi, pendaftaran dan penyelesaian konflik wilayah adat. “Dalam Inpres itu ditunjuk siapa yang akan menjadi pelaksana,” kata Abdon.

Jika ada inventarisasi dan identifikasi ini akan diketahui di mana saja wilayah adat yang masih ‘bersih’ dalam arti belum dibebani izin. Lalu, hutan adat yang sudah diberikan izin tetapi belum dikelola. Maupun hutan adat yang tumpang tindih dengan izin konsesi yang sudah beroperasi. Kala semua diinventarisasi dan teridentifikasi, katanya, bisa dibahas lebih lanjut, misal hutan adat ‘bersih’ bisa langsung masuk REDD+.

“Yang sudah ada izin tapi belum dikelola, izin bisa di-review dan dicabut. Setiap tahap ini, harus ada yang bertanggung jawab. Untuk yang sudah ada izin dan beroperasi, bisa dibahas bersama penyelesaiannya.  Nah, ini ditunjuk Presiden. Ga mungkin kalau Presiden tak turun tangan.”

Bagaimana jika ditangani Kemenhut? “ Sumber masalah ada di Kemenhut, lalu diminta menyelesaikan masalah. Mana mungkin?” kata Abdon.

Achmad Sodiki, mantan Hakim MK yang menangani uji materi UU Kehutanan, mengatakan, putusan MK ini sejajar dengan UU jadi harus dikontrol dan diwaspadai. “Karena justru peraturan di luar mahkamah, di luar UU Kehutanan, misal peraturan menteri, SK menteri, itu yang sering membelenggu apa yang jadi keputusan UU.”

Dia menyarankan, jika masyarakat sipil merasa aturan turunan UU yang dikeluarkan pemerintah malah melenceng dari putusan bisa mengajukan uji materi dan meminta pembatalan ke Mahkamah Agung (MA).

Bagaimana jika putusan MK ini mandul? Kata Abdon, jika putusan MK tak dijalankan dengan konsisten, konflik-konflik tak akan selesai bahkan meningkat. “Kami bayangkan konflik di lapangan akan terus meningkat. Ini akan mewarnai 2014, kalo tak bertindak dengan cepat, tepat dan terpimpin.”

Selama 2013, AMAN menangani 143 kasus konflik kekerasan masyarakat adat. Bahkan, enam bulan pasca penetapan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang disahkan 6 Agustus 2013 atau tiga bulan setelah Putusan MK No 35, ada 11 warga adat ditangkap. Juga terjadi pengusiran 378 keluarga di Bengkulu dan Kalimantan Selatan menggunakan UU P3H ini.

Untuk itu, dia berharap dan berkeyakinan, SBY masih bisa berbuat dengan melaksanakan janji yang sudah diucapkan di hadapan publik. “Mestinya masih bisa melakukan sesuatu sebagai pemimpin Indoneisa hingga dia bisa meninggalkan legasi bagi masyarakat adat khusus memastikan putusan MK terlaksana sampai ke lapangan.”

AMAN juga mendesak pembahasan segera RUU Perlindungan Masyarakat Adat, yang kini berada di Kemenhut.  Presiden telah menunjuk Kemenhut menjadi koordinator mewakili pemerinah. “Info dari DPR, belum dibahas bahkan diagendakan pun belum karena Kemenhut belum siap ketemu DPR. Ini tunjukkan ada ulur-ulur waktu dari Kemenhut. Sementara komitmen fraksi-fraksi  di DPR ingin segera sahkan selama belum lengser.”

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM mengatakan, kertas posisi lembaga ini pada Oktober tahun lalu, memberikan penghargaan tinggi pada insiatif AMAN, yang menyampaikan pemohonan uji materi UU Kehutanan. “Ini langkah luar biasa dari masyarakat sipil  yang coba perjuangkan dari jalur hukum. Jalur yang cerdas dan damai.”

Komnas HAM, katanya, memaknai putusan MK ini sebagai koreksi negara. “MK telah koreksi atas nama negara atas kebijakan yang tak didasari penghormatan HAM, dan menjadi dasar hukum serta klaim pemerintah sepihak atas wilayah masyarakat adat.” Putusan MK ini,  mestinya menjadi pintu masuk untuk mengambil langkah-langkah pemulihan.

Data konflik Masyarakat Adat 2013.

Exit mobile version