Penelitian: Secara Global Upaya Pengakuan Hak Lahan bagi Masyarakat Adat dan Lokal Melemah

Proses pemetaan wilayah adat di Indonesia saat ini telah mencapai 5,2 juta hektar

Dalam sebuah penelitian yang baru saja dikeluarkan oleh Right and Resources Initiative (05/02/2014), disebutkan bahwa pengakuan hak legal atas tanah dan sumberdaya alam oleh masyarakat adat dan lokal secara dramatis berkurang secara global.

Dalam studi yang mencakup data dari 33 negara, yang 85 persennya merupakan negara berkembang berpendapatan rendah-menengah yang memiliki area berhutan, penelitian ini menyebutkan kepemilikan komunitas terus berkurang hingga hanya 20 persennya, jika dibandingkan dengan tahun 2008. Dikuatirkan jika hal ini terus berlanjut, maka akan memicu kerentanan terhadap ketahanan pangan, ketersediaan bahan bakar, air dan energi secara global.

Pengakuan hak dan kontrol komunitas tertinggi terdapat di Amerika Latin (39%) sangat kontras dibandingkan dengan wilayah Sub Sahara Afrika yang hanya 6 persen dari wilayah berhutannya yang diakui oleh masyarakatnya.

Masalah utama yang terjadi adalah sebagian dari pemerintah di negara-negara berkembang memilih untuk tidak menjadikan masyarakat lokal hutan sebagai mitra dan aktor utama dalam aras pengelolaan hutan, konservasi dan upaya mitigasi perubahan iklim.  Alih-alih, pemerintah mengalokasikan lahan kepada investasi sektor swasta untuk mengeksploitasi sumberdaya alam di lahan tersebut.

Dalam laporan yang berjudul Lots of Words, Little Action, dikemukanan pula berbagai tantangan dan insiatif yang berkaitan dengan hak atas tanah.  Sepanjang tahun 2013, tercatat mulai bermunculannya komitmen dari berbagai perusahaan swasta, semisal Asia Pulp and Paper, Unilever, Coca Cola, Wilmar dan Nestle untuk mengatasi dan bekerjasama dengan masyarakat di sekitarnya.  Namun demikian kendala masih dijumpai pada saat mitra kerja maupun suplier dari perusahaan tersebut tidak memiliki respek dan komitmen yang sama dengan perusahaan induknya.

Klik pada gambar untuk memperbesar

Hasil Pemetaan Wilayah Adat di Indonesia Capai 5,2 Juta Hektar

Meskipun telah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/2012 yang memperkuat posisi legal hak atas tanah oleh masyarakat adat, faktanya hal tersebut belum mampu untuk banyak mengubah keadaan hingga saat ini.

“Berlawanan dengan semangat keputusan Mahkamah Konstusi, kami mencatat pemerintah lewat  Kementerian Kehutanan mengeluarkan peraturan yang mengabaikan dan bertentangan dengan hak-hak masyarakat adat,” ujar Abdon Nababan, Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam rilis yang diterima oleh Mongabay Indonesia.

“Seharusnya Presiden menepati janjinya di bulan Juni lalu dalam Konperensi FTA untuk melindungi hak masyarakat adat demi keuntungan negeri ini,” demikian Abdon sembari menambahkan kekuatirannya bahwa konflik sosial dapat terus bergejolak jika isu lahan dan pengakuan hak tidak segera kunjung terselesaikan.

Untuk menyikapi hasil putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) hingga Januari 2014 disebutkan telah memetakan 5,2 juta hektar wilayah adat di Indonesia.

“Wilayah adat yang sudah dipetakan ini seratus persen memiliki indikasi kuat untuk menjadi wilayah adat,” demikian Kasmita Widodo, Koordinator Nasional JKPP, pada acara launching peta indikatif wilayah adat di Bogor pada akhir Januari 2014 yang lalu. Ia mengklaim bahwa angka ini baru sekitar sepuluh persen dari perkiraan wilayah adat di Indonesia yang totalnya sekitar 40 juta hektar.

“Ini merupakan pekerjaan besar, disatu sisi laju proses pemetaan lambat karena menggunakan metode terbatas, namun sebaliknya laju penguasaan lahan sangat cepat. Ini sebenarnya fungsi dan tugas negara untuk memunculkan peta indikatif wilayah adat.” Kasmita mengatakan, peta pemerintah yang ada selama ini tak mencantumkan wilayah adat.  Saat ini, peta wilayah adat yang dihasilkan belum memiliki wali data, yakni pihak yang akan melakukan verifikasi dan validasi terhadap data itu.

Nirarta Samadhi, Deputi V Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) percaya peta wilayah adat ini sangat bermanfaat untuk melengkapi informasi detil yang tidak akan tertangkap dalam pendekatan proyek pemerintah.

“Kekayaan informasi geospasial dalam peta partisipatif itulah kelebihannya.”

Meskipun begitu, untuk mengadopsi peta itu diperlukan standar baku agar tak ada pertanyaan di kemudian hari. “Yang diperlukan agar para pihak sepakat, perlu standar. Standar yang disusun untuk pemetaan partisipatif itu panjang sekali,” ujar dia.

Pihak UKP4 sendiri, hingga akhir 2014 menargetkan penyelesaian pekerjaan satu standard peta nasional yang disebut OneMap, antara lain berupa peta rupa bumi yang dapat diakses melalui sebuah sistem informasi perijinan terpadu berjalan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,