Mongabay.co.id

Merajut “Tenunan Porak Poranda” Lewat Inkuiri Adat

Pelanggaran hak-hak masyarakat adat selama ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Namun, tak pernah diselidiki menyeluruh sebagai pelanggaran HAM massif. Inkuiri nasional digagas. Namun, upaya ini bukan ajang balas dendam, tetapi mencari jalan rekonsiliasi. Bak, usaha merajut tenunan yang sudah porak poranda menjadi indah.

“Kalau kami dianggap warga negara Indonesia harusnya bisa mendapatkan hak sama. Apa itu kata merdeka? Katanya, sudah 60 tahun lebih merdeka, kami tak mengenal. Maka kami belum ada yel-yel. Hotu yeeee… Kami tak ada. Karena kami tak mengerti apa itu merdeka…Jangankan bantuan, pengakuan saja sulit. Kami dianggap orangutan…”

Begitu ‘curhat’ Datuk Pekasa, Edi Kuswanto selaku kepala adat, kala berbicara saat launching inkuiri nasional di Komnas HAM, di Jakarta, Selasa (20/5/14).

Datuk Pekasa tak pernah merasakan merdeka karena hingga kini komunitas mereka masih dalam teror negara. Mereka yang hidup turun menurun di Lunyuk, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini tak bisa hidup tenang. Beberapa kali kampung mereka dibakar.

Mereka telah berjuang mempertahankan wilayah sejak lama. Pada 1955, sudah terjadi penggusuran tetapi mereka bertahan. Kejadian terulang pada 1974, rumah-rumah dan lmbung padi masyarakat adat Pattassa, dibakar. “Tinggal batu rumah selain itu habis.”

Era reformasi ternyata tak mengubah nasib mereka. Teror dari pemerintah terus datang. Warga diminta hengkang dengan alasan berada di hutan lindung. Belakangan, Dinas Kehutanan menyatakan, kalau desa mereka berada di atas emas.

Bahkan, orangtua Datuk Pekasa meninggal dunia tak berapa lama setelah terkena tembakan. Enam puluh hari setelah itupun Edi ditangkap atas tuduhan penebangan ilegal.

Pada 2011,  Dinas Kehutanan provinsi datang dan memberi batas waktu seminggu harus mengosongkan kawasan itu.

“Atas dasar apa?” tanya Edi.

“Karena kalian bikin rumah di atas emas?”

Dia heran, demi mendapatkan keleluasaan menguras emas di wilayah warga, pemerintah berupaya melakukan apapun.

“Kami tak mengerti ada emas. Kami hanya mau mengelola tanah adat kami turun menurun. Di sana ada kebun, kemiri dan ada tempat ritual, telaga padi,” ujar dia.

Kala itu, warga diberi kesempatan memilih lokasi baru. Bahkan tiap keluarga ditawari Rp500 juta agar pindah.

“Banyak saksi saat itu. Saya setuju. Ok, tanda tangan di atas meterai R6.000 dan pindah di tempat layak. Saya siap tukar dengan Bandara Sumbawa. Kalau setuju mari tanda tangan…”

Edi sengaja mengatakan, mau pindah asal ke Bandara Sumbawa karena itu pilihan hampir mustahil disepakati pemerintah. “Kalau mereka setuju, bisa habis semua kantor-kantor pemerintah jadi kampung kami.”

Kasus komunitas Pekasa, hanya salah satu dari ratusan potret miris keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Konflik-konflik agraria muncul di berbagai tempat, terutama di kawasan hutan.

Angin segar pengakuan hak adat lewat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 yang menyatakan, hutan adat bukan hutan negara, telah keluar pada 16 Mei 2013. Namun, baru sebatas keputusan tanpa implementasi. Konflik-konflik lahan di lapangan terus terjadi.

Dengan putusan MK ini, masyarakat adat berharap mendapatkan hak mereka hingga hutan-hutan tempat hidup mereka tak terampas seperti sekarang. Foto: Walhi Kalbar

Menyikapi masalah inilah, Komnas HAM pun berinisiatif mengadakan inkuiri nasional hak-hak masyarakat adat. Inkuiri ini,  salah satu upaya membongkar pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami masyarakat adat di kawasan hutan secara serentak di berbagai penjuru negeri.

“Kegiatan ini bisa menjadi kontribusi bangsa buat kebaikan bagi semua warga,” kata Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM.

Menurut dia, kondisi kini sudah parah. Konflik agraria dialami masyarakat adat terjadi di mana-mana. Jadi, inkuiri nasional ini ibarat merajut tenunan yang porak poranda menjadi tenunan indah.

“Berharap proses ini bisa berkontribusi pada penyelesaian masalah. Hingga mampu fasilitasi korban buat mendapatkan keadilan.”

Yossa Nainggolan, koordinator pelaksana inkuri nasional Komnas HAM mengatakan, sudah diseleksi 42 masyarakat adat dalam tujuh wilayah, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa dan Papua. “Ini menyebar. Lalu di Jakarta juga akan dilaksanakan setelah di tujuh region,” katanya.

Pada tujuh wilayah ini, kata Yossa, akan disiapkan kesaksian publik (public hearing).  “Ini kerjaan besar. Komnas HAM dalam inkuiri nasional ini tak bisa kerja sendiri. Perlu dukungan banyak pihak.”

Yossa mengatakan, ikuiri ini, untuk public hearing, dilakukan dalam sembilan bulan. “Di sana semua pihak diundang. Mereka buat kesaksian seperti sidang rakyat kecil. Inkuiri komisionar nanti akan panggil para saksi korban dan pihak terlibat, bisa pelaku.”

Mengapa Komnas HAM yang menggagas inkuiri nasional? Kata Yossa, kewenangan Komnas HAM mumpuni untuk melakukan itu. Komnas HAM, mempunyai kewenangan memanggil berbagai pihak juga memiliki fungsi pengkajian, mediasi, penyuluhan dan pemantauan sampai penyelidikan.

“Fungsi-fungsi ini akan diaktifkan dalam inkuiri nasional. Jangan bayangkan itu cuma penyelidikan, tapi kegiatan lain terintegrasi.”

Tujuan dari inkuiri ini, publik mendapatkan informasi jika ada pelanggaran HAM sistematik dan massif menimpa masyarakat adat. Lalu, ada rekomendasi-rekomendasi penyelesaian. Nanti, katanya, tim akan menyiapkan profil-profil masyarakat adat beserta kasus yang menimpa. “Kasus-kasus ini ketat dipilih dan melihat pola pelanggaran HAM khusus di kawasan hutan.”

Arimbi Heroepoetri, komisioner Komnas Perempuan mengatakan, lembaga mereka mendukung inkuiri nasional. “Ini buat lihat secara konprehensif masalah hukum adat. Kami juga rasa negara ini lalai untuk urus masyarakat hukum adat,” katanya.

Dengan inkuiri ini, akan terlihat juga pelanggaran hak-hak perempuan adat. “Karena bicara hak-hak perempuan itu kadang pelaku tak tahu kalau melanggar, bahkan korban ada yang tak tahu hak mereka sudah dilanggar.“

Namun, kata Arimbi, nasional inkuiri ini baru tahap awal dalam penyelidikan pelanggaran HAM masyarakat adat.

Wilayah masyarakat adat, 70 persen hutan terjaga. Karena mereka hidup bergantung dari hutan. Foto: Greenpeace

Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, nasional inkuiri ini setidaknya bisa melihat skala konflik agraria di wilayah masyarakat adat yang menimbulkan pelanggaran HAM. “Kalau kasus ini besar, semua udah tahu. Banyak warga meninggal, sudah tahu, ratusan masuk penjara, sudah tahu.”

Namun, yang baru diketahui ini sebagian kecil dari skala sesungguhnya. “Jadi yang kami ingin tahu dari inkuiri nasional, sebenarnya skala sebesar apa sih?

Dengan kata lain, ucap Abdon, inkuiri nasional ini untuk menghadirkan masyarakat adat dalam negara . “Tapi tak dalam bentuk konflik. Selama ini, pemerintah seakan tak tahu masyarakat adat sebelum ada konflik.”

Upaya pengungkapan pelanggaran-pelanggaran HAM ini, katanya, bukan dalam suasana balas dendam. Namun, buat ungkap kebenaran-kebenaran itu lalu rekonsiliasi.

Rekomendasi inkuiri ini, katanya, harus disampaikan ke pemerintahan baru. “Ini satu jalan rekonsiliasi negara dengan masyrakat awam.”

Namun, sebelum itu AMAN juga mengirimkan surat kepada calon Presiden berisi beberapa poin salah satu meminta rekomendasi inkuiri nasional dijalankan. “Kalo ga komitmen tak layak dipilih. AMAN mengirimkan surat itu beberapa hari lalu ke Capres Joko Widodo.”

Dia mengatakan, poin usulan lain ke Capres Jokowi, jika terpilih harus memastikan RUU Masyarakat Adat menjadi UU dan dijalankan. Setelah UU disahkan,– ada atau tidak di dalam UU– harus dibentuk komisi masyarakat adat, bisa di bawah langsung Presiden.

Keberpihakan

Ahmad Sodiki, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan, wilayah adat ini wilayah khusus, jadi harus diperlakukan khusus. “Harus ada jaminan konstitusi. Harus ada keberpihakan pada mereka. Mereka berada pada tingkatan paling rawan. Hukum harus memihak mereka,” katanya.

Pemihakan pada masyarakat adat, harus dilakukan bersama-sama. Sebab, kalau hukum tak berpihak, akan terjadi jurang lebih dalam.

Sebenarnya, kata Sodiki, masyarakat adat sudah diakui dan UUD 45, seperti tercantum pada Pasal 18. Negara wajib melindungi mereka. “Bagaimanapun, mengingkari hak-hak mereka justru mengingkari Pancasila dan kebhinekaan tunggal ika. Jadi kewajiban negara lindungi mereka. Ini kewajiban tak bisa diingari atau ditawar-tawar lagi.”

Namun, di lapangan, sebaik apapun UUD seringkali ditelikung UU sendiri. Sodiki merujuk pada UU Kehutanan yang diuji kembali hingga keluarlah putusan MK 35, hutan adat bukan bagian hutan negara.

“Mungkin UUD sudah bagus, justru UU dibawahnya yang gembosi UUD itu sendiri. Jadi MK harus selaraskan ketentuan itu hingga senafas dengan ide dasar negara Pancasila.”

Dia menilai, pengingkaran hak-hak adat dalam UU turunan UUD seperti UU Kehutanan itu salah satu karena sudah masuk kepentingan. “Kerika dibahas, UU Kehutanan itu sudah masuk kepentingan-kepentingan terentu untuk merebut hak-hak adat itu sendiri,” katanya.

Exit mobile version