Mongabay.co.id

Pemerintah Deklarasi Pengukuhan dan Perlindungan Masyarakat Adat lewat REDD+

No Right, no REDD.” Slogan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini tampaknya mendapat respon positif dari pemerintah Indonesia.  Salah satu terwujud lewat peluncuran program nasional pengukuhan dan perlindungan hak masyarakat adat lewat REDD+ pada Senin (1/9/14) di Istana Wakil Presiden. Dalam program itu, pemerintah berkomitmen kepada masyarakat adat yang tertuang dalam delapan butir kesepakatan.

Program nasional ini diluncurkan secara resmi oleh Wakil Presiden RI, Boediono, dan deklarasi ditandatangani beberapa menteri dan kepala badan antara lain, Agung Laksono, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat; Amir Syamsuddin, Menteri Hukum dan HAM. Lalu Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan; Bahltasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup; Hendarman Supandji selaku kepala BPN, dan Heru Prasetyo, kepala Badan Pengelola REDD+.  Abdon Nababan, sekretaris jenderal AMAN, dan beberapa tokoh adat ikut menyaksikan penandatanganan deklarasi ini.

“Apresiasi sekali upaya bersama dari berbagai pihak ini untuk menempatkan masyarakat adat dalam konteks sistem nasional yang pas,” kata Wapres Boediono di Jakarta.

Dia mengatakan, program ini langkah awal dari perjalanan panjang dalam pengakuan masyarakat adat, kali ini dikaitkan dalam pelaksanaan REDD+.

Sebenarnya, aksi inipun, merupakan tindaklanjut komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 27 Juni 2012. “Apa yang disampaikan Presiden itu sendiri follow up dari sesuatu yang mendasar yaitu keputusan MK 35,” ujar dia.

Wapres mengatakan, guna pengakuan hak masyarakat hukum adat, sebenarnya berbagai kementerian dan lembaga sudah melakukan langkah-langkah parsial. Dia mencontohkan, Kementerian Dalam Negeri pada Juni 2014, mengeluarkan pedoman pengakuan masyarakat hukum adat.

“Ini semua akhirnya harus dikomunikasikan lebih sistematis hingga mencapai sasaran yang kita inginkan. Program nasional ini adalah langkah yang saya maksud. Melakukan koordinasi lebih baik dalam upaya capai sasaran.”

Kali ini, kata Boediono, memang rallying point (titik kumpul) lewat REDD+. “Ini jalur yang terbuka secara kongkit, kerja sama jelas yang bisa dilakukan.”

Upaya ini, katanya, perlu dan bagus sekali didukung agar berjalan lebih baik hingga mencakup jangkauan lebih luas dalam menjaga lingkungan. “Ini strategis, praktis. Kesepakatan ini, contoh kalau hidup bersama, bekerja sama, saling mengerti dan punya niat sama.”

Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, kala menandatangani deklarasi pengukuhan dan perlindungan hak masyarakat adat lewat REDD+. AMAN berharap, dengan program ini, hak masyarakat adat benar-benar diakui negara. Foto: Sapariah Saturi

Kuntoro Mangkusubroto, ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mengatakan, pengakuan masyarakat hukum adat merupakan salah satu dasar pelaksanaan REDD+.

“Sejak Satgas REDD+ terbentuk, kami percaya jangan terlebih dahulu berbicara sesuatu yang mengawang seperti emisi gas rumah kaca. Dahulukan yang lebih jelas dan konkrit. Kami perlu menyelesaikan pekerjaan rumah memperbaiki tata kelola wilayah hutan dan gambut di republik ini,” ujar dia.

Namun, kata Kuntoro, sebelum berkegiatan di dalam hutan dan lahan gambut, terlebih dahulu harus mengakui masyarakat yang tinggal di sana sebagai pemegang hak atas hutan. Jadi, mereka harus ikut terlibat dan bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.

“Saya pribadi, misal, ikut membantu teman-teman Suku Anak Dalam di Jambi untuk membangun pondok patroli hutan adat agar mereka bisa ikut menjaga hutan mereka sendiri.”

Deklarasi peluncuran program nasional pengukuhan dan perlindungan hak masyarakat adat yang ditandatangani pimpinan sembilan lembaga nasional, menyepakati hal-hal berikut:1. Mengembangkan kapasitas dan membuka ruang partisipasi masyarakat hukum adat dalam pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintahan termasuk namun tidak terbatas dalam program REDD+2. Mendukung percepatan terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi perundang-undangan terkait perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat

3. Mendorong terwujudnya peraturan perundang‐undangan yang menjadi landasan hukum bagi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA), namun tidak terbatas pada RUU PPMHA dan RUU Pertanahan melalui peran aktif pemerintah dalam proses penyusunan

4. Mendorong penetapan peraturan daerah untuk pendataan keberadaan MHA beserta wilayahnya

5. Mengupayakan penyelesaian konflik terkait dengan keberadaan MHA

6. Melaksanakan pemetaan dan penataan terhadap penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang terintegrasi dan berkeadilan serta memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat termasuk MHA

7. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan kewenangan berbagai pihak dalam mendukung pengakuan dan perlindungan MHA di pusat dan daerah

8. Mendukung pelaksanaan program REDD+ sebagai salah satu upaya mengembangkan partisipasi MHA secara hakiki dalam kerangka negara Indonesia.

Heru Prasetyo, kepala BP REDD+ menyampaikan, BP REDD+ bersama delapan kementerian dan lembaga menggagas prakarsa ini. Dia berharap, langkah awal ini bisa menuju kemitraan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan yang adil dan mensejahterakan masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat.

“Sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. Semoga peluncuran program nasional ini terus berkembang, dilandasi koordinasi yang baik, kesamaan visi, dan kolaborasi erat yang telah terjalin,” katanya.

Menurut Heru, ada delapan poin komitmen kesepakatan yang ditandatangani. Dia menyadari, dalam menjalankan komitmen bersama ini bukan pekerjaan mudah. Untuk itu, katanya, perlu kerjasama kuat, harmonis, terus menerus dan melembaga dari seluruh elemen kementerian serta lembaga terkait. Dalam implementasi nanti, harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat hukum adat.

Heru Prasetyo, kepala BP REDD+ (berbaju biru dan berkacamata), tengah berdiskusi bersama pemerintah daerah dan tokoh adat di Nagari Sei Buluh, Padang Pariaman, Padang, minggu akhir Agustus lalu. BP REDD+ sudah menjalin komunikasi dengan masyarakat-masyarakat adat di daerah. Foto: Sapariah Saturi

Abdon Nababan, sekjen AMAN mengatakan, pemerintah menyambut berbagai macam inisiatif masyarakat di lapangan termasuk pemetaan wilayah adat. “Ada pastisipasi tinggi, ada perubahan-perubahan hukum, seperti MK 35, ada tren global, ini bertemu di naskah deklarasi tadi. Bagaimana itu dilaksanakan mudah-mudahan kami diundang pemerintah untuk membicarakannya.”

Dalam keadaan ini, dia membayangkan, setelah deklarasi akan ada mekanisme yang dibangun bersama-sama agar partisipasi masyarakat bisa berjalan efektif. Hal ini, juga untuk menghindari masuknya para ‘penunggang gelap’ yang berniat tidak baik, atau yang bergerak bukan demi kepentingan bersama masyarakat adat. “Mungkin kepentingan individu atau mungkin kepentingan lain. Ini yang harus dijaga.”

Dalam implementasi, kata Abdon,  AMAN akan ikut bertanggung jawab agar hal-hal itu bisa dicegah dari awal. “Itu komitmen AMAN. AMAN mau mengawal deklarasi tadi dalam bentuk-bentuk kerja sama yang lebih kongkrit di lapangan.”

Stig Ingemar Traavik, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia yang hadir dalam acara itu mengatakan, penandatanganan deklarasi ini merupakan momen bersejarah. “Ini langkah resmi untuk melakukan sesuatu yang baik,” katanya seraya mengucapkan selamat pada semua pihak, UKP4, BP REDD+ juga AMAN.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia terus mengalami kemajuan dalam pengakuan hak masyarakat adat “Kami senang mendukung ini.”

Traavik mengatakan, di Norwegia juga ada masyarakat adat hingga mereka tahu betapa penting memberikan hak tanah kepada mereka.

“Saya lihat ini banyak dampak positif. Saya rasa, jika kita memberikan hak lebih bagi mereka yang tinggal di hutan, untuk memperoleh pendapatan dari hutan, maka perlindungan terbaik dengan melibatkan mereka.”

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13). Mereka meminta pengembalian tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat tinggal dan hutan mereka turun menurun. Mereka juga meminta pembebasan 16 warga yang ditangkap polisi. Deklarasi kementerian dan lembaga yang baru diluncurkan semoga menjadi angin segar bagi masyarakat adat dalam memperoleh kepastian lahan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Ada persoalan 

Myrna Safitri, direktur eksekutif Epistema Institute juga sekretaris Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria menilai inisiatif ini memberikan harapan. Selama ini, katanya,  upaya mempercepat pengakuan masyarakat adat sudah dilakukan melalui advokasi, sampai jalur hukum di pengadilan. “Sekarang jalur REDD+. Ini sesuatu yang harus dihargai.”

Namun, katanya, persoalan ini tak berhenti pada tataran komitmen resmi di level atas saja tetapi harus bisa memastikan kebijakan birokrat itu berada dalam harmoni yang sama.

Myrna juga melihat ada kendala dalam regulasi di negeri ini hingga tak gampang ditembus oleh sebuah program atau rencana aksi tanpa ada keberanian melakukan diskresi. Contoh, katanya, bagaimana mendudukkan antara Kemenhut, BPN dan Kemendagri terkait referensi apa yang dapat dipakai oleh semua pihak dalam pengakuan masyarakat adat ini. “Apakah dengan SK bupati atau perda. Ini contoh yang paling sederhana.”

Nur Hidayati dari Walhi Nasional juga angkat bicara. Menurut dia, deklarasi ini langkah ini awal yang baik. Dari kementerian dan lembaga yang ikut deklarasi, tak termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Padahal, katanya, kementerian ini salah satu sektor yang terkenal sangat sulit ditembus dan minim dalam mendorong proses partisipasi kepada masyarakat.

“Ini sebenarnya pe er besar, bagaimana kemudian ESDM bisa mengakui inisiatif pengakuan wilayah adat. Jika tidak, sulit jalankan inisiatif ini secara baik.”

Dia mengatakan, sejak beberapa dekade, sektor ekstraktif seperti pertambangan, menjadi sektor yang dominan dan lebih diutamakan daripada hak masyarakat adat.

Semestinya,  UKP4 atau BP REDD+ perlu mengajak Kementerian ESDM agar mereka memahami apa yang terjadi dan bagaimana posisi masyarakat adat seharusnya.

Agung Laksono, Kemenko Kesra, kala penandatanganan deklarasi di Jakarta pada 1 September 2014 disaksikan AMAN dan tokoh-tokoh adat. Foto: Sekretariat Wapres
Exit mobile version