,

Melawan Perusahaan Sawit, Perjuangan Warga Seruat Berbuah Manis

Kabar baik bagi perjuangan masyarakat dalam mempertahankan lahan melawan perusahaan dan pemberi izin datang dari Kalimantan Barat.  Warga Seruat menggugat  PT Sintang Raya dan BPN di PTUN Pontianak, dan menang. Perusahaan maju banding dan kasasi. Dua upaya ini keok. Putusan MA menyatakan HGU Sintang Raya, batal demi hukum dan keadilan. 

Malam beranjak larut ketika Abdul Majid, warga Desa Seruat II, memacu sepeda motor. Dia terus melaju di sepanjang jalan utama Desa Sungai Rengas hingga tapal batas, Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, Jumat, awal Mei 2014.

Perlahan-lahan, dia memarkir kendaraan di halaman kedai kopi, tak jauh dari anakan Sungai Kapuas. Orang Pontianak menyebut anakan sungai dengan parit. Ia berfungsi sebagai tanda alam memisah dua wilayah bertetangga.

Wajah Majid berbinar. Duduk santai di sebuah kursi, dia mengulik kembali dokumen yang tersimpan dalam tas hitamnya. “Kami menang Pak, kami menang,” katanya. Dia menunjukkan salinan amar keputusan PTUN Pontianak.

Kabar dari Majid ini mengenai konflik warga lima desa di Kubu Raya dengan PT Sintang Raya, perkebunan sawit Grup Miwon. Desa-desa yang masuk konsesi perusahaan itu Sungai Selamat, Mengkalang, Seruat II, Dabong, Ambawang, dan Seruat III. Kelima desa ini terletak di dua kecamatan di Kubu Raya: Kubu dan Teluk Pakedai.

Mahkamah Agung dalam amar keputusan, menolak kasasi Sintang Raya, dan memperkuat amar keputusan PTUN Pontianak dan PTTUN Jakarta. Sebelumnya, PTUN Pontianak memutuskan membatalkan hak guna usaha Sintang Raya. “Inilah puncak perjuangan kami warga kampung, setelah enam tahun berusaha melawan dengan swadaya. Besok saya kembali ke kampung membawa kabar ini,” kata Majid.

Di Seruat II, Muhammad Yunus, sang kepala desa santai bersama keluarga di rumahnya Dusun Karya Makmur. Dia sudah mendengar kabar sengketa lahan dengan Sintang Raya sejak 2008, sudah berakhir. MA, menolak gugatan Sintang Raya.

Namun, perusahaan masih beraktivitas hingga Jumat (2/5/14). “Sampai saat ini saya masih menunggu salinan amar keputusan MA. Setelah itu baru menyusun langkah lanjutan, termasuk menemui Bupati Kubu Raya. Dalam waktu dekat saya coba berkoordinasi dengan warga,” kata Yunus.

Anak-anak Desa Seruat II sedang bermain di halaman rumah mereka. Dengan putusan MA ini setidaknya memberikan kepastian bagi warga, agar mereka tak hidup dalam was-was dan tenang bercocok tanam. Foto: Andi Fachrizal
Anak-anak Desa Seruat II sedang bermain di halaman rumah mereka. Dengan putusan MA ini setidaknya memberikan kepastian bagi warga, agar mereka tak hidup dalam was-was dan tenang bercocok tanam. Foto: Andi Fachrizal

Desa dengan penduduk sekitar 2.030 jiwa atau 512 keluarga ini tersebar di empat dusun, masing-masing Dusun Karya Makmur, Karya Maju, Karya Bersama, dan Fajar Karya. Tiga dusun, yakni Karya Makmur, Karya Bersama, dan Karya Maju, adalah wilayah sengketa dengan Sintang Raya.

Selama enam tahun sejak kehadiran Sintang Raya di Kecamatan Kubu dan Teluk Pakedai, warga Desa Seruat II tak bisa menggarap lahan. Padahal, lahan itu harapan menopang perekonomian keluarga. Mayoritas pencarian warga desa bercocok tanam, berkebun, dan nelayan.

Majid, juga Ketua Serikat Tani Kubu Raya menceritakan, sejak 2008, warga Seruat II sudah membuka lahan adat di sekitar desa. Pembukaan lahan atas seizin kepala parit atau kepala adat. Oleh warga, lahan ini sebagai sarana berkebun maupun lahan pertanian.

Setahun kemudian, Sintang Raya masuk dan mulai beraktivitas di Kubu Raya. Lahan digarap sesuai HGU Badan Pertanahan Negara (BPN) Kubu Raya dengan Nomor 4 tahun 2009 mencapai 11.129,9 hektar. Termasuk lahan kelola warga Seruat II mencapai 900 hektar. Sertifikat HGU dengan surat ukur Nomor 183 tahun 2009 ini dikeluarkan atas nama Sintang Raya selama 35 tahun.

Ketegangan antara dua kubu kian meruncing. Sejak awal, warga tidak menerima kehadiran perusahaan sawit ini.

Warga berkeras tidak ingin menyerahkan lahan garapan. “Lahan sudah kita tanami pisang, nanas, kelapa, dan lain-lain. Ada juga sawah.”

Perusahaan di atas angin. Kepemilikan lahan warga di Desa Seruat II sangat lemah lantaran tidak memiliki surat apapun, kecuali pengakuan adat. Perusahaan beroperasi. Eskavator bergerak membersihkan.

Warga berkumpul mencegah aktivitas perusahaan. Di bawah payung Serikat Tani Kubu Raya, mereka melawan.

Proses perusakan jembatan akses penghubung antara PT Sintang Raya dengan lahan milik warga Seruat II pada 28 Mei 2012. Foto: dokumen Serikat Tani Kubu Raya
Proses perusakan jembatan akses penghubung antara PT Sintang Raya dengan lahan milik warga Seruat II pada 28 Mei 2012. Foto: dokumen Serikat Tani Kubu Raya

Pada 2012, warga mulai diintimidasi. Saat itu, terjadi kebakaran lahan di Sintang Raya. Warga dituduh biang kebakaran. Seorang warga, Iskandar, ditangkap kepolisian. Namun kepala Desa Seruat II, kala itu Zakariah Alwi menjamin warga tak terlibat. Iskandar lolos.

Teror datang, warga bergeming. Mereka bahkan berhasil menghentikan eksavator perusahaan dan merusak jembatan akses utama antara perusahaan dengan lahan warga. “Kami tidak pernah berhenti berjuang melawan perusahaan itu. Meski dengan dana dari kocek masing-masing,” kata Majid.

Tak hanya melawan di lapangan. Warga menghimpun dana seusai panen untuk memperluas basis perjuangan. Mereka aksi di DPRD Kubu Raya, BPN, DPRD Kalbar, Polda Kalbar, Komnas HAM Kalbar, dan Ombudsman. “Kepala Desa Seruat II mengirim surat tembusan ke Presiden.”

Majid menyadari, kepemilikan lahan adat tanpa sertifikat, sangat lemah di mata hukum. Warga Seruat II mencoba berkomunikasi dengan desa tetangga, Ola’-Ola’ Kubu. Di sana, sejumlah warga yang lahan ikut terampas perusahaan memiliki sertifikat tanah.

Warga bermufakat menggalang kekuatan, menggugat secara hukum. Roliansyah, Arief Tridjoto, IB Made Sunantara, dan Nurliansyah menjadi pengacara terpilih sebagai kuasa hukum mendampingi gugatan mereka di PTUN Pontianak. Sintang Raya menjadi tergugat dua interpensi, tergugat lain, BPN Kubu Raya.

Alhasil, amar putusan PTUN Pontianak pada 9 Agustus 2012 mengabulkan gugatan penggugat dan keputusan pengadilan itu menyatakan membatalkan sertifikat HGU Sintang Raya. Perusahaan banding. Perkara berlanjut hingga PTTUN Jakarta.

Banding, gugatan Sintang Raya, ditolak. Kasus ini bergulir ke kasasi. MA pada 14 Februari 2014, memperkuat putusan PTUN Pontianak dan PTTUN Jakarta. HGU Sintang Raya dinyatakan batal demi hukum dan keadilan.

Kini, warga mengolah lahan tanpa was-was. Samsudin, warga Mengkalang, mengatakan, akan menanami lahan dengan jagung dan nanas. Warga lain, Duri, menyatakan, warga desa tak memerlukan publikasi ramai. “Penting bisa mengolah lahan.”

“Ini benar-benar kado istimewa,” kata Deman Huri Gustira, direktur Lembaga Pengkajian Studi Arus Informasi Regional (LPS AIR) Kalbar. Lembaga ini aktif mendampingi masyarakat Kecamatan Kubu.

Aksi warga mengambil alih alat berat perusahaan dan merusak jembatan pembatas pada 2012. Foto: dokumen Serikat tani Kubu Raya
Aksi warga mengambil alih alat berat perusahaan dan merusak jembatan pembatas pada 2012. Foto: dokumen Serikat Tani Kubu Raya
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,