Mongabay.co.id

Penelitian: MP3EI Perluas Krisis Sosial dan Ekologi, Mengapa?

Komnas HAM, bulan lalu mengeluarkan kajian yang memperlihatkan, materplan percepatan, pemerataan dan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) sejak awal sudah mengabaikan aspek-aspek hak asasi manusia. Lembaga negara itupun merekomendasikan perombakan total.

Disusul penelitian Sajogyo Institute 2014, dengan mengambil sampel di beberapa daerah, antara lain, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua, menunjukkan, program andalan pemerintah ini banyak menimbulkan masalah sosial dan lingkungan di Indonesia. Program ini digagas era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang dimotori Menteri Perekonomian kala itu, Hatta Rajasa. Ia mulai dirilis 2011.

Dari penelitian berjudul Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis-Sosial-Ekologi Indonesia itu, terlihat, MP3EI,  hanya sebuah desain pembangunan yang sejak awal dibuat melalui konsultasi, diskusi dan partisipasi dunia bisnis maupun pemilik korporasi raksasa. Ia diciptakan mempermudah kalangan pebisnis berinvestasi di Indonesia.

Noer Fauzi Rachman, peneliti utama penelitian ini mengatakan, MP3EI dalam praktik menciptakan masalah sosial ekologi yang meluas dan mendalam. Program ekonomi hijau yang didengung-dengungkan pun hanya bual.

Sebenarnya, dalam menjalankan pembangunan, Indonesia telah memiliki rencana pembangunan, salah satu rencana pembangunan jangka menengah (RPJM). Namun, dengan pembentukan MP3EI ini, organisasi pemerintahan diubah sedemikian rupa hingga anggaran teralokasi ke sana.

“Presiden bikin peraturan pemerintah dan mengalokasikan dana. Dana rakyat diorganisisr ulang buat pelaksanaan proyek-proyek MP3EI. Padahal, ini cuma reorganisasi dari proyek-proyek para  pemilik modal besar,” katanya dalam diskusi di Jakarta, pekan terakhir Juni 2014.

Cara kerjanya, membuat koridor-koridor ekonomi di berbagai daerah dengan tujuan menghasilkan produk-produk buat dipasok ke pasar global. Bahan-bahan yang dikeruk, katanya, dari kekayaan alam Indonesia, gas alam,  batubara, sampai produk perkebunan seperti  kakao dan sawit.

Dia mencontohkan, proyek di Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang merampas lahan-lahan ulayat masyarakat Papua. “Proyek ini sekarang dikenal di dunia internasional, sebagai perampasan tanah global terbesar yang terjadi setelah reformasi Indonesia.”

Dengan membawa jargon buat pasokan pangan Indonesia dan dunia,  pertanian pangan keluarga yang skala kecil hilang, berganti perusahaan-perusahaan pangan raksasa (rice estate). “Bahkan kini, rice estate pun tak ada, berganti tebu.”

Proyek rakus lahan inipun menebangi hutan-hutan alam Papua. Tak hanya kayu-kayu besar yang ditebang, pohon-pohon hutan yang kecilpun tak luput dari sasaran.

“Pohon-pohon  ditebangi, dikuliti oleh pengupas kayu. Kayu ini diubah jadi wood pellet dan diekspor. Ini contoh nyata bagaimana kekayaan alam berubah menjadi komoditi global,” ujar dia.

Apa yang diperoleh masyarakat adat?  Menurut dia, mereka makin terjepit,  tersingkir dari lahan hidup. Di bisnis raksasa itu, warga lokal hanya menjadi pekerja kasar alias buruh.  “Wilayah adat jadi bagian konsesi raksasa ini. Sebagian mereka terserap, sebagian kehilangan kekayaan.”

Dian Januardy, dari Sajogyo Institute mencontohkan, di Kalsel ditemukan MP3EI berdiri di atas pemberian konsesi pada perusahaan besar. “Ruang hidup rakyat terampas.  Juga habisi daerah aliran sungai, ciptakan perampasan tanah. Bahkan banyak pengusiran tenaga kerja,” katanya dalam diskusi di Jakarta, awal Juni 2014.

Belum lagi, penghancuran pulau-pulau kecil dan ekosistem laut serta menyingkirkan nelayan maupun petani. “Jadi terjadi fenomena warga, no land, no job dan no social security.”

MP3EI, katanya,  sebenarnya bukan ‘produk’ pembangunan yang berdiri sendiri. “MP3EI ini ada induk, Comprehensive Asia Development Plan.  Ini desain spasial infrastruktur ekonomi,” katanya.

Semua itu, terkait dengan pemenuhan kebutuhan pasokan produk dunia. Ia diawali dari masalah-masalah internasional, seperti krisis-krisis overakumulasi, terutama krisis dari AS dan Eropa. Juga terjadi pergeseran georgafi produksi para pemodal.

Sejak 1990an, Asia Timur menjadi pusat dari akumulasi-dunia. Total formasi kapital di seluruh Asia Timur dalam kurun waktu 1990-1996 meningkat 300%, . Sedang di Amerika Serikat dan Jepang, hanya nasik sekitar 40%, dan seluruh Eropa cuma 10%.

Sejak 2010, pada level Asia, berbagai inisiatif pembangunan, disuarakan sebagai pembangunan infrastruktur. Menurut Dian, dimulai sejak Oktober 2010, ERIA mempublikasikan Comprehensive Asia Development Plan (CADP) dan Master Plan on Asean Connectivity untuk kerangka inisiatif pembangunan infrastruktur.

Masyarakat adat di Maluku Utara aksi meblokade jalan yang dibuat PT Weda Bay Nickel di lahan adat. Foto: AMAN Maluku Utara

Pada 2009, ERIA melalui Boston Consulting Group menyelesaikan penelitian tentang Indonesia Economic Development Corridors (IEDCs).  “Kata kunci konektivitas dan hasil riset IEDCs diadopsi dan digunakan Koordinator Kementerian Urusan Ekonomi untuk menyusun MP3EI.”

Noer Fauzi menambahkan, Indonesia, hanya menjadi tempat produk-produk internasional, dan investasi asing masuk dengan mendapatkan kuntungan luar biasa. “MP3EI ini hanya memperkuat kutukan kolonial.  Ke depan, bagaimana pemimpin nasional bersikap agar kutukan kolonial tak berlanjut.”

Melihat latar belakang pembentukan MP3EI, katanya, hanya memakai peraturan presiden, maka keberlanjutan dari program inipun tergantung pemimpin baru nanti. Dia berharap, pemimpin baru  bisa melihat ulang program yang banyak memunculkan masalah dalam pelaksanaan di lapangan.

Dampak bagi masyarakat adat

Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

mengatakan, meskipun Indonesia sudah merdeka, dalam kenyataan baru setengah mereka. Mengapa? Sebab, masih banyak rakyat yang belum merdeka. “Ini yang terjadi di masyarakat adat. Proses kolonialisasi jalan terus.”

Era orde baru, katanya, wilayah masyarakat adat sudah diambil buat perusahaan-perusahaan dengan menggunakan alat militerisme atas nama pembangunan. “Masa reformasi berusaha untuk lepas dari itu dengan ada demokrasi, ternyata masih ada program seperti MP3EI ini,” katanya.

Dia khawatir, saat ini saja wilayah-wilayah adat sudah dikuasai perusahaan, apalagi saat MP3EI berjalan massif  bisa menjadi ancaman besar bagi kelangsungan hidup masyarakat adat.

“Ini fakta di lapangan. Makin kaya wilayah masyarakat adat, makin banyak perusahaan, makin besar datangnya kutukan penjajahan itu. Di lokasi masyarakat adat yang kaya, terjadi kemiskinan yang luar biasa, pelanggaran HAM tinggi dan penyingkiran masyarakat.

Menurut Abdon, Indonesia sedang mencari pemimpin baru. Jadi, momen ini bisa menjadi peluang bagi perlindungan masyarakat adat dari ancaman dampak buruk MP3EI.  Yakni, kata Abdon, dengan memilih figur-figur yang tak menjadikan MP3EI program andalan mereka.

“Dengan pilpres ini, ruang yang sudah 16 tahun tersedia,  bisa lebih kuat, bisa juga terhenti. Ini sebenarnya upaya pembebasan dari jajahan bangsa sendiri.” (Bagian akhir dari dua tulisan)

Penelitian dengan peneliti utama Noer Fauzi Rachman PhD dan Mia Siscawati PhD ini disusun atas kontribusi Sojogyo Institute, Dian Yanuardy, Swanvri, Muntaza dan Didi Novrian; Lembaga Informasi Perburuan Sedane,  Bambang T Dahana, Abu Mufakhir dan Syarif Arifin. Lalu Hutan Rakyat Institute, Kartina Manurung, Hotler P Sitorus dan Saurlin Siagian; Walhi Kalimantan Selatan, Dwitho Frasetiandy; Walhi Maluku Utara, Fahruddin Maloko; Jatam, Andika dan Perkumpulan Pikul, Torry Kuswardono.

Kawasan hutan yang kini rata dengan tanah tempat galian nikel perusahaan di Morowali, Sulawesi Tengah. Sebelum itu, di kawasan ini menurut warga banyak pohon sagu dan juga tempat masyarakat mencari damar. Foto: Christopel Paino
Exit mobile version