,

Geothermal Chevron Dinilai Tak Transparan, Warga Lereng Ciremai Ngadu ke Komnas HAM

Seratusan warga lereng Gunung Ciremai tergabung dalam Gerakan Massa Pejuang untuk Rakyat (Gempur)  mendatangi Komnas HAM di Jakarta, Senin  (21/4/14). Kedatangan mereka untuk mengadukan keberatan atas rencana eksplorasi geothermal oleh Chevron di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Jawa Barat. Mereka khawatir eksplorasi panas bumi ini akan mengancam kampung mereka.

“Proses diam-diam. Termasuk dalam  penentuan wilayah pertambangan. Tanpa melibatkan masyarakat. Mestinya sosialisasi dilakukan di wilayah yang terkena dampak. Sampai sekarang masyarakat tak diberi tahu. Kami justu mendapatkan bocoran  data-data mengenai ini dari pihak lain,” kata Okki Satrio, koordinator Gempur.

Eksplorasi geothermal di Jabar mulai mengemuka ketika Ahmad Heryawan berbicara dalam seminar energi panas bumi di Bali 3 April 2006. Saat itu, lelaki yang akrab disapa Aher mengatakan rencana mengeksplorasi geothermal di beberapa daerah di Jabar.

“ Otoritas desa selalu mengatakan itu isu. Tapi kami punya dokumen sampai notulensi penentuan wilayah pertambangan. Ini data bukan isu yang dibikin-bikin. Berita acara, notulensi akan kami berikan kepada Komnas HAM  agar bisa ditindaklanjuti.”

Selama ini, Pemerintah Jabar terkesan menutup-nutupi. Banyak warga Kuningan belum mengetahui rencana eksplorasi geothermal di sana. Awalnya, kata Okki, geothermal tidak boleh ada di kawasan konservasi. Namun UU Panas Bumi sedang direvisi. Nanti bisa masuk ke taman nasional. Mereka tidak mengatakan geothermal sebagai aktivitas pertambangan. “Kalau revisi ini berhasil, kami menuding Chevron berada di balik semua ini. Kami juga menuding dikeluarkannya kami dari kawasan hutan itu ada Chevron di belakangnya.”

Eksplorasi geothermal di Jabar pernah dilakukan di Kamojang. Perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Garut. Okki mengatakan kondisi berbeda dengan Kuningan.“Di Kamojang letak jauh dari pemukiman warga. Di Kuningan berada di dalam perkampungan. Desa kami terancam.”

Pada 20 Oktober 2010, Pemerintah Jabar rapat bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas ESDM Jabar dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) membahas batasan wilayah kerja pertambangan (WKP). Hasil rapat itu menyepakati luasan WKP 23.646,27 hektar di Kabupaten Kuningan dan 642,48 hektar di Kabupaten Majalengka. “Seluruh WKP di luar konservasi BTNGC. Artinya luas WKP berada di lahan masyarakat.”

Kabupaten Kuningan merupakan daerah dengan sumber energi geothermal melimpah. Setidaknya, ada tiga titik panas bumi di Kabupaten Kuningan. Yakni di Sangkanhurip dengan potensi 80 MWE, Ciniru 70 MWE dan Pajambon 150 MWE.

Pada 19 Oktober 2010,  Jabar mengeluarkan surat edaran pemberitahuan sosialisasi eksplorasi geothermal. Namun warga mengaku hingga kini sosialisasi tak pernah dilakukan. “Sampai saat ini tidak ada sosialisasi komprehensif. Kalau pun ada hanya di empat desa. Mayoritas masyarakat Kuningan tidak mengetahui. Karena itu kami sepakat menolak eksplorasi geothermal,” kata Okki.

Warga lereng Gunung Ceremai aksi protes dan mengadu ke Komnas HAM atas rencana geothermal Chevron yang terkesan sembunyi-sembunyi dari warga. Foto: Indra Nugraha
Warga lereng Gunung Ceremai aksi protes dan mengadu ke Komnas HAM atas rencana geothermal Chevron yang terkesan sembunyi-sembunyi dari warga. Foto: Indra Nugraha

Dia mengatakan, dari 162 desa terkena dampak, hanya empat desa dilakukan sosialisasi. Itu pun hadir hanya perwakilan. Chevron tak sosialisasi tetapi Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Kuningan dan Jabar.

Aher mengeluarkan SK Nomor 540/kep.1269-Dis-ESDM/2011 tentang panitia lelang wilayah kerja pertambangan panas bumi Gunung Ciremai. Saat lelang, hanya diikuti dua perusahaan asing. Yaitu PT Hitai dari Turki dan Chevron, Amerika. Chevron menang dengan penawaran tertinggi  US$ 9,7 cent per KWH.

Ahmari, warga Desa Sukamukti, Kecamatan Jalaksana mengatakan, awalnya Gunung Ciremai itu dikelola rakyat. Ketika menjadi taman nasional rakyat dibatasi. Sekarang, dengan geothermal ini rakyat akan makin dibatasi.

“Ada isu kami mau direlokasi ke Kalimantan. Padahal di wilayah  Kuningan, kami sudah makmur. Sudah tidak usah dibagi hasil lagi dengan asing.”

“Ini mengorbankan tenaga kerja atau orang penggarap lahan di desa masing-masing. Sekarang ada dalih bagi hasil antara Chevron dengan Kuningan untuk kesejahteraan masyarakat. Sebenarnya dengan hasil sayur kesejahteraan masyarakat sudah mencukupi,”kata Ahmari.

Selama ini, masyarakat Gunung Ciremai penyuplai sayur untuk Cirebon.  Masyarakat bergantung pada hasil tani dan kebun. Seharusnya, pemerintah bisa memperhatikan hal ini.

“Diganti berapa pun kami tidak mau. Jelas yang namanya eksplorasi akan merusak. Tak mau nasi jadi bubur. Saya akan mempertahankan wilayah saya. Semua warga sepakat menolak. Kami tidak ingin dininabobokan. Kami mohon Komnas HAM menulusuri kontrak itu.”

Sebelumnya 3 April 2014, alim ulama se-Cirebon menggelar pertemuan di Pondok Pesantren Buntet.  Pertemuan itu mengeluarkan fatwa eksplorasi geothermal di Gunung Ciremai adalah haram. Sebab, lebih banyak dampak buruk dan mengganggu ekologi serta kehidupan masyarakat.

“Masyarakat khawatir ada eksplorasi  geothermal ini akan mengakibatkan debit air dan kualitas air menurun. Kami juga khawatir gempa tektonik. Relokasi sangat memberatkan warga. Kami sepakat menolak,” kata Zakiyal Fuad, warga Desa Cigugur Kuningan.

Kekhawatiran dia muncul melihat pengalaman daerah lain. Seperti di Desa Kertasari, Kabupaten Bandung. Begitu pula di Pegunungan Dieng, Jawa Tengah.  Danau di pegunungan itu mengalami kekeringan akibat eksplorasi geothermal.“Ini mengakibatkan kerusakan ekologi di lahan produktif masyarakat. Mereka selalu berkampanye geothermal itu terbarukan. Ramah lingkungan. Padahal tidak. Karena teknologi yang dipakai Chevron itu menggoyang dan membelah batuan. Hingga rentan gempa. Kami punya tim ahli geothermal.”

Nur Kholis, Komisioner Komnas HAM, mengatakan, akan mempelajari lebih mendalam data-data warga. “Beberapa hari lalu saya mampir ke Kuningan. Ada diskusi terkait ini. Saya akan memperdalam dulu data yang ada.”

Komnas HAM, katanya,  akan memanggil  Gubernur Jabar dan Bupati Kuningan guna dimintai klarifikasi. Chevron juga akan dipanggil.

Kesimpulan sementara Komnas HAM,  kata Kholis, masyarakat 162 desa menolak Chevron. Tidak transparansi, masyarakat tak dilibatkan. Ada kekhawatiran direlokasi. “Harusnya dalam setiap proyek, mutlak sosialisasi. Ini menyangkut hak asasi informasi juga hak kehidupan lebih baik. Komnas HAM akan turun lapangan melihat langsung.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,