Mongabay.co.id

Golput di Pemilu? Tunggu Dulu, Pikirkan Hutan dan Lingkungan

Golput untuk Hutan? Pikirkan lagi.” Begitu tema yang dibawakan Heru Prasetyo, Kepala Badan REDD+ kala berbicara di hadapan para mahasiswa Atma Jaya Jakarta, akhir Februari 2014. Heru hadir sebagai pembicara bersama Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional. Acara yang dimoderatori Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif ini juga dihadiri M Makdin Sinaga, Wakil Rektor III Unika Atma Jaya.

Mereka berbicara tentang peran penting generasi muda menggunakan hak suara dalam pemilihan umum 2014 dengan memilih figur-figur pemimpin negeri dan wakil rakyat yang peduli lingkungan. Ini juga berisi ajakan kepada mahasiswa agar tak menjadi golongan putih (golput) demi menyelamatkan hutan dan lingkungan.

Heru mengatakan, Badan REDD+ ikut menyuarakan pilih-pilih calon pemimpin maupun wakil rakyat pada pemilu 2014 yang peduli hutan dan lingkungan. “Di daerah-daerah kami sudah bekerja. Kami sosialisasi REDD+ sekaligus seruan pilih calon yang peduli hutan. Kami tak menyebut partai atau figur, tetapi bagaimana warga harus pandai memilih,” katanya.

Hutan Indonesia sudah kritis. Sampai 1998, katanya, hutan negara ini dikelola serampangan, dan dieksploitasi besar-besaran. Kondisi ini, katanya, menunjukkan tata kelola hutan buruk selama ini. Dia juga memperlihatkan peta tutupan hutan Indonesia, yang masih tersisa di beberapa lokasi. Namun, pemandangan miris kala dia memperlihatkan hutan nyaris tak tampak ketika peta tutupan hutan itu di-overlay dengan izin-izin yang telah diberikan.

Menurut dia, apa yang dilakukan 30 tahun lalu tak mudah untuk dihentikan. “Kalau langsung dihentikan, bak kendaraan, bisa selip. Kita bikin armada ini belok aman yakni lewat REDD+.”

REDD+ tak hanya berbicara tentang menjaga hutan, atau mengurangi deforestasi untuk menghasilkan karbon, tetapi juga memperhatikan keragaman hayati dan manusia yang hidup di dalamnya. “Jadi REDD+ memperhatikan masyarakat sekitar hutan.”

Menjaga hutan bukan berarti tak bisa dimanfaatkan sama sekali. Namun, bagaimana memastikan ekonomi tetap berjalan dan hutan terjaga. Jadi, katanya, musuh terbesar adalah bisnis yang dijalankan seperti biasa (business as usual) yang hanya fokus kepentingan ekonomi.

“Pertumbuhan ekonomi bagus buat angka, kemiskinan sekitar hutan penting, namun terpenting keseimbangan antara pembangunan dan menjaga lingkungan serta kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan,” ucap Heru.

Menurut dia, masa kelam pengelolaan hutan masa lalu jangan sampai terulang. “Tak usah cari kesalahan, tapi jangan lupa orang buat kesalahan.”  Jadi, kata Heru, jangan pernah lupa dengan orang yang merusak hutan, melanggar HAM maupun para koruptor. “Jangan sampai mereka menjadi Presiden atau wakil rakyat. Kita bisa andil. Gampang, karena ada pemilu. Susah, kalo hak pemilu ga dipakai.”

Abetnego mengatakan, sejak awal Walhi sudah berkampanye bersih-bersih parlemen dari aktor perusak lingkungan. Pemilih yang menentukan mereka duduk atau tidak. “Jadi, persoalan lingkungan ini persoalan politik. Karena ada kebijakan yang dikeluarkan dan diputuskan oleh yang dipilih dari proses politik,” katanya.

Untuk itu, kata Abetnego, penting membangun kesadaran politik warga bahwa politik lingkungan itu penting. Jadi, bagaimana dalam pemilu 2014 ini, lingkungan menjadi agenda bagi partai politik, dan para calon. “Masyarakat pun dalam memilih harus lihat-lihat dulu figur yang peduli lingkungan.”

Dia mengatakan, Walhi tidak berbicara tentang salah satu partai, tetapi semua partai dan kandidat mereka didorong untuk peduli terhadap isu-isu lingkungan.

Jika tidak, maka ancaman bagi alam negeri. Pemimpin, yang dipilih rakyat jika tak memperhatikan lingkungan akan mengobral izin untuk eksploitasi sumber daya alam. Izin keluar bukan sebagai alat regulasi, atau menata hutan dan kepastian monitoring, tetapi komoditas. Untuk itu, peran warga, terutama generasi muda dalam memilih calon-calon peduli lingkungan sangat penting.

“Misal di Kalteng, mantan bupati baru berhenti dan tak terpilih lagi, izin-izin diberikan untuk keluarga. Di akte notaris, kalo ga dia ya anaknya, itu sekitar 250 ribu hektar. Hal-hal macam ini makin menggila. Kekayaan alam ini dimanfaatkan oleh politisi-politisi jahat.”

Guna mendorong itupula, pada 11 Maret ini di Istora Senayan, Walhi akan mengadakan gawe akbar mengkampanyekan pemilu dan lingkungan. Di sana akan aksi gabungan berbagai elemen, dari para aktivis, musisi, sampai budayakan.

Menurut dia, masalah utama kerusakan hutan dan lingkungan di negeri ini adalah alih fungsi lahan, dan pencemaran oleh perusahaan-perusahan seperti pertambangan, perkebunan sampai pariwisata. Konversi lahan pertanian juga terjadi. “Ini memberikan konsekuensi degradasi pada lingkungan hidup.”

Saat ini, luasan kebun sawit sudah mencapai 11 juta hektar lebih dan perizinan yang dikumpulkan sudah hampir 30 juta hektar lebih. Untuk tambang, pinjam kawasan hutan pada 2014 sudah capai 6,5 juta hektar. “Ini tekanan sangat luar biasa pada hutan. Ini persoalan serius.”

Tak pelak, bencana terjadi di mana-mana. Data Walhi menyebutkan, bencana ekologis 2013 melonjak tajam. Tahun 2012, banjir dan longsor terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang. Pada 2013 bencana menjadi 1.392 kali naik 293 persen. Bencana melanda 6727 desa atau keluarahan tersebar di 2.787 kecamatan, 419 kabupatendan kota di 34 provinsi dengan korban jiwa 565 orang.

Berdasarkan jenis bencana, banjir mendominasi yaitu 992, banjir rob 70 dan tanah longsor 330 kejadian. Daearah–daerah rawan banjir di Kabupaten Bandung, Jakarta Timur, Medan dan Samarinda. Sedang daerah rawan longsor adalah Cianjur dan Sirimau, Ambon. Pada kedua wilayah ini memang tektur tanah relatif labil selain topografi dengan tingkat kecuraman diatas 40 derajat.

Bencana ekologis 2013 baik frekuensi, intensitas dan sebaran meningkat menunjukkan ekosistem kolaps. Daerah-daerah masif mengeksploitasi hutan untuk tambang dan perkebunan besar, terbukti paling banyak bencana ekologis.

Di Sumatera, Aceh merupakan provinsi tertinggi bencana. Dari 23 kabupaten dan kota tak satupun luput dari bencana, terbesar pada wilayah deforestasi seperti di Aceh Barat dan Aceh Timur. Begitu pula Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.

Sedang wilayah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Medan, Gorontalo, Bandung, Cirebon, Surabaya, Semarang, Samarinda dan Serang, yang terkena banjir, antara lain karena minim ruang terbuka hijau, kehilangan hutan mangrove, daerah resapan air menyusut. Juga sendimentasi dan degradasi pada anak-anak sungai serta darainase tak berfungsi maksimal.

“Tak ada kabupaten bebas masalah. Ini jadi penting ingatkan soal ancaman ini. Maka penting,  pilih pemimpin dan wakil rakyat yang peduli lingkungan,” kata Abetnego.

Makdin menambahkan, mahasiswa sebagai agen perubahan mempunyai kesempatan berpartisipasi memiliki calon legislatif maupun pemimpin pemimpin negara dalam pemilu ini. “Kenali calon yang mempunyai visi misi lingkungan yang baik. Gunakan hak pilih kalian.”

Exit mobile version