Mongabay.co.id

Riset Terbaru Temukan Deforestasi Indonesia Tinggi, Apa Kata Kemenhut dan BP REDD+?

Tampaknya Kementerian Kehutanan kebakaran jenggot dengan riset terbaru yang dipublikasikan jurnal online ilmiah Nature Climate Change (29/6/14). Dalam riset itu menyebutkan, kehilangan hutan alam primer tropika Indonesia terus berlangsung . Bahkan, Indonesia, kehilangan hutan primer tercepat di dunia.

Studi Belinda Margono dan Hansen cs ini menyatakan, periode 2000 – 2012, Indonesia kehilangan 6,02 juta hektar hutan primer, rata-rata pertambahan kehilangan 47,6 ribu hektar per tahun. Pada 2012,  diperkirakan Indonesia kehilangan 0,84 juta hektar hutan primer atau setara dua kali laju kehilangan Brasil dalam waktu sama (0,46 juta hektar).

Dari kehilangan 6,02 juta hektar hutan primer tropis dalam 12 tahun, 3,04 juta hektar terjadi di hutan dataran rendah,  dimana 2,60 juta hektar atau 43% di lahan basah termasuk gambut. Jika dirata-ratakan, per tahun sekitar 217 ribu hektar hutan primer lahan basah hilang di Indonesia.

Bagaimana reaksi Kemenhut? Kementerian ini mengajak Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) jumpa pers bersama pekan lalu. Kemenhut bersama Jerman, lewat GIZ punya proyek di tiga wilayah di Kalimantan, yakni di Kapuas Hulu, Malino dan Berau. Mereka membandingkan data deforestasi di wilayah-wilayah itu.

Sumber: presentasi GIZ

Hadi Daryanto, sekretaris jenderal Kemenhut mengatakan, metode yang digunakan menghitung deforestasi Kemenhut dan penelitian Hansen cs berbeda. Meskipun, pada beberapa bagian, katanya, menggunakan data sama, misal, satelit lansat resolusi 30 menter, tinggi tutupan hutan lima meter dengan land cover 30 persen.

Kemenhut, bersama GIZ lalu mengambil sampel di daerah proyek bersama mereka, Kapuas Hulu dan Berau. “Kita coba cek. Tujuannya untuk liat hasil Hansen di kabupaten itu. Liat landsat di Kapuas hulu tahun 2000. Di data Hansen, semua hijau. Hanya Putusibau, yang merah. Kalau kita yang Kehutanan kan kelihatan sepanjang Kapuas degradasi,” katanya di Jakarta, pekan lalu. Yang dimaksud ‘hijau’ oleh Hadi, adalah lahan bertutupan hutan  dan ‘merah’ berarti tak ada tutupan.

Begitu juga deforestasi total antara Hansen dan Forclime jauh berbeda. Contoh di Kapuas Hulu, deforestasi total Hansen 80, 677 hektar, khusus di hutan 23,227 hektar, sedang Forclime 24, 713 hektar. “Bedanya besar, sampai 347%. Jadi memang kalau pakai defenisi Hansen kan deforestasi global. Kalau tinggi lima meter di Afrika mungkin sama. Kalau hutan tropis, beda…ga berlaku itu.”

Menurut Hadi, perhitungan Hansen dan Kemenhut beda cara pandang. “Kalo perbedaan perubahan land cover, forest cover, besar, kalo deforestasi hutan sama, ga jauh beda kan.”

Apa tanggapan terhadap riset ini?  “Rugikan image Indonesia. Apalagi dibilang kado pahit.”

Apakah Kemenhut akan protes? “Ga apa-apa, itu kan ilmiah. Silakan aja gitu,” kata Hadi.

Sumber: presentasi GIZ
GIZ memperlihatkan riset Hansen, deforestasi tinggi di luar kawasan hutan, contoh Berau. Sumber: presentasi GIZ

Lalu, apa pendapat Badan Pengelola REDD+ tentang riset Belinda Margono cs ini?

Heru Prasetyo, kepala BP REDD+ memberikan perbandingan mudah terhadap kedua data deforestasi ini, yakni  “satu telanjang” dan “satu ditutupi.”

Penelitian Belinda, dia sebut telanjang karena metodologi diketahui dan bisa jelas bagaimana mereka memperoleh data itu, termasuk semua sumber-sumber mereka. “Kalau kita tanya ke Belinda tentang penelitian itu, mereka akan menjelaskan dengan transparan. Sekarang,  kalau kita mau debat  yang satu telanjang,  yang satu ada tutupan, dalamnya kayak apa, mana yang lebih jelas?” katanya.

Belinda bersama para ahli di dunia pernah datang ke Jakarta, membahas mengenai metode deforestasi Indonesia ini. “Saat itu, ada kesepakatan, baru sepakat proses, tetapi belum sepakat hasil. Proses itu di Indonesia sedang jalan.”

Sedang saat ini, Heru lebih percaya penelitian ilmiah, seperti Belinda cs karena dilakukan dengan transparan. “Saya akan percaya data Kemenhut jika mereka sudah bekerja transparan. Sampai sekarang, Kemenhut bekerja secara internal. Kita hanya tahu hasil, tetapi tak tahu proses. Belinda melakukan semua terbuka.”

Menurut dia, kelemahan pemerintah karena transparansi belum menjadi norma dalam bekerja. Dia mengatakan, REDD+ memang lembaga pemerintah. Namun, dalam bekerja, lembaga ini berusaha mencari dan menggunakan berbagai sumber selain dari pemerintah, misal data organisasi non pemerintah maupun data langsung dari masyarakat.

Klik pada gambar untuk memperbesar. Grafis: Mongabay.com

Kala ditanya, kapan Indonesia bisa menyediakan data menyeluruh dan akurat, Heru mengatakan, masih dalam proses membuat satu data (one data), untuk menyelesaikan one map.

Bagi BP REDD+, sebagai pengguna, katanya, sangat penting one data ini bisa tersedia pada akhir 2016. Mengapa? Karena, kata Heru, pada akhir 2016 itu, BP REDD+ harus mengumumkan kepada dunia mengenai standar baku deforestasi Indonesia yang akan digunakan mengukur penurunan emisi.

“Indonesia harus punya standar baku deforestasi. Okelah, misal dengan Norwegia, kita bisa saling pengertian memakai standar yang sudah ada. Tapi kalo saya ngomong dengan negara lain piye? Buat saya, akhir 2016. Kalo bisa akhir 2015 lebih bagus, tentu kita bisa test dan prove kan. Terutama bicara klaim dan verifikasi.”

Klik pada gambar untuk memperbesar. Grafis: Mongabay.com
Exit mobile version