Suhendri: Sosok Tak Kenal Lelah Mewujudkan Hutan Kota Tenggarong

Kalimantan Hutan Bangris, Bangris digasak illegal logging, Hutan habis tinggal menangis, Pusing tujuh keliling.

Begitulah sebait puisi yang tertulis di lembar papan di tengah kerimbunan pepohonan tertata rapi, hijau dan indah di jalan Pesut, Kelurahan Timbau, Tenggarong Kalimantan Timur.

Suasana segar alami akan semakin terasa begitu memasuki kawasan seluas 3 hektar itu. Pondok sederhana namun unik akan menyambut siapa saja yang melangkah memasuki semacam pintu gerbang sebagai penanda keberadaan kawasan wanatani milik Suhendri. Pondok  berdinding dan berlantai kayu itu merupakan ruang tamu sekaligus kedai kopi tempat Suhendri bercengkrama dan bertukar cerita dengan para tetamunya.

“Awalnya saya datang ke sini untuk bekerja di  persemaian milik Dinas Kehutanan,” ujar Suhendri, lelaki lewat paruh baya itu membuka perbincangan siang itu dengan Mongabay Indonesia.

“Saya prihatin dengan kekayaan hutan Kalimantan Timur yang dibiarkan habis dibabat oleh perusahaan HPH,” lanjut Suhendri “Padahal tanah disini cocoknya untuk tanaman jangka panjang, tanaman keras. Usaha perkebunan dan kehutanan yang harus diutamakan. Kalau untuk tanaman pangan ya biarlah di Jawa dan Sumatra saja.”

Menurutnya, untuk membangun hutan, sebenarnya tidak membutuhkan modal yang amat besar, tetapi lebih kepada niat, kesungguhan dan ketekunan. Selama lebih 30 tahun ini Suhendri telah membuktikan bahwa ia mampu untuk menghijaukan wilayah hutan, yang kini bak oase oksigen bagi kota Tenggarong.

Sosok Suhendri atau akrab dipanggil Mbah Hendri sendiri sebenarnya bukan asli Tenggarong, melainkan Sukabumi, Jawa Barat. Ia lahir tak lama sesudah proklamasi kemerdekaan, tepatnya tanggal 3 September 1945. Karir di persemaian tidak berlangsung lama, tahun 1976 Suhendri berhenti dari pekerjaannya untuk memulai usaha mandiri kedai kopi sekaligus merintis usaha wanatani yang lahannya saat itu ia beli seharga seratus ribu rupiah.

Tahun 1985, Suhendri mulai menanam bibit damar (Agathis Lorantifolia) yang ia peroleh dari rekannya di Sukabumi. Saat itu, banyak orang yang ragu kalau pohon itu bakal tumbuh di Tenggarong. Biasanya damar hanya tumbuh pada lokasi dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan air laut, sementara Tenggarong mempunyai ketinggian hanya 30 meter di atas permukaan air laut.  Keraguan itu sontak sirna saat Suhendri ternyata bisa menumbuhkan bibit pohon itu dengan baik. Padahal ia mengaku tidak memiliki latar belakang kehutanan dan hanya berbekal pengalaman selama bekerja di persemaian.

Dengan kegigihannya lahan yang kala pertama dibeli masih berupa alang-alang kini telah berubah menjadi hutan dengan koleksi lebih dari 50 spesies tanaman. Ada kurang lebih 600 tegakan berbagai jenis pohon seperti damar, meranti, kapur, pinus, kayuputih, ulin dan sengon. Di sela-sela tanaman itu, Suhendri melakukan tumpang sari dengan menanam kopi dan teh.

Kebun wanatani Suhendri, dengan berbagai tanaman yang ia tanam. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Kebun wanatani Suhendri, dengan berbagai tanaman yang ia tanam. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Lahan Sempat Ditawar Miliaran Rupiah

Dengan lebih dari 30 tahun mengolah dan merawat lahan yang asri ini telah banyak penghargaan baik dari pemerintah nasional, propinsi dan kabupaten diperoleh oleh Suhendri. Salah satu yang membahagiakan adalah kala dirinya diundang untuk menghadiri peringatan HUT Proklamasi di Istana Negara. Pada kesempatan itu dia sempat bertemu dan bersalaman dengan Presiden Suharto menjelang berakhir masa pemerintahannya.

Deretan prestasinya bila dijajarkan akan terlihat panjang. Apa yang dilakukannya juga kerap diaku oleh pihak-pihak tertentu. Dimasukkan dalam laporan atau penilaian agar pihak tertentu itu bisa beroleh sebuah penghargaan.

“Terserahlah, itu bukan urusan saya,” ujar Suhendri singkat ketika ditanya tentang klaim pihak-pihak lain itu.

Di dinding pondoknya juga banyak tergantung foto dari rombongan mahasiswa, peneliti dan aparatur negara dari berbagai daerah. Mereka datang untuk belajar dan bertukar pengalaman, menimba ilmu yang diperoleh Suhendri dari interaksi dengan wanataninya.

“Itulah kebahagian terbesar saya, karena apa yang saya lakukan bukan hanya bermanfaat untuk alam melainkan juga untuk ilmu pengetahuan,” kata Suhendri dengan mata berbinar.

Bagi Suhendri merawat dan membesarkan pepohonan merupakan bagian dari garis hidup yang tidak bisa dinilai dalam bentuk nominal angka rupiah saja. Ia mengaku bahwa lahan yang sudah menghijau asri miliknya ini pernah ditawar oleh investor untuk dijadikan semacam resort, bahkan ada tawaran yang mencapai angka sepuluh miliar rupiah.

Namun Suhendri tak bergeming dengan tawaran yang menggiurkan itu karena sudah punya rencana sendiri. Suhendri tetap menginginkan agar lahan miliknya itu menjadi paru-paru bagi kotaTenggarong dan tempat persinggahan berbagai satwa. Konon Suhendri ingin menyerahkan hutan miliknya kepada pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara untuk dijadikan hutan kota.

Itulah Suhendri, sosok yang tak pernah mengeluh untuk mewujudkan mimpinya membangun hutan kota yang memberikan kesejukan bagi warga kota Tenggarong.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,