Seruan Perlindungan Dalam Peringatan Hari Alam Liar Sedunia

“Lindungi flora dan fauna untuk kita semua”, begitu tulisan yang terbentang di spanduk aksi dalam memperingati hari Hari Alam Liar Sedunia atau World Wildlife Day diperingati oleh berbagai komunitas yang tergabung dalam Jogja Wildlife Forum, 3 Maret 2014 di Nol Kilometer, Yogyakarta.

Cuaca mendung dan waktu menujukkan pukul 15.05 WIB, sekitar 30 massa aksi mulai berjalan dari depan Benteng Vredeburg menuju Nol Kilo meter Jogja. Mereka membentangkan spanduk, membawa poster, memakai kostum Elang, kostum Orangutan  dan berbagai atribut aksi lain.

Peringatan hari Alam Liar Sedunia yang pertama di seluruh dunia ini, Jogja Wildlife Forum yang terdiri dari komunitas tigalimapuluh, Yayasan Kanopi Indonesia, Centre for Orangutan Protection, Raptor Indonesia, Greeners Magz, Indonesia Dragonfly Society, Paguyuban Pengamat Burung Jogja, Hijau GLP, Bionik, Biolaska, Matala UGM dan komunitas-komunitas yang memiliki ketertarikan terhadap hidupan liar berkumpul dan menjadi bagian dari gerakan global untuk menyerukan pentingnya hidupanliar.

Aksi mengajak masyarakat Jogja untuk stop foto bersama Orangutan. Foto: Tommy Apriando
Aksi mengajak masyarakat Jogja untuk stop foto bersama Orangutan. Foto: Tommy Apriando

“Lewat aksi hari ini kami ingin mengingatkan kepada masyarakat untuk menjadi bagian dari menyelamatkan lingkungan. Masyarakat kita diingatkan saja masih susah, apalagi jika tidak diingatkan,” kata Ma’ruf Earawan, Direktur Yayasan Kanopi Indonesia kepada Mongabay-Indonesia.

Dari catatan Yayasan Kanopi Indonesia, Ma’ruf menjelaskan, Indonesia memiliki kasawan hutan bakau sebagai ekosistem yang kaya spesies flora dan fauna. Dari lima juta hektar hutan bakau se-Asia, tiga juta hektar berada di Indonesia. Namun, hamper 60 persen dari luas hutan bakau di Indonesia atau sekitar 1,8 hektar mengalami kerusakan.

Tabel Jumlah dan Jenis Satwa Dilindungi yang diperdagangkan di sejumlah pasar burung pada bulan Februari 2012. Sumber: ProFauna
Tabel Jumlah dan Jenis Satwa Dilindungi yang diperdagangkan di sejumlah pasar burung pada bulan Februari 2012. Sumber: ProFauna

“Kerusakan hutan bakau di Indonesia disebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya keberadaan hutan bakau bagi ekosistem sekitarnya, dan yang utama karena kegiatan pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan serta konversi lahan,” kata Ma’ruf.

Catatan peringatan hari Alam Liar Sedunia seperti dalam rilis bersama dijelaskan, pada pertengahan tahun 2012 pemberitaan tentang Orangutan di Indonesia mencuat. Ratusan Orangutan Sumataera dan Kalimantan dibantai atas nama kepentingan sejumlah kelompok. Satwa endemik khas Indonesia ini dibakar, disiksa, dan dipaksa keluar dari habitatnya. Tragedi ini terus berlanjut seiring laju deforestasi yang tidak terbendung. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan Batubara memiliki andil besar atas berkurangnya populasi Orangutan dan menyempitnya habitat alami mereka. Begitu juga dengan persepsi yang salah tentang Orangutan oleh sebagain masyarakat masih membunuh Orangutan karena dianggap hama bagi tanaman komoditas.

Paruh enggang gading yang berhasil diamankan dari Among, April 2013. Foto: Andi Fachrizal
Paruh enggang gading yang berhasil diamankan dari Among, April 2013. Foto: Andi Fachrizal

Daniek Hendarto, juru kampanye Centre for Orangutan Protection (COP) kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, saat ini masih ada tindakan foto bersama atau sirkus bagi orangutan dan satwa liar lainnya, dan itu adalah keliru. Foto bersama satwa liar merupakan suatu bentuk edukasi yang salah. Mulai dari tahun 2011 COP menyuarakan tentang stop sirkus, dan stop foto bersama dengan orangutan karena itu bukan bagian dari edukasi.

“Berdasarkan data COP Taman Safari Grup, Gembiraloka Zoo, dan di Surabaya juga masih ada pertunjukan sirkus dan foto bersama Orangutan dan satwa liar lainnya,” kata Daniek.

sumatra_1607

Daniek menambahkan, pihaknya selalu memberikan solusi ketika harus menghapuskan kegiatan sirkus maupun foto bersama Orangutan. Menurutnya, pihaknya tidak mengajak masyarakat untuk memboikot kebun binatang, namun membantu mengubah pembenaran tindakan masyarakat ketika mereka datang ke kebun binatang untuk tidak foto bersama dan tindakan pembenaran lainnya.

COP melihat ancaman kepunahan satwa liar di Indonesia memang tidak bisa dipisahkan dari hilang dan rusaknya habitat. Habitat satwa liar saat ini banyak dialihfungsikan menjadi perkebunan dan juga pertambangan serta hunian. Hal ini menjadi ancaman terbesar bagai Orangutan dan satwa liar. Kita bisa lihat Kalimantan saat ini, dimana habitat Orangutan disana banyak beralih menjadi perkebunan sawit.

“Pemerintah tidak punya kemampuan dan kemauan besar untuk  menindak tegas para penjahat lingkungan di Indonesia, ketika adanya pembukaan lahan terjadi maka ada kejahatan terhadap satwa liar disana, terhadap lingkungan dan juga masyarakat adat disana”, kata Daniek.

Kondisi satwa liar yang memprihatinkan tidak hanya pada orangutan, namun juga terjadi para elang (Raptor). Asman Adi Purwanto dari Raptor Indonesia kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, dalam kurun waktu 2005-2010 diperkirakan 22 ekor Elang Jawa diperjualbelikan di pasar illegal. Jika praktik illegal ini tidak segera diusut dan tidak ada penanganan hukum yang serius maka diperkirakan 2025 elang Jawa punah di alam,” kata Asman.

Salah satu harimau barang, bukti kepemilikan satwa liar ini oleh TNI AD di Aceh Tengah. Foto: Yusriadi
Salah satu harimau barang, bukti kepemilikan satwa liar ini oleh TNI AD di Aceh Tengah. Foto: Yusriadi

Asman menambahkan saat ini masih banyak masyarakat yang memilihara satwa liar khususnya Elang yang sudah jelas secara hukum sebagai satwa dilindungi. Tidak hanya masyarakat sipil aparat penegak hukum baik Polri dan TNI masih ditemukan memelihara satwa liar. Saat ini Elang Jawa masuk dalam kategori terancam punah.

Raptor Indonesia mencatat ada sekitar 70 hingga 79 jenis Elang di Indonesia, sedangkan untuk populasi sejauh ini kami mencatat Elang Jawa jumlahnya ada sekitar 600 ekor. Keterancaman Elang Jawa sangatlah tinggi, pertama endemik hutan Jawa ini sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan yang sangat drastis, kemudian terhadap polutan, dan kondisi habitat yang rusak juga punya peran mengancam populasi Elang di Indonesia.

“Selain perburuan, hilangnya habitat menjadi faktor terbesar dari hilangnya Elang, khususnya Elang Jawa dari kepunahan,” kata Asman.

Riza Marlon, selaku fotografer alam liar, seperti dikutip dalam rilis bersama mengatakan, sangat merasakan berkurangnya luas habitat dan jumlah spesies yang berada di kehidupan liar. Fotografer yang baru saja meluncurkan buku 107+ Ular Indonesia ini sudah 24 tahun keluar masuk alam liar untuk memotret satwa.

“Saya merasakan perjumpaan dengan satwa liar di alam sejak tahun 1997 sampai sekarang semakin menurun. Semua karena perubahan iklim yang tidak bisa dikendalikan, perdagangan satwa dan alih fungsi hutan yang merupakan rumah bagi satwa liar yang dilakukan manusia,” kata Bang Caca sapaan akbrab Riza Marlon, seperti dikutif dalam rilis.

Untuk diketahui, lahirnya penepatan tanggal 3 Maret sebagai Hari Alam Liar Sedunia atau World Wildlife Day untuk mengormati secara khusus satwa dan vegatasi dunia, terutama yang terancam punah dan dilindungi dari Sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).  Resolusi ini diadopsi tanggal 20 Desember 2013 silam, 193 anggota Sidang Umum PBB memilih tanggal tersebut sebagai hari khusus untuk menghargai keragaman hayati dunia. Tanggal 3 Maret sendiri dipilih karena bersamaan dengan tanggal diadopsinya kesepakatan CITES atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, yang bertujuan untuk mencegah perdagangan flora dan fauna dunia yang merugikan keragaman hayati dunia.

Hutan gambut di Riau yang semakin berkurang akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Foto: Aji Wihardandi
Hutan gambut di Riau yang semakin berkurang akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Foto: Aji Wihardandi

Adapun aksi yang digelar di Yogyakarta juga dilakukan diberbagai kota di Indonesia juga berbagai Negara dibelahan dunia. Dalam aksi peringatan yang pertama ini, selain membentangkan poster dan spanduk, mereka juga membagikan sticker dan mengajak masyarakat yang melintasi daerah nol kilometer Jogja melakukan aksi soildaritas dengan menandatangani atau menstempelkan tangannya di kain putih yang dibentangkan disekitar lokasi aksi.

Syaiful Rochman selaku Koordintaor Tigalimapuluh mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri manusialah yang bertanggung jawab atas terancamnya kehidupan satwa liar. Perubahan tata guna lahan telah menggusur habitat burung-burung dimanapun. Pepohonan berkurang digantikan perumahan dan hutan dijadikan ladang.

“Hidupanliar dan keragaman hayati Indonesia tengah terancam eksistensinya baik oleh manusia yang tidak bertanggung jawab, maupun dampak alamiah,” kata Syaiful Rochman.

Selain itu, Komunitas tigalimapuluh mencatat hidupanliar sebagai bagian yang terdampak perubahan iklim. Secara global, perubahan iklim memberi andil terhadap berkurangnya habitat beruang kutub. Kenaikan suhu bumi dan air laut mengancam terumbu karang di seluruh dunia. Untuk itu adanya World Wildlife Day ini bisa menjadi momen untuk mewujudkan tujuan bersama antar komunitas.

“Kami berharap World Wildlife Day bisa menjadi momentum pemersatu para pecinta satwa dan alam liar di Indonesia,” tutup Syaiful.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,