Mongabay.co.id

Getol Jerat Warga, Tumpul ke Perusahaan, UU P3H Digugat

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan tengah menyerahkan berkas gugatan uji materil di Mahkamah Konstitusi, Rabu (10/9/14) di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan tengah menyerahkan berkas gugatan uji materil UU P3H  di Mahkamah Konstitusi, Rabu (10/9/14) di Jakarta. Foto: Sapariah SaturiSejak awal penyusunan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) sudah menimbulkan banyak kontroversi. Kala itu, kekhawatiran muncul UU ini bakal menyasar masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam hutan.  Ternyata, kekhawatiran itu terbukti. Sejak setahun disahkan,  10 kasus lebih menjerat masyarakat adat, petani dan buruh. Tak satupun kasus yang menyeret perusahaan atau pengusaha.

Khawatir bakal makin massif mengkriminalisasi warga, masyarakat adat bersama beberapa organisasi mengajukan gugatan uji materil (judicial review) UU P3H ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (10/9/14).

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan mengatakan, UU ini lahir dengan pertimbangan–tercantum dalam konsiderans—guna mencegah perusakan hutan masif, transnasional dan menggunakan modus operandi canggih dan  mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat. “Ini kan kerusakan-kerusakan yang dilakukan perusahaan. Harusnya, mereka yang disasar,” katanya di Jakarta, hari itu.

Sayangnya, dalam setahun berjalan, UU ini melenceng jauh dari tujuan alias bukan menjadi solusi atas masalah yang hendak diatur malah menjerat warga yang tinggal di dalam hutan.

Dia mengatakan, setidaknya ada 10 kasus masyarakat yang tinggal di kawasan hutan menjadi ‘korban’ UU P3H ini. Dia mencontohkan, di Bengkulu, empat warga adat Semende Agung menerima vonis maksimal tiga tahun penjara denda Rp1,5 miliar per orang dengan tuduhan merusak Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Padahal, mereka sudah hidup di sana turun menurun dari sebelum kawasan itu  ditetapkan pemerintah menjadi taman nasional.

Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Enam warga, di antaranya tokoh adat, yang tengah pertemuan pemetaan partisipatif dicokok polisi. Kini mereka menjalani persidangan gara-gara berkonflik dengan Suaka Margasatwa Dangku dan terjerat UU P3H.

Menurut dia, beberapa hal yang menjadi permohonan uji materi mereka setidaknya ada 16 pasal dalam UU P3H itu, antara lain, defenisi perusakan hutan. Dalam Pasal 1 poin 3 ini disebutkan, perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan…di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah. “Proses pengukuhan kawasan hutan selesai setelah penetapan. Ini peta baru penunjukkan, belum selesai mengapa bisa jadi bukti yuridis?” katanya.

Mereka juga meminta seluruh ketentuan pidana yang menyasar individu dibatalkan. “Agar UU ini benar-benar bisa menyasar perusahaan perusak hutan.”

Mualimin Pardi Dahlan, ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengatakan, UU P3H tak layak ada karena dalam praktik, pengecualian tak pernah menjadi bahan pertimbangan. Hingga yang kerap terkena masyarakat atau kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar dan kawasan hutan. “Jadi, masyarakat yang berladang dan berkebun tradisional yang jadi sasaran UU ini. Padahal, ada pengecualian untuk mereka, tapi tak dipakai.”

Menurut dia, ada ketidakadilan dan diskriminasi dalam penerapan UU P3H  ini. Dia mencontohkan, penangkapan warga adat yang sudah lama tinggal di Suaka Margasatwa Dangku. “Mereka ditangkap. Sedang ada beberapa perusahaan sawit yang jelas-jelas beroperasi di dalam suaka margasatwa dibiarkan begitu saja?” katanya.

Jadi, katanya, UU ini dibuat memang bukan buat kebaikan bagi masyarakat dan hutan tetapi sebaliknya.

Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional mengatakan, sebagian atau sekitar 40%  kawasan hutan di Indonesia, belum dikukuhkan. Di wilayah itu, masih banyak warga berdiam. Dengan UU P3H ini, katanya, pemerintah dan DPR mau sapu jagat semua aktivitas di kawasan hutan terjerat. “Padahal, kerusakan terbesar hutan itu oleh pengusaha, tetapi UU P3H malah nyasar masyarakat?”

Untuk itu, dia berharap, uji materil UU ini bisa dikabulkan keseluruhan hingga produk hukum ini bisa fokus menyasar serius perusahaan. “Kami dorong pemerintah mengejak corporate crime dan tinggalkan kriminalisasi terhadap masyarakat!”

Tak jauh beda diungkapkan Rukka Sombollinggi, deputi sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Menurut dia, sejak awal UU P3H sudah mengabaikan pengakuan masyarakat adat, dengan tak menjadikan putusan MK 35–yang menyebutkan hutan adat bukan hutan negara—sebagai pertimbangan.

“Padahal, putusan MK 16 mei 2013, UU P3H disahkan Agustus 2013 tapi sama sekali tak mempertimbangkan hak-hak konstitusional masyarakat adat. Mestinya UU ini tak disahkan.”

UU ini, katanya, sama sekali tak memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat adat atau lokal yang menjadi penjaga terbaik hutan. “Ia malah digunakan memiskinkan dan mengorbankan masyarakat adat. UU ini tak perlu ada, harus dibatalkan!”

Adapun pengaju uji materil, dari masyarakat adat Nagari Guguk Malano di Sumatera Barat, dan individu Edi Kuswanto (Nusa Tenggara Barat), Rosidi (Jawa Tengah) dan Mursyid (Banten). Serta dari lembaga swadaya masyarakat, yaitu Walhi, AMAN, KPA, ICW, Sawit Watch dan Yayasan Silvagama.

Permohonan Pengujian UU PPPH dan UU Kehutanan 

Draft RUU P3H _Paripurna 9 Juli 2013_

Exit mobile version