Siang itu, akhir Maret 2014. Masus berteduh di bawah pohon rindang. Tangan kanan memegang sebilah parang. Seraya berjongkok, dia terus mengiris-ngiris kayu kecil, dibentuk bulatan untuk menambal lubang-lubang di perahu.
Pria berusia 60 tahun ini asli Bungku, salah satu suku di Morowali, Sulawesi Tengah. Dia ditemani anak laki-lakinya yang masih kelas lima sekolah dasar. Sang anak asyik bermain sepak bola di pantai, sambil sesekali menggali pasir.
Tak jauh di hadapan mereka, berdiri kantor perusahaan tambang nikel. Namanya PT Bintang Delapan Mineral.
Ia berjarak tak sampai satu kilometer dari tempat Masus berteduh, di Pantai Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali. Desa ini salah satu desa pesisir sekitar tambang Bintang Delapan.
Dulu, saban pagi atau sore, Masus pergi melaut. Kini, jadwal melaut tak menentu. Ikan makin susah. Jarak tangkap pun makin jauh.
“Dulu kalau tidak melaut, bisa mencari damar, sagu, atau rotan di hutan. Sekarang, sudah melaut susah, pergi ke hutan pun tak bisa,” kata Masus.
Dahulu, hutan mangrove tumbuh di pulau itu. Dikenal dengan Pulau Polo. Terumbu karang indah. Ikan banyak bermain. “Di sana, kami biasa mencari ikan. Satu jam memancing, hasil bisa beli beras. Hidup kami tenang,” kata Masus. Tangannya menunjuk pulau yang ditimbun oleh Bintang Delapan menjadi perkantoran.
Kini semua sirna. Perusahaan tambang datang, pabrik berdiri. Pantai ditimbun. Mangrove ditebang. Pulaupun dibeli. Yang ada, kini, kapal mulai hilir-mudik di hadapan mereka.
Semua berganti. Masyarakat tak lagi melaut. Kalaupun melaut, hasil jauh dari harapan. “Laut yang ditimbun itu tempat kami mencari ikan dengan pukat. Ibu-ibu biasa mencari biya (kerang). Sejak nenek-moyang kami mencari makan di sini. Kini laut jadi keruh kecoklatan karena lalu-lintas kapal yang memuat ore nikel.”
Ore adalah nikel mentah yang masih bercampur dengan tanah. Kata Masus, setiap hari ada sekitar lima kapal besar datang berlabuh tak jauh dari desa mereka. Kapal-kapal kecil hilir-mudik mengangkut ore nikel,dari pelabuhan milik Bintang Delapan di Desa Fatufia, menuju kapal besar. Kapal itu tidak merapat. Berjarak sekira satu kilometer. Lalu kapal besar yang sudah berisi ore nikel itu menghilang dari pandangan mereka. Tujuan kapal itu ke Tiongkok.
“Siang malam kapal itu sibuk kesana-kemari. Aktivitas tidak berhenti. Desa kami jadi ribut. Kami tidak bisa istirahat. Sekarang saja, kami dengar Bintang Delapan akan menimbun lagi laut sekitar 200 meter dari garis pantai untuk pembangunan jetty, pelabuhan mereka,” kata Masus.
Masyarakat bukan tanpa perlawanan. Protes mereka layangkan kepada perusahaan. Suatu ketika, pada Desember 2013, masyarakat melihat aktivitas orang-orang Bintang Delapan, sedang mengebor di laut, tak jauh dari bibir Pantai Fatufia. Saat ditanya warga, perusahaan beralasan hanya memeriksa struktur dan kedalaman laut.
Pengeboran makin sering, warga mulai curiga. Mereka berkumpul. Satu persatu perahu yang terparkir didorong ke laut. Ada yang memagang balok. Ada bergolok. Tujuannya menakut-nakuti pekerja perusahaan. Sesampai di lokasi pengeboran, para pekerja tampak ketakutan berhadapan dengan masyarakat.
“Pergi kalian dari laut kami!!”
“Tinggalkan laut kami!!”
Warga berteriak mengusir pekerja perusahaan. Para pekerja kabur.
Kecurigaan warga belum hilang. Mereka melihat ada pasir hitam diambil para pekerja itu. Padahal, mereka bilang untuk mengetahui kedalaman laut. “Ternyata orang-orang perusahaan itu mengambil pasir hitam atau krom di laut ini,” kata Masus.
Krom atau kromit merupakan satu-satunya mineral yang menjadi sumber logam kromium. Komposisi kimia kromit sangat bervariasi karena terdapat unsur-unsur lain yang mempengaruhi. Kromit dibagi menjadi tiga jenis; kromit kaya akan krom, kaya alumunium, dan kaya besi.
Warga lega berhasil mengusir orang-orang perusahaan yang mengambil krom. Namun itu tak berlangsung lama. Terdengar kabar perusahaan negosiasi di kantor camat, menghadirkan kepala desa dan aparatur lain. Warga tak dilibatkan. Hasilnya, perusahaan diizinkan beraktivitas di laut Fatufia.
Mendengar itu, emosi warga tersulut. Mereka mengoranisir diri. Perlawanan dilakukan. Mengusir orang-orang perusahaan bersampan membawa golok dan balok. Sekali lagi, warga berhasil.
“Kami meski tak sekolah, tapi sudah tahu dengan cara-cara perusahaan yang menipu,” ujar Masus.
“Sayangnya, perusahaan punya banyak cara memuluskan rencana. Kepala desa dihubungi, izin pun kembali keluar. “Kami tetap melawan.” Lalu warga mencari kepala desa, dan hampir dipukuli. “Sekarang, alhamdulillah, mereka tak lagi beraktivitas mengambil kromit.”
Keberhasilan mengusir orang perusahaan yang mengambil pasir hitam itu tidak terulang ketika warga protes terhadap penimbunan pantai. Warga tak bisa berbuat apa-apa. Bintang Delapan berhasil menimbun pantai. Kini, kian mendekati pulau. Warga dihadapkan dengan polisi dan tentara. Moncong senjata setiap saat siap menodong.
“Polisi dan tentara banyak berkeliaran. Saya dengar, Bintang Delapan itu milik delapan orang jenderal. Kami tidak tahu pasti, cuma semua warga sudah tahu kalau perusahaan ini milik para jenderal.”
DUA puluh empat Juli 2010, merupakan hari penuh mimpi buruk bagi desa-desa seperti Baho Makmur dan Peukerea dan Fatufia. Sawah-sawah, kebun, ternak sapi maupun kambing, sampai rumah, terendam. Banjir mencapai 1,5 meter menggenangi desa-desa di Kecamatan Bohodopi Selatan, Morowali ini. Sawah gagal panen, mesin pompa air manual dari program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) yang baru dipasangpun rusak.
Warga kesal. Sebab, sejak dulu daerah mereka tak pernah mengalami banjir. Baru kali ini setelah tambang Bintang Mineral beroperasi.
Perusahaan masuk dan membuat jalan tambang yang dikenal dengan Jalan Houling. Penyempitan Sungai Bahongkolangu terjadi. Jalan ini berjarak sekitar 30 meter dari pedesaan.
Beberapa hari setelah banjir bandang, datang utusan Bintang Mineral mendata rumah dan mencatat kerugian banjir. Warga menunggu seraya berharap bantuan. Namun, yang datang hanyalah berbungkus-bungkus supermi. Warga kecewa.
Para korban banjir aksi di kantor lapangan perusahaan tambang ini pada 4 Agustus 2010. Protes tak diindahkan, emosi warga memuncak, berujung pada pembakaran timbangan nikel perusahaan. Kala itu, Bintang Mineral mengklaim rugi sekitar Rp7 miliar.
Polisipun sigab bertindak. Empat warga yang dianggap provokator ditangkap. Mereka disangka dengan pasal perusakan secara bersama-sama. Namun, aparat negara ini seakan lupa kerugian warga dampak banjir yang muncul setelah ada perusahaan. Kasus warga ini sama sekali tak diselidiki.
Pada Selasa 12 Juli 2011, banjir bandang kembali menerjang. Air Sungai Bahongkolangu, meluap akibat jembatan houling jebol. Rumah-rumah warga di Desa Bahodopi, Keurea, Fatufia, Trans Makarti dan Baho Makmur, terendam.
“Ya itulah, bisa dilihat sekarang. Sawah-sawah tinggal isi ilalang. Padi tak bisa lagi tumbuh,” kata Waryoto, warga Baho Makmur.
Penderitaan warga berlangsung hingga kini. Kala hujan, banjir. Musim kemarau, kekeringan. Mereka juga kesulitan air bersih. Kondisi tambah miris kala sepanjang tahun, padi tak lagi bisa tumbuh, tanaman kebun seperti jambu mente, mangga tak lagi bisa berbuah. Semua seakan menjadi mandul.
Dulu, kata Waryoto, per hektar sawah menghasilkan empat ton padi. Setahun, dua kali panen, dengan luas sawah di desa itu sekitar 200 hektar. “Cukuplah buat hidup kami sehari-hari. Ada lebih dijual. Saat ini, kalaupun ditanami, padi kering. Mati.”
Sebelum ada tambang, air irigasi mengalir ke sawah. Kini, tak bisa lagi. Kali mengering. Tanggul perusahaan lebih tinggi dari sungai hingga air tak mengalir ke lahan warga.
Tak hanya sawah. Tanaman yang tumbuh pun tak lagi berbuah, seperti jambu mente, dan mangga. “Misal mangga berbunga, ya tak jadi buah. Berbunga lalu gugur.”
Tanah-tanah pun banyak menjadi padang ilalang. Hanya tampak sapi-sapi dilepas bebas memakan rerumputan.
Bagaimana kini warga hidup? “Ada beralih menjadi tukang bangunan. Mencari damar ke hutan. Ada beberapa masih jadi buruh di Bintang Delapan,” ucap Waryoto.
Mencari damarpun bukan semudah dulu. Sebagian lahan sudah menjadi tambang dan Jalan Houling. “Dulu, waktu bujuk agar warga jual lahan buat Jalan Houling, perusahaan bilang, kalau ada jalan warga mudah cari damar. Jalan jadi, kami malah tambah susah.”
Penderitaan warga tak selesai sampai di sana. Kala kemarau polusi udara menerpa desa. Di Desa Baho Makmur, Jalan Houling 30 sampai 50 meter di belakang desa, kala kemarau debu-debu memenuhi lingkungan warga sampai masuk ke rumah. Warga berdiam di dalam rumah sekalipun, pakaian dan badan akan dipenuhi debu.
“Kalau kemarau, piring dan gelas yang mau dipakai harus dilap lagi karena penuh debu,” kata Suminah, perempuan berusia 60 an tahun, tetangga Waryoto.
Wargapun banyak terkena penyakit pernapasan. “Banyak yang sesak nafas, batuk, kena debu,”ujar dia.
Ini terbukti dari data penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali. Tahun 2013, penyakit ISPA tertinggi di Kecamatan Bahodopi dan kecamatan yang ada pertambangan. Ada 922 kasus ISPA, kulit alergi 444 kasus, hipertensi 304 kasus, anemia 196 kasus, dan diare 135 kasus.
Wahida, ibu rumah tangga lain di Desa Baho Makmur mengatakan, saat ini beras makin susah karena sawah tak lagi berfungsi. “Suami kami tidak lagi bekerja. Kalau kerja ditambang, sudah tidak kuat lagi. Usia sudah tua,” katanya.
Tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dekat tambang pun tak ada. “Dapat susah. Baiknya tak ada,” kata Maryoto.
Tahun 2012, pernah turun dana sosial dari perusahaan Rp5 miliar kepada sembilan desa, termasuk Baho Makmur. Masing-masing desa mendapat Rp615 juta. Sebagian dana buat menimbun jalan.
“Rp300 juta dibagi ke warga. Desa ini saja ada sekitar 315 keluarga. Sisa dana yang lain, tak transparan. Penderitaan kami tak bisa dibayar dengan uang sebesar itu. Itu 2012. Sekarang tak ada bantuan apa-apa lagi.”
Di desa itu juga banyak dijumpai kos-kosan berbentuk rumah petak. Banyak pendatang pekerja tambang kos di sini.
Baho dalam bahasa Bungku berarti air. Desa ini dinamakan Baho Makmur karena banyak mata air. Belakang desa berbatasan dengan hutan. Sayangnya, kini desa ini malah gersang. Air sulit.
Pencemaran air juga terjadi di Desa Bahodopi. Air dari PAM, berubah menjadi warna kuning. Warga khawatir limbah pabrik mencemari sungai dan laut. Tak bisa dibayangkan ikan yang dikonsumsi warga sehari-hari sudah tercemar limbah tambang.
“Manfaat tambang buat masyarakat sepertinya tidak ada. Malah susah, air tercemar. Mungkin hanya jalan bagus atau listrik yang menyala malam hari. Kalau CSR hanya bisa dirasakan aparat desa. Masyarakat tidak dapat apa-apa. Kecuali kalau memang bekerja di Bintang Mineral. Itupun kalau tidak dipecat,” kata Hasmudin, warga Desa Bahodopi.
Sore itu, Hasmudin ditemani Johanis. Keduanya asli Bungku, dan seumuran, 43 tahun. Mereka sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu. Tampak Hasmudin dan Johanis sibuk membuat kosen daun jendela dan pintu rumah. Tempat mereka bekerja tepat di bawah pohon pinggir pantai yang sudah dicor.
“Semalam hujan. Pagi, laut langsung jadi berwarna cokelat. Kalau dulu, meski hujan satu minggu, laut tetap bersih. Sekarang, rintik-rintik saja laut jadi keruh. Kalau memancing, ikan tak mau makan lagi,” kata Johanis.
Johanis dan Hasmudin beberapa kali ikut pertemuan di balai desa maupun di kantor camat terkait penyampaian dana tanggung jawab sosial atau dari Bintang Delapan. Dari situ mereka tahu, setiap tahun dana tanggung jawab perusahaan ini Rp5 miliar, lalu dibagi merata kepada sembilan desa sekitar tambang.
Desa-desa itu adalah Desa Lele, Onepute Jaya, Damapala, Makarti Jaya, Lalampa, Dohodopi, Keurea, Fatufia, Labota dan Simbatu.
“Sebenarnya ada Rp7,5 miliar dana CSR. Sudah dipotong sama biaya pembangunan jalan dan listrik. Jadi bersih sisa Rp5 miliar untuk sembilan desa. Yaaa…itu tadi, masyarakat tidak dapat apa-apa.”
Anak-anak kecil banyak mandi telanjang bulat di laut sambil bermain perahu. Suasana sejuk. Kala sore, matahari senja menghiasi kampung ini.
KALA memasuki kawasan hutan yang dibuka Bintang Delapan, ada beberapa pos jaga. Tak ada petugas. Portal yang biasa menghalangi kendaraan masuk dibiarkan terbuka. Satu dua mobil hilux melintas ke hutan. Tak jauh dari situ, beberapa alat berat dan mobil damp truk terparkir. Seorang perempuan paruh baya terlihat duduk sendirian di rumah papan yang memanjang. Di bagian bawah, hanya terdengar suara deras sungai besar berwarna kecokelatan. Kata warga, itu Sungai Bahodopi.
Ketika masuk hutan, jalan mulai menanjak. Di belakang, hamparan permukiman penduduk pesisir Bahodopi terlihat jelas. Di seberang, pemandangan kawasan hutan berbukit masih lebat. Namun banyak pohon ditebang, yang terlihat hanyalah tanah merah membentuk seperti jalan tikus.
Saat melewati Jalan Houling, dengan lebar sekitar lima sampai tujuh meter, jalan tak hanya menanjak, juga bersimpang.
“Anda Masuk Wilayah Kontrak Karya PT Inco.” Begitu bunyi sebuah plang berwarna kuning.
PT Inco, kini berganti nama menjadi PT Vale Indonesia. Wilayah Bintang Delapan, memang tumpang tindih dengan Vale.
Tak hanya Bintang Delapan yang menggerumuti area kontrak karya Vale, total ada 43 izin pertambangan dikeluarkan sang bupati, Anwar Hafid. Beberapa perusahaan lain sudah pra konstruksi antara lain, Sulawesi Resources, dan PAN China.
Bintang Delapan juga mendapat izin tambang dari bupati di wilayah Rio Tinto. Buntutnya, Mei 2008, Bupati Morowali digugat ke PTUN karena membagi areal kontrak karya raksasa tambang asal Australia ini kepada 14 penambang, salah satu Bintang Delapan. Rio Tinto keok. Bintang Delapan berhasil menguasai lahan.
Makin ke atas, kiri-kanan pohon banyak tumbang. Lubang-lubang menganga dengan gundukan tanah-tanah merah menumpuk bak bukit. Inilah tempat Bintang Delapan mengeruk nikel.
Hutan berubah menjadi padang luas. Tak ada lagi pepohonan. Gersang. Tak ada kicau burung, atau suara macaca tongkeana, salah satu jenis monyet endemik di Sulteng. Semua dibabat. Rata dengan tanah.
“Kawasan yang dibabat oleh Bintang Delapan itu banyak masuk kawasan hutan,” kata Rifai Hadi, manajer riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng.
Sebuah truk melintas. Biasa truk bak terbuka memuat ore. Kali ini berbeda. Kendaraan menyerupai truk militer dengan kap bagian belakang tertutup kain mota tebal kecoklatan. Tak ada penumpang. Tak berapa lama mobil hilux silver double kabin melintas.
Dari atas terlihat, gedung-gedung beratapkan seng berwarna biru dan merah. Karyawan perusahaan hilir-mudik. Kantor lapangan Bintang Delapan ini, terletak di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi.
Pagar setinggi dua meter, memanjang sekitar dua kilometer membatasi pemukiman dengan perusahaan tambang itu. Ia berada di pinggir pantai.
Jalan umum Bahodopi, sekaligus jalan perusahaan. Mobil truk, hilux, atau ford ranger memuat material hilir mudik, dari hutan ke perusahaan. Begitu sebaliknya. Para sekuriti berjaga-jaga.
Sekitar 500-an meter dari kantor itu, berdiri Komando Rayon Militer (Koramil). Para tentara berjaga-jaga. Ada yang bermain catur. Kantor ini dibangun, setelah ada Bintang Delapan.
Kala matahari terik, debu-debu beterbangan. Seberang kantor Bintang Mineral, kawasan hutan. Berbukit. Di sana juga ada gedung milik perusahaan.
“Gedung di atas sangat mewah. Mirip hotel berbintang. Ada kolam renang. Kalau ada tamu penting perusahaan atau bos-bos datang, biasa menginap di atas,” kata Yunan Bilondatu.
Yunan adalah sopir damp truk Bintang Delapan. Dia asli Gorontalo. Sejak 2010 bekerja di perusahaan ini.
Siang itu, Yunan sedang istirahat. Dia biasa mengangkut ore nikel dari blok-blok Bintang Mineral di kawasan hutan. Sejak aturan larangan ekspor mineral mentah, tak ada produksi. Tugas mereka, memuat material untuk menimbun pantai. Yunan masuk kerja malam hari.
BINTANG Delapan, berkantor pusat di Jakarta. Dalam surat izin, perusahaan beralamat di Jalan Boulevard Barat Raya Blok LC 6, nomor 53, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading.
Ia berada di kawasan elit di Jakarta Utara. Di pusat bisnis, di tengah kompleks pertokoan. Logo Bintang Delapan bertengger di bagian teratas gedung. Di atas pintu masuk kantor, label Bintang Delapan Grup, juga terpampang. Di tempat ini juga alamat Sulawesi Mining Investment.
Bintang Delapan, mengantongi izin usaha pertambangan tahun 2010, dengan luas wilayah konsesi 21.695 hektar. Ia mencakup sembilan desa di Morowali, yakni Bahomoahi, Bahomotefe, Lalampu, Lele, Dampala, Siumbatu, Bahodopi, Keurea, dan Fatufia. Operasi produksi Bintang Delapan resmi 2009, diperkirakan berakhir 2025.
Di dua kabupaten, Morowali (Sulawesi Tengah) dan Konawe (Sulawesi Tenggara), Bintang Delapan menguasai sekitar 20 kuasa pertambangan. “Mereka membuat pecahan izin agar terhindar dari birokrasi perizinan pertambangan dengan menaruh macam-macam nama dan badan usaha berbeda, total luas 47.000 hektar,” kata Andika, peneliti dan pegiat lingkungan Sulawesi Tengah.
Pada 2010, Bintang Delapan menggandeng perusahaan Tiongkok, Tsingshan, anak perusahaan PT Dingxin Group, dengan nilai investasi US$1 miliar atau sekitar Rp 8,9 triliun dalam bentuk joint venture. Komposisi kepemilikan, Bintang Delapan 45 persen dan Dingxin Group 55 persen. Mereka muncul dengan bendera PT Sulawesi Mining Investment.
Kerjasama ini diikuti rencana pembangunan pabrik nikel, konstruksi dimulai 2010-2011. Target produksi pabrik ini 30.000 ton nikel per tahun. Total pengeluaran investasi Bintang Delapan sudah sekitar US$20 juta untuk membangun jalan, pelabuhan, dan macam-macam infrastruktur.
Kepemilikan saham Bintang Delapan Grup, sendiri, antara lain dipegang beberapa jenderal. Tak heran, masyarakat Morowali mengenal perusahaan ini dengan sebutan tambang para jenderal.
Ada Letnan Jenderal (purnawirawan) Sintong Panjaitan, duduk sebagai presiden komisaris Bintang Delapan Grup. Sulawesi bukan kawasan asing bagi jenderal ini. Pada Agustus 1964 hingga Februari 1965, saat itu berpangkat Letda, Panjaitan ditugaskan menumpas DI/TII pimpinan Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Hampir 50 tahun setelah itu, dia kembali terlibat di Sultra, tetapi dalam peran yang jauh berbeda. Di Sultra, tepatnya Konawe, Panjaitan, kini sebagai pemilik saham dari ribuan hektar wilayah tambang Bintang Delapan.
Dalam buku Para Komando ditulis Hendro Subroto, menceritakan, setelah pensiun, Panjaitan memberdayakan masyarakat lewat usaha pertanian organik di Green House Simarhompa, Tarutung. Pada ketinggian 1.300 meter dari permukaan laut ini, bersama Luhut Panjaitan, mereka membibitkan sayur dan buah-buahan. Kontras dengan bisnis ekstraktif yang dilakoni di Sulawesi, saat ini.
Ada juga Mayor Jenderal (purnawirawan) Hendardji Supandji, selaku presiden komisaris Bintang Delapan Investama, anak usaha Bintang Delapan Grup. Dia ini adik Hendarman Supandji, kepala Badan Pertanahan Nasional, dan kakak dari Gubernur Lemhanas, Budi Susilo Soepandji.
Pada, pemilihan Gubernur Jakarta, 2012, Hendardji mencalonkan diri sebagai gubernur berpasangan dengan Ahmad Riza Patria. Impian kandas, hanya memperoleh suara kurang dari dua persen. Pemilihan dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok.
Pada 18 Maret 2014, Panjaitan bersama petinggi Sulawesi Mining Investment datang ke Kementerian Perindustrian, bertemu sang menteri, MS Hidayat. Ada Hung Wei Feng, presiden komisaris Sulawesi Mining Invesment. Juga Halim Mina, presiden direktur perusahaan joint venture ini beserta wakil, Alexander Barus.
Mereka melaporkan perkembangan pembangunan pabrik smelter di Morowali. “Saat ini pembangunan fisik smelter sekitar 40%-45%,” kata Barus, kepada wartawan usai pertemuan.
Bersamaan pabrik smelter juga dibangun fasilitas pendukung seperti pembangkit listrik tenaga diesel 2×65 mega watt, oxygen pant, crusher plat, batching plant, water tratment plat, kanal air, dan pelabuhan kargo berkapasitas 60 ton. Mereka menargetkan, pembangkit listrik siap Juni 2015 bersamaan dengan operasi pabrik smelter.
Belum cukup. Kawinan dua perusahaan ini berencana membangun kawasan industri seluas 1.200 hektar. Mereka mengusung bendara baru berlabel PT Indonesia Morowali Industrial Park.
Di kawasan ini, akan melayani perusahaan-perusahaan hilir pengolahan nikel dan stainless steel. Perusahaan-perusahaan tambang yang selama ini mati suri, tampaknya bakal bangkit kembali dan memasok ore ke sini. Menurut Barus, mereka telah mendapatkan izin prinsip Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Ketika hendak mengkonfirmasi beragam permasalahan di lapangan terkait operasi Bintang Delapan di Morowali, tak mendapat tanggapan. Dari pesan singkat dan telepon ke Barus, sampai kirim email, telepon ke perusahaan maupun mendatangi kantor mereka.
KEHENINGAN malam di Posko Pemogokan, di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, berubah mencekam. Pada Kamis 13 Maret sekitar pukul 19.30, tiba-tiba sekitar delapan laki-laki turun dari mobil Avanza menerobos ke salah satu rumah warga.
“Siapa yang berani di sini?
“Saya orang Bohodopi. Mana Masdar?”
Posko Pemogokan itu memang menggunakan rumah kos Masdar, buruh Bintang Delapan.
Kala itu, berbagai perwakilan organisasi sedang kumpul, antara lain Jatam Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, dan PRD tergabung dalam gerakan buruh Morowali menggugat.
Sontak para aktivis yang tengah rapat ini lari kocar kacir. Mereka membabi buta. Pukul sana sini. “Kami bersembunyi masuk ke rumah kos para buruh,” kata Kadi dari Yayasan Tanah Merdeka.
Penyerangan ini, buntut dari mogok buruh Sulawesi Mining pada 13 Maret 2014. Aksi mogok sebagai protes dari pemecatan 252 pekerja tanpa pesangon. Pembangunan pabrik smelter pun berhenti total.
Kala aksi, perusahaan mendatangkan ratusan aparat polisi dan tentara guna menghentikan mogok buruh. Buruh bergeming. Aksi berlanjut. “Malam hari, waktu kita rapat konsolidasi para preman bayaran perusahaan datang menyerang.”
Saat penyerangan, Wahab, buruh sopir terkena pukulan balok. Pinggang membiru dan kemerah-merahan.
Teror belum berakhir. Pada 15 Maret, para buruh, dilaporkan ke polisi. “Cuma gara-gara mereka bilang tailaso masuk saat aksi 13 Maret. Mereka dianggap mengancam,” kata Kadi. Meski begitu mogok berlanjut hingga Minggu (16/3/14). Pada 26 Maret, seorang buruh, Kasmar, ditangkap, yang lain buron.
Tuntutan para pekerja, perusahaan mengangkat buruh kontrak dan buruh harian lepas menjadi tenaga kerja tetap. Lalu meminta kejelasan status buruh Sulawesi Mining asal Tiongkok berjumlah 400 orang lebih. Pekerja asal Tiongkok ternyata lebih banyak dari pekerja Indonesia, yang berkisar 200 orang.
Namun data Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Morowali dan Disnakertrans Sulteng, buruh asing yang terdaftar di Sulawesi Mining hanya 42 orang. Dari dokumen yang kami peroleh tercatat ratusan pekerja dari Tiongkok itu datang pada Februari dan Maret 2014.
Tahun lalu, ada 32 pekerja ilegal asal Tiongkok didatangkan perusahaan ini ditangkap Bea Cukai Kendari, Sultra karena tak memiliki berkas ketenagakerjaan asing jelas.
Perusahaan pun memberikan upah murah bagi buruh harian maupun pekerja kontrak. Buruh harian mendapat upah per hari Rp39.000 dan pekerja kontrak Rp1, 250 juta per bulan.
Belum lagi soal keselamatan kerja. “Ya, ada beberapa kecelakaan kerja di perusahaan sampai meninggal. Namun tidak terdengar keluar. Perusahaan memberikan santunan,” kata Yunan, sopir damp truk Bintang Delapan.
Masdar, warga Bahodopi, juga pekerja yang masih bersengketa dengan Bintang Delapan, mengatakan hal sama. “Selama saya tahu, sudah ada beberapa pekerja tewas kecelakaan kerja,” katanya.
Kini Masdar, menggugat perusahaan. Dia merasa dipecat tanpa pesangon. Sedang perusahaan, mengklaim Masdar mengundurkan diri. “Ini cuma trik perusahaan agar tetap bersih tak PHK dan tak perlu bayar pesangon.”
Kasus ini, katanya, berawal dari peraturan larangan ekspor mineral mentah sejak 12 Januari 2014. Masdar, selaku operator alat bor dipindah ke bagian elektrik. Secara tertulis, dia menyatakan tak bersedia ditempatkan di bagian itu karena tak memiliki keahlian. “Perusahaan berkeras, dengan penolakan itu berarti saya mengundurkan diri. Saya tak mau mundur. Kalau perusahaan tak pakai saya lagi, silakan pecat.”
Sidang bergulir. Pengadilan Hubungan Industrial di Morowali, menganjurkan Masdar kembali bekerja dalam jangka waktu enam bulan. “Saya sepakat, saya bersedia kembali kerja, tapi Bintang Delapan bilang tak sepakat mau lanjut ke PHI di Palu. Ayo, saya ladeni. Mereka mau enak, mau pecat tanpa bayar pesangon.”
Ratusan “Masdar” pun menyusul di-PHK dengan alasan mangkir lima hari kerja dan mogok kerja. Hingga kini, aksi buruh terus berlangsung.
MENJELANG senja bohlam-bohlam mulai menerangi Desa Keurea, Kecamatan Bahodopi. Bukan berarti aliran listrik lancar, malah naik turun. Redup, terang. Redup. Terang lagi. Begitu terus menerus. “Memang seperti inilah kondisi listrik di sini,” kata Jasuli Kitta, warga Desa Keurea.
Jasuli adalah tokoh masyarakat di desa ini. Dia juga tokoh pendidikan di Bahodopi, menjabat sebagai kepala Sekolah Menengah Kejuruan Alkhairat. Alkhairat adalah organisasi Islam terbesar di Sulawesi Tengah, berpusat di Kota Palu. Alkhairat bahkan menyebar ke beberapa pulau di Indonesia dengan membentuk pengurus cabang, seperti di Kalimantan, dan Pulau Jawa. Aliran ini mengusung Islam tradisional, hingga menjadi bagian dari Nahdatul Ulama, yang berpusat di Jawa.
Jasuli juga tercatat sebagai dosen Kampus Muhamadiyah, jarak jauh di Bahodopi. Banyak mencibir kegiatan kampus karena dianggap tak berkualitas. Namun, katanya, alumni mereka banyak terpakai. Satu bukti, mahasiswa bisa terangkat sebagai pegawai negeri sipil di Bahodopi.
“Listrik di sini dipasok dari Bintang Delapan. Ini bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan,” kata Jasuli.
Tanggung jawab sosial perusahaan diberikan untuk desa-desa sekitar tambang Bintang Delapan.
Menurut Jatam Sulteng, desa-desa sekitar tambang itu adalah Desa Unepute Jaya, Lele, Lalampu, Bahodopi, Siumbatu, Keurea, Makarti Jaya, Fatufia, Labota, Dampala, Bahomakmur, Trans Makarti, dan Peukerea.
Sebelum tambang masuk ke Kabupaten Morowali, desa-desa ini memang belum tersentuh listrik negara. Pun jalan-jalan banyak tak teraspal. Setelah tambang masuk, harapan perbaikan fasilitas ikut masuk ke desa. Jalan mulai bagus, listrik menyala walau masih setengah hati.
“Listrik menyala hanya malam. Kalau pukul 6.00 pagi sampai sore, padam. Magrib menyala lagi. Begitu setiap hari. Banyak bilang listrik gratis, itu salah. Kami tetap bayar listrik,” kata Jasuli.
Untuk urusan sekolah yang memakai listrik seperti mencetak lembar soal siswa, jika tak ada mesin genset, Jasuli bergegas ke ibukota Morowali, di Bungku. Sekitar satu jam lebih kalau naik kendaraan bermotor.
SEIRING industri pertambangan tumbuh subur di Morowali, kehidupan masyarakat ikut berubah. Sepanjang jalan raya dari Bungku Timur, sampai Bahodopi, kiri-kanan banyak berdiri penginapan-penginapan. Kos-kosan. Bahkan café-café, billiard, sampai bar ikut menjamur. Tarif pun relatif murah. Berkisar Rp50.000 hingga Rp175 ribuan. Ada yang bisa disewa bulanan.
Salah satu mesjid di Desa Fatufia dibangun Bintang Delapan, tak jauh dari sana berdiri café. Di malam hari pengunjung ramai. Koramil yang dibangun di pinggir jalan tak jauh dari tempat ini. Kekacauan antar pengunjung café sering terjadi.
Harga barang-barang kebutuhan ikut berubah, dari murah menjadi mahal. “Ini daerah dolar. Sekarang saja sepi karena banyak tambang setop operasi,” kata Gunawan, sopir mobil travel.
Dari hasil tambang, rumah-rumah warga banyak berubah. Mobil-mobil pribadi terparkir di halaman rumah. Orang kaya baru bermunculan. “Waktu saya kali pertama ke sini heran. (Toyota) Fortuner untuk mobil sewa,” kata Gunawan. Dia sendiri tinggal di Poso.
Rezeki nomplok juga datang dari jual beli lahan di kawasan hutan lewat modus surat keterangan pemilik tanah (SKPT). Seperti terjadi di Desa Labota, Kecamatan Bahodopi. Belum lama ini, masyarakat kedatangan perusahaan, yang mengaku akan membebaskan tanah. Padahal, lahan itu kawasan hutan berbukit, tak jauh dari belakang Desa Labota.
“Perusahaan itu mengaku bernama PT Garuda, tapi saya lupa nama lengkap perusahaan itu. Mereka sosialisasi di belakang desa kami akan dibangun perumahan. Mereka meminta lahan 1.000 hektar. Orang-orang dari Garuda itu saya kenal baik. Mereka bekerja untuk Bintang Delapan,” kata Hamzah, warga Labota.
Yang menarik, kata Hamzah, mereka tak tahu tanah mana yang akan dibebaskan untuk pembangunan perumahan itu. Mereka tak merasa memiliki. Warga seperti mendapat durian jatuh. Mereka diberikan jatah satu keluarga dapat dua hektar tanah dengan dibuatkan SKPT.
Perusahaan menetapkan satu hektar tanah dihargai Rp1.250 per meter. Saat sosialisasi, warga minta Rp3.500 per meter. Setelah berdebat lama, disepakati harga awal.
“Dalam SKPT tanah, batas-batas tanah sama semua. Contoh, tanah sebelah selatan saya berbatasan dengan tanah sebelah utara warga lain. Pokoknya, batas itu hanya selatan, utara, barat atau timur.”
Hamzah mendapatkan Rp45 juta pada pencairan pertama Desember 2014 dan pencairan kedua Januari 2014. Tak hanya tanah, satu rumah tangga yang memiliki anak usia SMP dan SMA ikut mendapat jatah per kepala.
Hamzah juga memiliki anak-anak di SMP dan SMA. Maka total memperoleh Rp90 juta. Uang itu buat bangun rumah baru, dan beli sepeda motor matic.
Pada pencairan pertama Desember 2013, ada 170 keluarga dan tanah dibebaskan 400 hektar. Pencairan tahap kedua di rumah kepala desa, Januari 2014. Kala itu, jumlah keluarga naik jadi 270 keluarga, tanah yang dibebaskan 540 hektar.
Mereka antri mengambil uang dari pukul 8.00 pagi hingga 11.00 siang.
Warga banyak kaya mendadak. Kepala desa, memiliki dua truk dan satu mobil APV. Ada yang membangun kos-kosan dan penginapan. Mantan kades mendapatkan 10 SKPT, dibayar satu surat Rp35 juta oleh perusahaan.
Hamzah tak percaya, lahan 1.000 hektar yang dibebaskan Garuda akan dibangun perumahan Bintang Delapan. Kondisi berbukit-bukit, tak cocok dibangun gedung.
Dalam satu lembar lembar kertas berisi kesepakatan pertemuan pada 20 Juli 2013, tercantum di Desa Labota yang harus dibayarkan perusahaan ada 200 lembar SKPT. Dengan harga satu SKPT Rp45 juta. Jika dijumlahkan Rp45 juta dikali 200 lembar, total uang Rp9 miliar.
Pada lembar itu dijelaskan rincian pembayaran. Tak hanya buat warga Desa Labota. Tertulis juga untuk luar masyarakat Labota, yaitu kecamatan Rp90 juta. Danramil, kapolsek, dan kapolres dapat jatah Rp135 juta. Dinas Kehutanan, Pertanahan, dan Kejaksaan dapat Rp90 juta. Staf bupati Rp45 juta dan aparat desa, BPD, dan kepala dusun Rp90 juta.
Ada satu item tulisan menjelaskan, tamu kepala desa dapat Rp40 juta. Tak ada penjelasan siapa tamu ini. Dari total dana Rp9 miliar itu, tersisa Rp500 juta. Uang sisa itu untuk pembangunan mesjid.
SKPT ini produk Pemerintah Morowali, pada kepemimpinan Anwar Hafid. Kecamatan dan kepala desa memiliki kewenangan mengeluarkan surat ini. Trik ini, modus agar penguasaan lahan-lahan di kawasan hutan oleh perusahaan menjadi lebih mudah.
Andika, aktivis lingkungan Sulteng mengatakan, dalam dua hingga tiga tahun, pemberian SKPT mencolok di sebagian besar desa-desa yang terkena ekspansi tambang. “Kecamatan paling aktif menerbitkan SKPT itu Bahodopi dan Bungku Selatan.”
TIGA November 1999. Ini hari bersejarah bagi Morowali. Pada tanggal itu, daerah ini resmi berpisah dari Kabupaten Poso dan membentuk wilayah administrasi sendiri dengan nama Kabupaten Morowali, ibukota di Bungku.
Dalam peta Sulawesi yang berbentuk huruf K, kabupaten ini tepat berada pada ketiak Sulawesi. Berhadapan dengan Teluk Tolo dan Laut Banda, Maluku. Sebelah selatan Morowali, dekat dengan Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Luas wilayah Morowali 14. 489,62 kilometer persegi. Masih dianggap terlalu luas, pada 2013, kabupaten ini kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali Utara.
Sejak 1999 hingga kini, Morowali dijabat empat orang bupati. Periode pertama, bupati pejabat sementara Tato Masituju. Lalu bupati Andi Muhammad Abubakar, tersangkut kasus hukum dan digantikan wakilnya, Datlin Tamalagi. Pada pilkada 2008, Anwar Hafid terpilih sebagai bupati. Pilkada lagi, Anwar Hafid terpilih kali kedua, hingga kini.
Morowali berarti gemuruh. Konon, nama itu dari orang-orang Wana, suku di Sulteng. Mungkin karena letak di pesisir pantai dan berombak. Dalam sebuah dokumen berjudul “Risalah dari Pontudua,”menjelaskan, masyarakat turunan tokoh Mokole Epe maupun Mokole Ndevolili-Ganda, disebut sebagai leluhur masyarakat asli Bungku, khusus di Bahodopi.
Mereka hidup pada abad 16, yakni tahun 1597 Masehi, ketika raja Bungku pertama dijabat Sangia Kinambuka. Zaman itu seangkatan dengan Sultan Babullah di Ternate, Maluku Utara (1570-1585).
Sejak itu, mereka menjadi penghuni kawasan perbukitan yang meliputi Epe, Pontudua, Mata E’e, Sampala, dan Lere’Ea. Mereka bersepakat mendiami tanah-tanah leluhur beserta tanaman-tanamannya, yakni damar (agathis sp) dan sagu.
Dokumen itu disusun oleh rumpun keluarga Mokole Ndevolili-Ganda di Bahodopi-Bungku, sebagai perlawanan atas perampasan hutan leluhur yang ditanami damar dan pohon sagu, oleh Bintang Delapan.
Dalam dokumen menyebutkan, masyarakat adat memiliki keterikatan kuat pada tanah-tanah leluhur dan sumber daya alam di wilayah itu. Blok V yang dibuka Bintang Delapan, merupakan titik-titik persebaran tanaman damar dan sagu. Kedua tanaman ini memiliki peranan besar dalam menunjang ekonomi mereka sejak masa lampau hingga kini.
Sampai kini, sagu merupakan bahan makanan pokok masyarakat di Bungku. Damar juga menjadi alat penerang bagi suku-suku yang mendiami kawasan itu.
Bintang Delapan masuk membawa perubahan bagi kawasan hutan tempat damar dan sagu. Bentang alam berubah, karena terjadi pembongkaran lapisan tanah penutup pada permukaan bumi untuk mencari nikel. Mata rantai tumbuhan yang dimanfaatkan turun menurun inipun nyaris terputus.
Pertambangan di Morowali, memiliki sejarah panjang. Menurut Andika, fase pertama dimulai sejak abad 17 atau tahun 1600-an. Ketika itu, pemanfaatan bahan-bahan galian mineral sebagai alat-alat perang prajurit kerajaan Mori dan kerajaan Luwu, seperti pedang dan tombak. Pemanfaatan itu secara sederhana dan terbatas.
Fase kedua, dimulai sejak rezim orde lama Soekarno tumbang dan digantikan orde baru, Soeharto. Ketika itu, tahun 1968. Melalui UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, setelah Freeport di Papua, masuklah Rio Tinto dan Inco ke bumi “Tefe Asa Maroso,” julukan Morowali. Kedua perusahaan itu mendapatkan kontrak karya.
“Namun Rio Tinto kurang masif di lapangan dan masih berkutat dalam pusaran kampanye dan persiapan awal pra konstruksi. Hanya Inco yang terus memberikan sinyal aktivitas pertambangan di Bahodopi, Morowali,” kata Andika.
Fase ketiga, babak baru dalam sejarah pertambangan di Kabupaten Morowali. Pengusaha-pengusaha besar asal Tiongkok ikut terlibat. Ketika itu, tahun 2008, daerah diberikan keleluasan menerbitkan kuasa pertambangan (KP). Setahun kemudian, terbit regulasi baru pertambangan, yakni UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Isinya, memberikan otoritas penuh pada bupati mengeluarkan perizinan tambang.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, dari 2009 sampai 2013 ini sudah ada 183 izin tambang di Morowali. Ia terakumulasi hanya pada dua periode kepemimpinan Bupati Morowali. Periode Datlin Tamalagi, tersubur dalam mengeluarkan izin pertambangan, sekitar 120 izin dari kurang lebih 70 perusahaan. Mereka memecah diri dalam berbagai nama berbeda. Masa Anwar Hafid bertambah sekitar 60-an hingga menjadi 183 IUP di Morowali.
Sosok Anwar yang sempat ramai dibicarakan dan menjadi topik hangat di media setelah dikaitkan dengan Angel Lelga, mantan istri siri Rhoma Irama, yang maju menjadi calon legislatif dari PPP. Di dalam data KPU, Angel mencantumkan status menikah dengan Anwar Hafid dan memiliki satu anak.
Angel diangkat Anwar sebagai duta pariwisata Morowali. Artis ini di Jakarta, kerap tampil menampilkan tas-tas berharga selangit seperti Hermes. “Ini investasi.” Begitu dia beralasan.
Dari sekian banyak izin pertambangan itu, sampai 2011, hanya sekitar 15 perusahaan mulai mengeruk di wilayah izin. “Sisanya, hanya alat jualan para broker tambang,” kata Andika.
Perusahaan yang mendapat kemudahan konsesi di era Datlin Tamalagi, berpotensi menciptakan kerugian negara, salah satu Bintang Delapan. Tahun 2010, hitungan sederhana produksi nikel Bintang Delapan mencapai 600 ribu ton. Berdasarkan kapasitas per kapal berjumlah 50 ribu ton dan dikali 12 kali proses pengapalan, Bintang Delapan sudah menelan lahan seluas kurang lebih 20 hektar untuk 12 kali pengapalan.
“Proses itu tidak mendapat pengawalan dan pengawasan ketat dari pemerintah.”
KETIKA menelusuri Kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi, lubang-lubang galian tambang, hutan-hutan gundul, sungai-sungai sampai ke laut berwarna orange. Tumpukan ore juga bak gunung-gunung kecil di tepian pantai, di dekat jetty atau pelabuhan masing-masing perusahaan. Ada yang terbuka. Ada ditutupi terpal. Kala hujan, ore-ore itu makin membuat kondisi air di sekitar tercemar.
Alat-alat berat di beberapa perusahaan masih berjejer di parkiran. Ada yang sudah bersih. Tak ada alat berat lagi. Tak ada aktivitas apa-apa. Perusahaan kabur bergitu saja. Brimob maupun sekuriti masih terlihat bagi perusahaan yang belum menarik alat berat.
Sejak Peraturan Presiden mengenai larangan mengekspor mineral mentah per 12 Januari 2014, alat-alat berat yang sehari-hari menggali tanah, memuat ke truk dan diangkut kapal, tak lagi terlihat. Beberapa rumah warga yang biasa dikontrak menjadi kantor perusahaan juga tampak sepi.
Hanya Bintang Delapan masih ada aktivitas pembangunan pabrik smelter. Itupun tak ada produksi, tetapi menimbun pesisir pantai.
Menurut Rifai dari Jatam Sulteng, setelah pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor pertambangan, perusahaan-perusahaan kecil di Morowali ini ikut morotarium. Durasi izin-izin mereka itu bervariasi. Ada berakhir 2015, ada 2029. Lubang-lubang menganga ditinggalkan begitu saja. Parahnya, tak ada upaya reklamasi baik pemerintah maupun perusahaan.
“Alasan mereka, izin belum berakhir. Karena dana reklamasi itu keluar setelah berakhir izin. Akibatnya perusahaan meninggalkan lubang dan hutan rusak. Jadi tak ada kejelasan mengenai reklamasi pasca tambang,” kata Rifai.
Asep Haerudin, kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan Morowali, mengatakan, Dinas Kehutanan hanya sebatas memonitoring rutin kegiatan tambang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Sulteng.
Menurut dia, satu hal mencolok setelah ada tambang, pencurian kayu menjadi tak terkontrol. “Ada tambang, sekarang jalan mulai dibuka dan makin banyak pencurian kayu. Masyarakat bebas masuk ke kawasan hutan.”
Sampai saat ini, Asep merasa tak ada koordinasi sesama dinas. “Kami tak punya data IUP itu. Harusnya dalam mengeluarkan IUP harus terpadu dengan melibatkan dinas lain. Atau minimal ada surat tembusan. Sekarang tidak ada informasi kami dapat. Yang pegang semua hanyalah Dinas ESDM.”
Kendala mereka di lapangan, kebijakan kawasan hutan tak berada di kabupaten. Rekomendasi dari Dinas Kehutanan provinsi. “Kabupaten hanya pengawasan.”
Aneh lagi, katanya, mereka disuruh monitoring sedang dana hanya sampai di provinsi. Peran mereka juga lemah karena wilayah hanya areal penggunaan lain. “Tapi disuruh awasi kawasan hutan lain.”
Untuk Bintang Delapan, katanya, berada di kawasan hutan produksi terbatas. Namun, lagi-lagi, kata Asep, batas kawasan hutan belum jelas karena sulit menentukan.
“Karena kita pun kadang-kadang sudah melintasi kawasan hutan, tapi tidak ada batas di lapangan. Nah, saat giliran mau dibikin batas tidak boleh, karena kewenangan ada pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan.”
Asep punya cerita kala masuk dan mengawasi kawasan hutan. Ketika itu, sekitar 2008-2009, dia bersama rekan kerja di Dinas Kehutanan akan kontrol kawasan hutan. Saat memasuki wilayah kerja Bintang Delapan, Asep ditahan satpam perusahaan. Alasannya, mereka harus melapor dulu ke manajer perusahaan. Padahal itu, wilayah kehutanan.
Setelah kejadian itu, hubungan mereka dengan Bintang Delapan menjadi baik. Setiap Pemerintah Morowali turun lapangan dibantu oleh perusahaan ini.
“Sebenarnya, kalau mau cerita, Dinas Kehutanan yang paling dirugikan karena aktivitas pertambangan. Kawasan banyak hilang.”
Ketika ditanya hutan mangrove sekitar 20 hektar ditimbun Bintang Delapan dalam pembangunan pelabuhan dan tempat pemurnian nikel, kata Asep, semua wilayah alokasi penggunaan lain. “Artinya, dimungkinkan kegiatan lain.”
“Yang jadi pertanyaan, apakah analisis dampak lingkungan sudah ada atau tidak?’ kata Asep.
Sardin, kepala seksi Amdal Badan Lingkungan Hidup Morowali, mengaku tak tahu menahu mengenai amdal pembabatan hutan mangrove buat menjadi pelabuhan. Dia baru menjabat empat bulan.
Pria ini berusia di atas 50-an tahun. Di ruangan kantor itu tak tampak satupun komputer atau labtop maupun mesin ketik. Ruangan bersih, seperti tak ada aktivitas. Sardin, sebelum ini pernah menjadi kepala kelurahan, dan staf di kantor kecamatan.
“Saya ini jarang turun lapangan. Staf saya yang tahu semua, tapi dia tidak masuk hari ini. Setahu saya, semua proses perizinan perusahaan sudah lengkap.”
Namun, soal amdal Bintang Delapan menimbun mangrove, dia tidak tahu persis. “Coba tanya sama kepala dinas saya, dia pasti tahu. Soalnya sejak awal Morowali berdiri jadi kabupaten, sampai sekarang masih menjabat sebagai kepala kantor.”
Djafar Hamid adalah kepala Kantor Lingkungan Hidup Morowali. Hari itu, menurut seorang staf, dia sedang sakit dan tak masuk kantor. Bersyukur tak berapa lama, sang kepala kantor itu muncul.
Jawaban dari Djafar, Bintang Delapan sudah moncer mengurus semua izin. “Dokumen amdal semua sudah sesuai prosedur. Hutan mangrove yang ditimbun Bintang Delapan juga ada kompensasi. Yaitu ditanami kembali mangrove di tempat lain. Yang menanam LSM lingkungan yang didanai perusahaan. Luas sesuai luas yang ditimbun untuk pembangunan pelabuhan perusahaan,” kata Djafar.
Dari sisi izin lingkungan, Bintang Delapan lengkap semua. Begitupun perusahaan-perusahaan lain yang sudah produksi. Namun dia mengakui mungkin ada cacat pada pengelolaan lingkungan karena tak mengikuti dokumen. Salah satu poin dalam dokumen yang tak dijalankan perusahaan terlihat dari banyak lubang-lubang galian tambang ditinggalkan begitu saja.
Namun, Djafar seakan memaklumi perusahaan. “Proses reklamasi butuh waktu lama. Dana itu ada yang namanya jaminan reklamasi perusahaan. Namun pelaporan bukan pada Kantor Lingkungan Hidup.”
Perusahaan yang meninggalkan galian itupun, katanya, tidak tutup, hanya berhenti sementara. “Sambil menunggu mungkin ada kebijakan baru.”
Bagi Andika, pernyataan Djafar ini menunjukkan pengetahuan dan pengawasan jajaran pemerintah Morowali, lemah dalam menjaga lingkungan. Penanaman kembali hutan mangrove yang diserahkan pada pihak ketiga oleh Bintang Delapan, ternyata tidak jelas. Proyek itu dipercayakan pada salah satu “lembaga peduli lingkungan” di Morowali, milik kontraktor lokal bernama Santi.
“Penanaman kembali itu menghasilkan ciri khas proyek yang mewakili kebiasaan buruk kontraktor. Lembaga yang mengaku pecinta lingkungan ini memanipulasi penanaman bakau dengan hanya menanam tangkai bakau di sepanjang Pantai Fatufia.”
Pekerjaan serba manipulasi. Petani yang dipekerjakan sebagian honor belum dibayar. Pengusaha muda itu melarikan diri. Dia meninggalkan setumpuk masalah bagi seorang petani setempat yang menjadi orang kepercayaan.
Para petani sempat mengeluh pada Bintang Delapan, tetapi perusahaan tak mau bertanggung jawab. Alasannya, proyek itu sudah diserahkan kepada pihak ketiga. Anggaran pun sudah diberikan.
Hiruk pikuk persoalan tambang ternyata tak ditangkap cepat oleh DPRD Morowali. Bahkan, para wakil rakyat ini bilang kurang informasi seputar carut marut tambang di kabupaten ini.
Aminudin Awaludin, Wakil Ketua DPRD Morowali, mengatakan, kantor wakil rakyat itu sangat kekurangan informasi. Ketika rapat dengar pendapat, kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, selalu tak bisa hadir dengan alasan tugas ke Jakarta. Sedang yang mewakili hanya kepala bidang, namun tidak bisa menjawab pertanyaan anggota dewan.
“Kami tidak memiliki validasi data yang rinci soal pertambangan di Morowali. Padahal kondisi lapangan tidak sesuai. Sebenarnya sudah dibentuk pansus pertambangan, namun hasil akan diketahui setelah pemilu.”
Aminudin dari Partai Bulan Bintang. Kala di ruang kerja itu, dia tidak sendirian. Salah seorang rekannya, pria berambut cepak, dengan kaos oblong bersimbolkan militer.
“Sebenarnya DRPD Morowali sudah membentuk Perda Pertambangan yang mengatur semua,” kata Aminudin.
Namun Perda Pertambangan yang disebut Aminudin ternyata belum ada. Ni Wayan Endang, staf pegawai di Biro Hukum Kabupaten Morowali mengatakan, belum ada, masih tahap penggodokan. “Masih bentuk rancangan saja.”
LAPANGAN Marsaoleh di Bungku, penuh oleh manusia pada Rabu sore, 26 Maret 2014. Anak-anak, ibu-ibu, dewasa tua maupun muda, tumpah ruah. Mereka mengenakan kaos seragam berwarna biru.
Di pinggir lapangan terpancang baliho-baliho dengan sketsa-sketsa wajah tersenyum manis. Di arah tribun, berdiri panggung dihiasi bendera-bendera berwarna biru dan salon musik besar. Dari salon itu, bergema musik seolah menuntun manusia-manusia itu berjoget ria.
Tak berapa lama, musik terhenti. Sorak-sorai masih terdengar. Pengeras suara dipandu seorang laki-laki dan perempuan itu lalu memanggil sebuah nama untuk maju ke pentas. Dialah Anwar Hafid, Bupati Morowali. Berpakaian necis. Kemeja putih lengan pendek, celana hitam. Sepatu mengkilat. Kepala terlindung kopiah hitam.
Dia berorasi politik. Ini masa kampanye pemilu legislatif 2014 memasuki pekan ketiga, sebelum masa tenang. Anwar Hafid ketua umum Partai Demokrat di Sulteng.
Anwar melempar senyum. Banyak pendukung mengerumuni.
Keadaan ini selaras dengan Morowali. Banyak investor mengerumuni. Sumber daya alam dan mineral berlimpah. Banyak janji-janji diumbar pemerintah dan pengusaha atas kehadiran mereka: demi kesejahteraan dan kemakmuran warga. Padahal semua itu hanya buaian janji manis. Tak beda dengan janji surga para politikus kala berkampanye. Satu yang pasti, sebagian warga tengah merasakan kesulitan hidup…