“Kondisi lingkungan Watusampu saat ini cukup parah. Berdebu. Sebaiknya, masyarakat menggunakan masker. Jika tidak, akan terjangkit penyakit pernafasan.”
Pernyataan tersebut diungkapkan Nurlaela Lamasitudju, Sekretaris Jenderal Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP HAM) Sulawesi Tengah, saat diskusi fokus grup “Masker untuk Watusampu: Mengurai Tata Kelola Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah”, yang dilaksanakan Mongabay Indonesia dan Green Radio bekerja sama dengan Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) di restoran kampung nelayan, Kota Palu, Jumat, (12/9/2014).
Dalam diskusi tersebut, hadir 30 peserta perwakilan dari LSM, jurnalis, mahasiswa, Warga Watusampu, dan pemerintah. Diskusi mengenai masker untuk Watusampu ini merupakan titik awal untuk mengurai tata kelola sumber daya alam Sulawesi Tengah (Sulteng).
Watusampu adalah nama kelurahan yang berjarak 12 kilometer dari Kota Palu dan berada di Kecamatan Palu Barat. Meski luasnya hanya 1.313 hektar, namun izin tambang galian C di sini marak dan tidak terkelola.
Givents, fasilitator diskusi dari ROA mengatakan, banyaknya pertambangan galian C menyebabkan warga Watusampu menderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). ROA pun mengajak seluruh elemen di Sulteng untuk mengambil peran dalam menyelesaikan persoalan lingkungan yang ada.
Hamidah, Kepala Puskesmas Pembantu Watusampu, mengatakan bahwa awalnya ia ragu untuk berbicara di forum ini tanpa izin atasannya. Namun, rasa khawatir itu ia singkirkan dalam-dalam demi menyatakan kondisi Watusampu yang sebenarnya. “Saya sehari-hari menangani penyakit ISPA. Pada 2012 ada 566 kasus, dan 2013 meningkat menjadi 689 kasus. Rata-rata, penderitanya adalah anak-anak usia satu hingga lima tahun,”.
Menurut Hamidah, banyaknya perusahaan galian C yang berada di Watusampu berperan besar meningkatkan penderita ISPA, meski ada faktor lain sebagai pemicunya seperti makanan atau tidak mencuci tangan saat makan. “Puskesmas tempat saya bertugas letaknya di jalan poros. Setiap satu jam saya harus menyapu karena mobil pengangkut material selalu lewat. Amat disayangkan, perusahaan tidak melakukan penyiraman. Saat masyarakat komplain, baru mereka lakukan,”.
Hamidah menjelaskan, penyakit ISPA yang sudah akut (pneumonia) bisa menyebabkan kematian. Selain itu, warga juga bisa mengidap TBC. “Amat disayangkan, perusahaan belum pernah memberikan bantuan kepada warga, minimal masker,”.
Nurlaela Lamasitudju mengatakan, fakta ini harusnya membuka mata pemerintah Kota Palu, karena belum lama ini pemerintah setempat telah mendeklarasikan sadar Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, di sisi lain pemerintah sendiri tidak menjamin kesehatan masyarakatnya. Bahkan, kondisi ini tidak hanya terjadi di Kelurahan Watusampu, namun juga terjadi di Kelurahan Taweli. Warga di kelurahan ini menderita gatal-gatal akibat pembangunan PLTU.
“Ini masalah serius, tidak hanya selesai dalam diskusi hari ini. Harus ada diskusi lanjutan untuk membicarakan perombakan perda pertambangan di Kota Palu. Kalau ada hal yang kurang baik, harus dilakukan Judicial Review baik itu pertambangan galian C maupun pertambangan lainnya di Sulawesi Tengah,” tandasnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Kota Palu, Yusrini Sushanty Ariani, mengungkapkan bahwa Pemerintah Kota Palu dan perusahaan perlu duduk bersama guna mencari solusi permasalahan ini.
Menurut Yusrini, kondisi ini merupakan kesalahan pemerintah dari awal sehingga dimanfaatkan makelar tanah dengan membuat jalur sendiri. Akibatnya, kondisi tambang galian C morat-marit. “Banyak dampak yang dirasakan masyarakat. Selain itu, Dinas ESDM juga baru delapan bulan dibentuk sehingga banyak permasalahan yang harus diselesaikan,”.
Di Kelurahan Watusampu terdapat sembilan tambang galian C yang beroperasi. Sementara, di Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi ada sepuluh perusahaan yang melakukan aktivitas. “Untuk meminimalisir dampak negatif pertambangan tersebut, Dinas ESDM akan bekerja sama dengan perusahaan untuk mengadakan alat penyiraman,” tuturnya.
Diskusi ini menghasilkan kesepakatan yaitu akan dilakukan advokasi terhadap masyarakat yang terkena dampak ISPA. Selain itu akan dilakukan pengawasan terhadap pemerintah dan perusahaan dalam kebijakan pembuatan perda dan pemberian IUP.
Meski diskusi tidak dihadiri Dinas Kesehatan dan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Palu, sehingga informasi terkait pertambangan tidak banyak didapat, namun peserta diskusi yakin akan mampu mencari solusi. Bahkan, untuk menyelamatkan masyarakat Palu dari serangan ISPA rencananya akan dilakukan gugatan atau class action.
Terhadap permasalahan ini, ROA sudah melakukan langkah nyata penyelamatan warga dan anak-anak di Watusampu. Penggalangan petisi online melalui media sosial hingga kampanye penggalangan aksi “Satu Masker untuk Watusumpa” telah dilakukan.
ROA juga telah meminta kepada Walikota Palu untuk meninjau ulang izin tambang yang ada dan mengalokasikan anggaran khusus untuk penanganan warga yang terkena ISPA. Hal terpenting lainnya adalah mendesak perusahaan untuk bertanggung jawab atas kondisi lingkungan yang rusak dan warga yang terkena penyakit di Watusampu.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio