Artis dan Pejabat Hobi Pelihara Satwa Dilindungi, Turut Memicu Kepunahan

Indonesia dengan status negara mega biodiversity, menjadi surga berbagai jenis satwa dan tumbuhan yang eksotis dan endemis. Akan tetapi keberadaan satwa dan tumbuhan tersebut semakin terancam karena berbagai hal seperti makin rusaknya hutan sebagai habitat mereka, sampai dengan perburuan dan perdagangan ilegal.

Terkait perdagangan ilegal satwa dilindungi, kejadian paling update  adalah penggerebegan oleh tim Mabes Polri bersama Centre for Orangutan Protection (COP) dan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) di rumah pedagang di daerah Serpong Tangerang, Banten pada Rabu kemarin (25/06/ 2014). Dalam penggrebekan ini tim mengamankan seekor elang ular bido (Spilornis Cheela), seekor elang hitam (Ictinaetus malayensis), dua ekor alap-alap sapi (Elanus Caeruleus) dan satu ekor lutung jawa (Trachypithecus auratus) dalam satu lokasi.

Kordinator Animal Rescue COP, Hery Susanto mengatakan pedagang ini merupakan spesialis pedagang online dengan pelanggan yang cukup banyak.“ Tim sudah memantau lama pedagang ini karena dagangan yang di jual belikan sangat mencolok karena menjual dagangan satwa liar dalam kategori satwa yang dilindungi,” katanya.

Pedagang menjual satwa  tersebut ke kolektor atau penghobi satwa dengan kisaran harga Rp. 800.000 sampai dengan Rp.2.000.000 tergantung jenis dan tingkat langkanya satwa yang di jual, karena semakin langka harga akan semakin mahal.

Sementara Tim Rescue dari JAAN, Benvika mengatakan para kolektor dan penghobi satwa punya andil besar dalam laju kepunahan satwa liar di alam, karena permintaan mereka membuat rantai kejahatan perdagangan satwa terus terjadi.

“Pedagang akan terus memperjualbelikan ketika ada pesanan atau permintaan dan pedagang akan memesan kepada pemburu dan para pemburu akan terus menangkap dari alam sehingga bisa di pastikan laju kepunahan satwa liar dialam akan tak terbendung lagi ketika mata rantai kejahatan ini terus terjadi,” katanya sambil menambahkan perlunya upaya penegakan hukum untuk menekan perdagangan satwa dilindungi.

Sedangkan Pengurus Forum Harimau Kita, Hariyawan Agung Wahyudi melihat maraknya perdagangan satwa dilindungi dikarenakan beberapa penyebab, yaitu masyarakat banyak yang tidak tahu daftar satwa yang dilindungi sebagaimana tercantum dalam lampiran Peratuarn Pemerintah No.7 / 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Sehingga sosialisasi kepada masyarakat tentang larangan memelihara dan berburu serta memperdagangkan satwaliar.

“Maraknya perdagangan juga dipicu oleh trend akibat orang-orang terkenal memelihara satwa dilindungi entah itu artis, politisi atau bahkan pejabat,” katanya.

Faktor belum diarusutamakannya masalah lingkungan seperti halnya politik, juga berpengaruh. “Pemerintah Indonesia masih setengah hati dalam melaksanakan agenda-agenda lingkungan, terutama perlindungan keragaman hayati,” jelas Hariyawan yang lebih akrab dipanggil Yudhi.

Lemahnya penegakan hukum juga turut berpengaruh terhadap perdagangan satwa. “Petugas tidak benar-benar bekerja di lapangan dalam menindak para pelaku, baik individu maupun jaringannya,” jelasnya.

Yudhi menyoroti ancaman maksimal dalam UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, yang masih sangat rendah yaitu hukuman kurungan maksimal 5 tahun dengan denda Rp. 100.000.000,-. “Seringkali hakim menghukum kasus-kasus perdagangan satwaliar sangat rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku,”katanya.

Senada dengan Benvika dan Yudhi, Gunawan dari Perkumpulan Suaka Elang mengatakan perdagangan satwa dilindungi, termasuk elang, masih sangat marak dijumpai akibat lemahnya penegakan hukum terhadap para pedagang dan pemelihara satwa tersebut.

“Hukuman yang relatif ringan, bahkan kadang tidak ditegakkan karena dianggap sebagai penyerahan sukarela, menjadikan tidak adanya efek jera dari para pedagang dan pemelihara tersebut. Ditambah lagi pandangan masyarakat umum yang menganggap bahwa kejahatan terhadap satwa liar bukan sebuah kejahatan serius, maka para penegak hukum terkesan kurang serius untuk menegakkan aturannya,” jelasnya.

Maraknya perdagangan elang, dipengaruhi makin menjamurnya komunitas penghobi pemelihara elang (falconry) yang jelas bertentangan dengan hukum, tanpa tindakan nyata dari aparat. Permintaan elang dari falconry, jelas meningkatkan penjualan dan perburuan. Bahkan penjualan mulai dilakukan dengan cara online.

Rantai kejahatan perdagangan satwa itu membuat kondisi elang di Indonesia makin terancam, apalagi ditambah maraknya penggunaan senapan angin, selain berkurangnya hutan sebagai habitat alami elang.

Gunawan melihat penegakan hukum sangat perlu dilakukan terhadap para pemburu, pedagang dan pemelihara satwa dilindungi agar dapat memberikan efek jera.

Kondisi Elang Brontok yang berhasil diselamatkan dari warga. Foto: Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta
Kondisi Elang Brontok yang berhasil diselamatkan dari warga. Foto: Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta

Agenda Mendesak

Yudhi melihat ada agenda mendesak untuk mengurangi perdagangan satwaliar, yaitu melakukan amandemen UU No. 5/1990, terutama terkait hukuman maksimal dan nilai dendanya. “Selain itu, lampiran PP nomor 7 tahun 1999 juga harus direvisi karena justru banyak sekali spesies yang belum dilindungi kondisinya sudah sangat terancam di habitat aslinya,” jelasnya.

Peningkatan pemahaman tentang konservasi kepada para penegak hukum, baik polisi, jaksa maupun hakim sangat penting agar tidak ada lagi vonis yang sangat rendah akibat ketidakpahaman penegak hukum terhadap pentingnya konservasi.

Hal yang juga sangat memungkinkan dilakukan, lanjutnya, adalah memberikan shock therapy” terhadap para pelaku perdagangan satwaliar dilindungi. “Saat ini sangat mudah sebenarnya menemukan jaringan mereka melalui media sosial. Mereka begitu bebasnya mengupload foto-foto satwa koleksi mereka dan menawarkan kepada anggota group. Jika memang ada kemauan dari para penegak hukum, menangkap ratusan bahkan ribuan kriminal kejahatan satwaliar adalah hal mudah karena identitasnya sangat jelas,” pungkasnya.

Pada akhirnya, perdagangan satwa liar dan dilindungi akan memicu kepunahan spesies satwa tersebut, bila tidak ditangani dengan serius.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,