Mongabay.co.id

Pilkada Tak Langsung, Berikut Prediksi Dampak bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat

Sidang paripurna DPR RI pada 25 September 2014 menghasilkan UU pemilihan kepala daerah tak lagi langsung oleh rakyat, tetapi kembali ke era lama, lewat DPRD. Kondisi politik pun makin panas kala Koalisi Merah Putih yang didukung Gerinda cs—yang menguasai kursi di parlemen–tampak berupaya melemahkan posisi Presiden terpilih Joko Widodo. Apakah situasi ini bakal berpengaruh pada kondisi lingkungan dan masyarakat adat di Indonesia ke depan?

Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, pemilihan kepala daerah oleh DPRD kemungkinan menutup perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia. “Demokrasi menjadi sangat elit, mahal, dan tertutup. Para aktivis miskin walaupun populer di mata pemilih atau rakyat sulit terpilih. Pemilu juga akan dipenuhi korupsi luar biasa,” katanya kepada Mongabay, baru-baru ini.

Dengan pemilihan via DPRD ini, katanya, akan menyuburkan praktik perselingkuhan penguasa-pengusaha,  antara politisi partai politik dengan para pengusaha dan pemilik modal. Keadaan ini, kata Abdon, akan mengorbankan lingkungan hidup. Pengeluaran izin-izin pun berpotensi meningkat dan merampas hak-hak masyarakat adat. Kondisi lingkungan dan masyarakat adat,  bisa menjadi lebih buruk lagi.

Bagi Abdon, perubahan pilkada langsung menjadi lewat DPRD merupakan pelecehan bagi kedaulatan rakyat. “Bukan karena pilkada lewat DPRD tidak demokratis. Namun, inti demokrasi itu kalau bisa langsung mengapa harus diwakilkan? Selama ini,  sudah bisa buktikan pilpres dan pilkada langsung aman dan damai. Taka da alasan mengubahnya.” Kalaupun biaya menjadi alasan, kata Abon, tentu bisa diatasi dengan perbaikan terhadap penyelenggaraan pemilihan hingga makin makin efisien.

Dia menyarankan, dengan kondisi politik seperti ini, Jokowi-JK harus menjaga jarak dengan partai-partai politik, baik dari Koalisi Merah Putih (Gerindra cs)  maupun Koalisi Indonesia Hebat (PDIP cs). Mengapa? “Dia harus total memperkuat barisan rakyat melalui organisasi-organisasi rakyat yang saat pemilu memenangkan mereka berdua.”

Dalam pemilihan figur-figur menteri, katanya, Jokowi-JK, sebaiknya memilih atas pertimbangan kapasitas, baik keahlian dan pengalaman pada bidang tertentu.

Tak jauh beda dikatakan Longgena Ginting, kepala Greenpeace di Indonesia. Dia memprediksi dengan pemilu daerah lewat DPRD, politik uang dan politik dagang sapi akan makin meningkat.

Kampung komunitas adat Pekasa, masih tampak puing-puing pepohonan yang dibakar bersama rumah-rumah warga beberapa tahun lalu. Kampung mereka di tengah hutan nan asri terjaga di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa. Masyarakat adat ini hidup damai bersama hutan tapi tak damai oleh pemerintah. Mereka diusir, kampung dibakar dengan alasan bermukim di kawasan hutan, padahal di balik itu izin-izin tambang telah dikeluarkan pemerintah kepada pengusaha. Kala pilkada via DPRD, perselingkungan pengusaha, DPRD dan pemerintah berpotensi makin kuat. Bagaimana nasib hutan dan masyarakat adat? Foto: Sapariah Saturi

Konsekuensinya, praktik korupsi bisa menjadi lebih subur dan berdampak pada keputusan politik yang diambil pemerintah daerah. Mereka,  tidak lagi mempertimbangkan kepentingan rakyat atau perlindungan pribadi tetapi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

“Kepala daerah dipilih DPRD tidak akan akuntabel kepada publik, dan kepentingan publik termasuk lingkungan hidup bersih dan sehat tidak akan menjadi kepentingan utama.”

Longgena mengatakan, masalah lingkungan tak terlepas dari politik, bahkan hasil sistem politik di sebuah negara. Jadi, baik buruk kebijakan lingkungan berasal dari parlemen dan kepemimpinan di pemerintahan.

Dengan begitu, katanya, kecenderungan relasi dan energi politik yang berkembang antara parlemen dengan pemerintah Jokowi saat ini, mau tak mau mempengaruhi kebijakan lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam ke depan. “Bisa saja, apapun dilakukan pemerintah Jokowi termasuk kebijakan pengelolaan lingkungan berpeluang besar dibatalkan parlemen.”

Dia mencontohkan, program-program lingkungan Jokowi yang tertuang dalam Nawa Cita seperti kedaulatan pangan, kedaulatan energi, pemberantasan ilegal logging bisa tidak mendapat endorsement parlemen.

Kondisi ini, kata Longgena,  bisa mengakibatkan pemerintah sulit menjalankan program-program kerja. Untuk itu, ujar dia, menjadi krusial sekali Jokowi mendapatkan dukungan warga dan masyarakat sipil hingga kekuatan politik bisa memperoleh legitimasi kuat dari rakyat.

Situasi politik saat ini, katanya, tak mustahil memaksa Jokowi kompromi dengan mereka guna mendapat dukungan politik. “Jokowi bisa jadi terpaksa mengakomodasi orang dari partai politik untuk duduk di pos-pos kementerian.”  Menurut dia, sebenarnya sah-sah saja asalkan orang itu memiliki keahlian. “Pada saat menjabat posisi menteri, mereka harus melapaskan jabatan parpol. Ketika menjalankan tugas tidak lagi mewakili kepentingan partai, namun pembantu Presiden,” ujar dia.

Akankah nasib anak-anak adat, seperti anak-anak di komunitas Pekasa ini makin tak menentu dengan potensi kerjasama cantik pengusaha, pemerintah dan DPRD akan makin kuat kala pilkada via DPRD? Foto: Sapariah Saturi
Hutan alam yang terbabat menjadi kebun sawit. Jika pilkada lewat DPRD, hubungan antara pemerintah daerah, DPRD dan pengusaha berpotensi menguat. Apakah ini akan menjadi sinyal lebih buruk bagi alam dan hutan negeri ini? Foto: Greenpeace
Exit mobile version