Ancam Ekologi, Masyarakat Tolak Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng

Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang terdiri dari Paguyuban Katentreman, Laskar Watuputih, Barisan Mahasiswa Rembang, Rabu siang 19 Februari 2014 silam melakukan aksi long march  dan teatrikal mulai dari alun-alun kota Rembang sampai di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Rembang. Aksi mereka menuntut DPRD dan pemerintah propinsi Jawa Tengah menghentikan segala proses kegiatan penambangan karst di daerah kawasan pegunungan Kendeng Utara.

“Kami meminta seluruh proses yang berkaitan dengan rencana pendirian pabrik semen di Rembang dihentikan,” kata Ming Lukiarti, warga Rembang ketika dihubungi Mongabay-Indonesia.

JMPPK menyampaikan permohonan dan tuntutan aksi kepada Bupati Rembang agar mencabut dukungan dan persetujuannya terhadap rencana pembangunan pabrik-pabrik semen tersebut, serta meninjau ulang dan konsisten terhadap Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW pasal 63 dan Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 tentang RTRW Kabupaten Rembang, bahwa Cekungan Watuputih,  adalah merupakan Kawasan Imbuhan Air dan Kawasan Lindung Geologi.

Aksi teatrikal yang digelar masyarakat. Foto: JMMPK
Aksi teatrikal yang digelar masyarakat. Foto: JMMPK

Penolakan yang dilakukan oleh JMPPK ini terkait dengan rencana pendirian dan penambangan pabrik semen di Rembang oleh PT. Semen Indonesia masih terus berjalan, begitu juga oleh PT. SIR, PT. GMM dan PT. Bosowa.

“Kehadiran perusahaan-perusahaan ini menjadi ancaman besar bagi kondisi ekologis di wilayah, mulai dari hilangnya sumber mata air, sungai bawah tanah dan dampak pertambangan nantinya,” kata Ming Lukiarti menambahkan.

Data temuan dari Jaringan Advokasi dan Tambang (JATAM) menyebutkan, hingga 2013, izin tambang karst di Pulau Jawa, mencapai 76 izin. Ia tersebar di 23 kabupaten, 42 kecamatan dan 52 desa dengan total konsesi tambang karst 34.944,90 hektar. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi lingkungan di Pulau Jawa.

Selain itu, dalam analisis JATAM dipaparkan, eksploitasi karst di Jawa Tengah sebagian besar dipicu lewat legalisasi daerah seperti Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRWP 2009-2029. Lalu, Perda RTRW Kabupaten Kebumen nomor 23 tahun 2012 menyebutkan bentang alam karst Gombong memiliki luas lebih kurang 4.894 hektar dan seterusnya.

Aan Hidayah, Anggota JMPPK kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, suara penolakan dari warga sekitar pegunungan Kendeng Utara yang terdiri dari daerah Pati, Kudus, Rembang, Blora, Jepara dan Wonogiri (Karesidenan Pati) serta aktivis lingkungan hingga saat ini tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah, bahkan rencana pendirian pabrik semen tersebut di dukung oleh pemerintah Kabupaten Rembang.

Pegunungan Kendeng Utara yang hancur akibat eksploitasi pabrik semen. Foto: GERAM
Pegunungan Kendeng Utara yang hancur akibat eksploitasi pabrik semen. Foto: GERAM

Selain itu, Aan menambahkan, aksi kami ini untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Pihaknya ingin menagih janji komitmen DPRD Rembang yang pernah menjanjikan akan serius menindaklanjuti permasalahan dan juga kepada Pemerintah Kabupaten Rembang yang berjanji akan memberikan sosialisasi terbuka kepada warga sekitar. “Di Rembang akan ada empat perusahan pabrik Semen besar yang akan melakukan ekplorasi, tapi tidak pernah ada sosialisasi kepada warga terkait masuknya perusahaan pabrik Semen,” kata Aan.

Aan juga menambahkan, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh JMPPK, ancaman kerusakan ekologis dan hilangnya lahan pertanian warga disekitar pegunungan Kendeng sangatlah nyata. Di Wilayah karst Watuputih, banyak ditemukan ratusan mata air, goa dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit air sangat bagus. “Proses produksi semen akan berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar dan juga warga Rembang dan Lasem. Bahkan perusahaan PDAM-pun mengambil mata air yang bersumber dari gunung Watuputih,” kata Aan.

Dari pengamantan JMPPK, dalam proses pembangunan pabrik Semen di kawasan Pegunungan Kendeng utara, pemerintah dan perusahaan tidak transparan. “Saat ini kegelisahan warga semakin memuncak melihat aktivitas yang berkaitan dengan pembangunan pabrik semen masih saja dilanjutkan (PT. Semen Indonesia Tbk). Ditambah antrian panjang investor pabrik semen yang akan mendirikan pabriknya dan menambang di Rembang,” kata Aan.

Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, dampak terbesar dari adanya pembukaan lahan untuk pertambangan yaitu lahan pertanian hilang  dan kawasan hutan yang harus dilindungi terus berkurang. Selain itu, limbah udara, hilangnya sumber mata air akan terdampak bagi masyarakat sekitar tambang. “Izin-izin tambang begitu mudah keluar bahkan tidak menutup kemungkinan ada dugaan korupsi untuk mempermulus lahirnya perijinan tersebut,” kata Ony.

Aktivitas peghancuran pegunungan Kendeng. Foto: GERAM
Aktivitas peghancuran pegunungan Kendeng. Foto: GERAM

Ony menambahkan,  ada tahapan-tahapan pengeluaran perizinan untuk pertambangan yang harus dilalui. Pertama,  izin prinsip, jika tambang melebihi dari satu hektar dampaknya maka harus ada izin lokasi. Setelah itu harus ada izin lingkungan/AMDAL, dalam catatan walhi Jawa Timur, rata-rata izin lingkungan tergantung pada siapa yang memesan. Selain itu, rata-rata perijinan AMDAL  isinya copy paste dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Walhi Jawa Timur mencatat, Jawa saat ini menjadi kawasan rawan bencana. Apalagi Pulau Jawa kawasan padat huni,  artinya tidak hanya rumah dan banyak penduduk, tapi ada lahan pertanian, ada sumber air, ada hutan lindung, ada kawasan konserwasi.

Pemerintah harus dan bisa belajar bagaimana rusaknya Kabupaten Tuban, Jawa Timur akibat pertambangan Semen.  Tambang akan memberikan penderitaan pada generasi kedepan, dan hanya mewariskan bencana ekologi untuk  anak cucu,” kata Ony.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,