Mongabay.co.id

Mimpi buat Cagar Biosfer Lore Lindu

Bagi para wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Tengah, tak lengkap bila tidak datang Taman Nasional Lore Lindu. Kawasan ini memiliki florafauna endemik Sulawesi dan panorama alam yang berjuta pesona.

Di kawasan ini, setidaknya ada 117 jenis mamalia, 88 jenis burung, 29 jenis reptilia, dan 19 jenis amfibia. Lebih dari 50% satwa endemik Sulawesi. Ada kera tonkean (Macaca tonkeana tonkeana), babirusa (Babyrousa babyrussa celebensis), tangkasi (Tarsius diannae dan T. pumilus) dan  kuskus (Ailurops ursinus furvus dan Strigocuscus celebensis callenfelsi).

Ada juga maleo (Macrocephalon maleo), katak Sulawesi (Bufo celebensis), musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii musschenbroekii), tikus Sulawesi (Rattus celebensis), kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus), ular emas (Elaphe erythrura), dan ikan endemik di Danau Lindu (Xenopoecilus sarasinorum).

Kawasan itu juga memiliki obyek wisata andalan tersebar di sepanjang Taman Lore Lindu. Ada obyek wisata bird watching di Padeha, air terjun Wuasa dan Kolori, air panas Watumaeta dan Lengkeka. Juga, camping ground di Wuasa, arung jeram di Sungai Lariang, Gintu.

Ditambah lagi, batuan-batuan situs Batu Megalith tersebar di lembah Bada dan Besoa. Wisata budaya etnik lokal di Lembah Napu dan Bada yang unik. Bagi yang ingin berkunjung tempat ini bisa perjalanan darat sekitar 3,5 jam dari Palu atau 1,5 jam dari Poso.

Daerah ini secara administratif di dua kabupaten,  yakni Sigi dan Poso atau 60 kilometer selatan Palu, tidak jauh dari Danau Poso.

Tak hanya tempat wisata, kawasan ini mempunyai peran penting sebagai daerah tangkapan air dan pengendali bencana. Ada dua daerah aliran sungai (DAS), Gumbasa dan Lariang. Ia bernilai ekonomi besar bagi pengairan sawah dan kebutuhan sehari-hari.

Lore Lindu sejak 1977 ditetapkan Unesco sebagai cagar biosfer jauh sebelum penetapan sebagai taman nasional oleh pemerintah Indonesia.

Maleo, salah satu spesies endemik di LN Lore Lindu. Foto: Burung Indonesia

Pengelolaan DAS

Belakangan, Lore Lindu, mendapat perhatian khusus pemerintah lewat studi kelayakan (feasibility study) pengelolaan DAS terpadu dan konservasi keragamanhayati kerja sama pemerintah Indonesia dan Jerman. Kegiatan ini didukung dana Jerman 13,5 juta Euro dan Indonesia 3,5 juta Euro.

“Saya berharap pengembangan Lore Lindu sebagai kawasan konservasi ekosistem daratan. Secara internasionalpun diakui Unesco,” kata Sudarto, wakil Gubernur Sulteng, belum lama ini.

Dia berharap, kerjasama tidak hanya menjadi bagian penyelamatan lingkungan, juga pola pemanfaatan hutan secara baik dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar.

Achmad Rizal, koordinator nasional tim studi kelayakan, mengatakan, mereka memberikan perhatian khusus pada cagar biosfer ini karena mempunyai keterkaitan antara alam dan manusia.

Dengan proyek yang berlangsung selama tujuh tahun ini, katanya, tim pemerintah Indonesia dan Jerman akan merevitalisasi cagar biosfer agar terangkat ke permukaan.

Dia mencontohkan, di Jerman ada kawasan tertinggal begitu menjadi cagar biosfer Unesco, lokasi itu menjadi tempat wisata paling terkenal dan banyak pengunjung. Hal semacam itulah, katanya, yang menjadi mimpi bagi tim ini.

“Kita mempunyai rencana menjadikan Lore Lindu kawasan pengembangan ekonomi hijau. Ada industri, ada konservasi tetapi dua-dua berjalan simultan dan harmoni, disebut ekonomi hijau.”

Studi kelayakan ini, kata Achmad, bertujuan menganalisis berbagai potensi atau pilihan kegiatan rehabilitasi DAS dan konservasi keragamanhayati sebagai bagian strategi implementasi REDD+ di Sulteng.

Adapun kelompok sasaran, katanya, masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar Lore Lindu serta masyarakat dhuafa dan perempuan.

“Desain proyek tidak sekadar bantuan tetapi masyarakat mendapatkan manfaat dan memiliki keinginan berpartisipasi dalam penatagunaan lahan serta kegiatan-kegiatan perlindungan hutan.”

Untuk lokasi proyek pertama di Sub DAS Miu, Gumbasa, Bambamoa, dan beberapa Sub DAS sebelah timur di Poso, dan DAS Lariang.

Masyarakat Dongi-dongi yang menempati kawasan Taman Nasional Lore Rindu. Foto: Syarifah Latowa
Exit mobile version