,

Muhammad Fathudin, Penggerak Lahirnya Hutan Desa di Semende

Muhammad Fathudin resah. Masih ada beban yang menggelayut di pundaknya. Dari 15 hutan desa di Semende yang diusulkan, baru 12 yang disetujui pemerintah. Tiga desa; Penindaian, Rekimai Jaya, dan Swarna, masih menunggu kabar. Bahkan, 12 desa yang sudah disetujui tersebut, surat keputusan (SK) nya belum juga diserahkan.

“Masyarakat Semende sudah tidak sabar menantikan kepastian hutan desa mereka,” ujar Fathudin, pertengahan September 2014. Meski nada suaranya meyakinkan, namun tatapan mata lelaki 38 tahun ini tampak menerawang.

Semende merupakan daerah yang berada di kaki Bukit Barisan, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Secara administratif, Semende terbagi dalam tiga kecamatan yaitu Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu, dan Semende Darat Tengah.

Bagi masyarakat Semende, totalitas Fathuddin terhadap kehidupan mereka tidak perlu ditanyakan lagi. Warga Desa Muara Dua, Kecamatan Semende Darat Laut, ini merupakan tokoh utama di balik upaya hadirnya hutan desa di Semende.

Bersama Sukarji, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kehutanan Semende, Fathuddin menyusun konsep hutan desa yang ditawarkan Dinas Kehutanan Muara Enim 2011 lalu. Konsep ini dianggap sebagai jalan tengah yang memberikan kesempatan warga Semende untuk mengelola lahan sekitar 1,5 hektar per kepala keluarga, yang berada di Hutan Lindung Jambul Asahan selama 35 tahun, yang setiap lima tahunnya dievaluasi.

Hadirnya konsep hutan desa memang diharapkan dapat mengatasi polemik kebun kopi masyarakat Semende. Kebun kopi garapan masyarakat yang berada di hutan, warisan leluhur mereka, dianggap memasuki Hutan Lindung Jambul Asahan yang ditetapkan pemerintah seluas 82 ribu hektar. “Akibatnya, masyarakat Semende dianggap merambah kawasan lindung itu meski bukti tanaman leluhur mereka seperti bekas tanaman kopi masih terlihat jelas,” ungkap Fathudin.

Upaya yang dilakukan Fathuddin ini didukung Sarmanuddin, warga Desa Muara Danau yang kemudian terpilih sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Muara Danau. Menurutnya, masyarakat Muara Danau memerlukan kepastian hukum dalam menggarap lahan leluhur mereka seluas 250 hektar yang dianggap masuk kawasan lindung tersebut. “Apapun bentuknya kami setuju dan siap mengikuti, asalkan untuk kebaikan bersama.”

Sebanyak 15 desa yang diusulkan terlibat program hutan desa pada 2013 tersebut terbagi dalam tiga kecamatan. Yakni Kecamatan Semende Darat Tengah: Desa Gunung Agung (1.100 hektar), Kota Padang (1.110 hektar), Muara Tenang (1.700 hektar), Seri Tanjung (620 hektar), Tenam Bungkuk (860 hektar), Rekimai Jaya (3.000 hektar), dan Swarna (2.000 hektar).

Kecamatan Semende Darat Laut yaitu Desa Penindaian (500 hektar) dan Muara Danau (1.000 hektar).

Kecamatan Semende Darat Ulu yaitu Desa Pelakat (3.000 hektar), Danau Gerak (5.000 hektar), Tanjung Tiga (1.000 hektar), Tanjung Agung (1.420 hektar), Cahaya Alam (840 hektar), dan Segamit (3.280  hektar).

Muhammad Fathudin, penggerak lahirnya hutan desa di Semende. Fathudin tidak minder berprofesi sebagai penyuluh “suka rela” karena semua dilakukannya sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat Semende. Foto: Rahmadi Rahmad

Pulang kampung

“Panggilan jiwa” mungkin itu alasan Fathuddin untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Semende. Setelah menamatkan pendidikannya di FKIP Biologi Universitas Sriwijaya, dia bukannya mencari pekerjaan di Palembang atau kota lainnya, justru pulang kampung. Dia prihatin dengan kehidupan warganya yang hidup “pas-pasan” serta tingat pendidikan yang paling tinggi hanya lulusan SLTA. Itu juga sebagian.

Namun, niat baik Fathudin itu ditentang keluarganya. Latar pendidikannya sebagai seorang pengajar dinilai tidak cocok dengan profesi masyarakat Semende yang mayoritas merupakan petani kopi. “Bahkan, bila ingin mengajar juga mau di sekolah mana, karena di tempat tinggalnya itu tidak ada SLTA?” ujar ayah dua anak ini menirukan suara orang tuanya.

Karena tekadnya sudah bulat, segala cara dilakukan Fathuddin agar orang tuanya itu mengerti. Tahun 2004, Fathudin yang  gemar bertani ini coba membuat demplot tanaman. Tujuannya sederhana, tanaman tersebut nantinya akan dibagikan kepada petani Semende untuk ditanam di kebun masing-masing.

Tanaman yang dibuat demplot itu berupa kayu bambang lanang, biasa masyarakat Sumatera Selatan menyebutnya, atau nama latinnya Madhuca asphera sebanyak 270 batang. Sisanya, mahoni sekitar 30 batang. Bambang lanang atau kayu medang ini merupakan jenis kayu yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan karena kayunya yang kuat dan awet. Kayu ini merupakan salah satu andalan di Kabupaten Lahat, yang jaraknya hanya dua jam jalan darat dari Semende.

Dari mana Fathudin mendapatkan ilmunya? Dia belajar otodidak dari buku pertanian yang dibelinya. Bekal lainnya dia belajar dari penyuluh pertanian yang datang ke desanya.

Tentu saja, apa yang dilakukan Fathudin dianggap “nyeleneh”. Fathudin dinilai kurang kerjaan karena secara tidak langsung “mengajari” petani Semende yang telah turun-temurun berkutat dengan tanaman. Terlebih, latar pendidikannya adalah biologi, bukan pertanian.

“Butuh waktu enam tahun untuk meyakinkan masyarakat Semende, apa yang saya lakukan memang tulus untuk mereka,” ucap Fathudin.

Kesibukannya dalam pertanian, serta kegigihannya belajar dari BP4K (Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan) Kabupaten Muara Enim membuat Fathudin larut dalam dunia penyuluhan. Terutama masalah pertanian.

Selama menjalankan aktivitas penyuluhan tersebut, hingga kini, Fathudin tidak dibayar sepeser pun. Fathudin melakukannya karena kepeduliannya terhadap perekonomian masyarakat Semende. Tiada bosan, Fathudin menjelaskan kepada warga, selain menjaga mutu kopi yang ditanam sebaiknya pula faktor pendidikan anak-anak ditingkatkan.

Terkait permasalahan lahan hutan adat Semende yang disebut masuk kawasan lindung, Fathudin turut memikirkannya. Sejak 2011, kala Dinas Kehutanan Muara Enim menawarkan konsep hutan desa, Fathudin turut mensosialisasikan konsep ini. Awalnya, hanya lima desa yang setuju. Tahun berikutnya, ada delapan desa yang bergabung, dan 2013 bertambah dua desa yang secara keseluruhan mencapai 15 desa.

Sukarji menuturkan, atas kegigihannya itu, Fathudin mendapatkan penghargaan sebagai Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat di Muara Enim, tahun lalu.

Lalu, dari mana biaya kebutuhan hidup Fathudin dan keluarganya? Meski berprofesi sebagai penyuluh “suka rela” Fathudin tidak melupakan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Ia tetap mengelola kebun kopi (4 hektar), sawah (1,5 hektar), serta menjual alat-alat pertanian.

Fathudin bangga menjadi masyarakat Semende dan tidak minder berprofesi sebagai penyuluh. Ini pilihan hidupnya, meski teman-teman kuliahnya ada yang menjadi dosen maupun pengusaha.

“Hidup ini akan bernilai bila kita bermanfaat bagi mayarakat dan lingkungan,” tutup Fathudin, yang saat ditemui begitu antusias menjelaskan rumahnya dipakai lokasi syuting film “Pengejar Angin” yang disutradarai Hanung Bramantyo 2011 lalu.

Kebun kopi ini akan kita lihat di sepanjang perjalanan menuju Semende dari Kota Lahat. Saat ini, Masyarakat Semende sedang menantikan turunnya surat keputusan hutan desa dari pemerintah. Foto: Asep Ayat
Kebun kopi ini akan kita lihat di sepanjang perjalanan menuju Semende dari Lahat. Saat ini, Masyarakat Semende sedang harap-harap cemas menantikan turunnya surat keputusan hutan desa mereka. Foto: Asep Ayat

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,