Mereka Dikriminalisasi karena Memperjuangkan Lingkungan Hidup

Walhi Nasional mencatat telah terjadi peningkatan jumlah kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup. Baik terhadap masyarakat, komunitas, bahkan pengurus organisasi di daerah. Tahun 2012, terjadi 147 kasus, dan 2013 naik menjadi 227 kasus.

Carman bin Tuyah, tidak pernah mengira ia dan rekannya Cahyadi akan dibui. Selasa, 6 Mei 2014 lalu, sekitar pukul 09.00 pagi, keduanya dipanggil paksa oleh Kejaksaan Negeri Batang, Jawa Tengah, tanpa didampingi penasehat hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Setibanya di kejaksaan, keduanya mendengarkan pembacaan surat putusan Mahkamah Agung. Keduanya diputus bersalah karena telah melakukan pengeroyokan terhadap warga yang mendukung rencana pembangunan PLTU Batang. Keduanya dihukum lima bulan penjara.

“Sebetulnya tidak terima, karena saya tidak melakukan (pengeroyokan) itu,” kata Cahyadi.

Arif Fiyanto dari Greenpeace Indonesia kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, kami melihat motif memenjarakan Cahyadi dan Carman adalah upaya pelemahan perjuangan warga yang menolak pembangunan PLTU. Bahkan, info yang kami dapatkan dari warga, PT. BPI akan membeli lahan Cahyadi sekitar satu hektar dengan harga tinggi. Hal ini karena lahannya ada dilokasi utama pembangunan PLTU Batang.

“Ada kesan pemaksaan atas penetapan terpidana keduanya. Karena, sudah dua kali tertunda, Oktober 2014 harusnya PLTU dibatalkan,” kata Arif.

Wahyu Nandang Herawan dari YLBHI mengatakan, kasus yang dituduhkan pada Cayadi dan Carman ini terjadi pada 4 April 2012. Ketika kasus disidangkan ditingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, Cayadi dan Carman diputus tidak bersalah oleh hakim. Namun, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memutuskan mereka bersalah.

“Kami sedang menyiapkan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, kami punya bukti baru (novum),” kata Nandang.

Nandang menambahkan, masyarakat mempunyai hak untuk keberatan terhadap rencana usaha/kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Ini sudah diatur dalam pasal 65 ayat 3 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Keduanya berjuang untuk mempertahankan lingkungannya dari ancaman kerusakan. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) pasal 66 menyebutkan pejuang lingkungan tak bisa dikenai hukum, namun UU ini selalu diabaikan,” ujar Nandang.

Tolak pembangunan hotel di Batu

Sementara, demi mempertahankan sumber mata air Umbul Gemulo yang terletak di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Kaji Rudi, Arif Nugroho, dan Wagiman terancam jadi tersangka. Oleh Polres Batu, mereka dituduh melanggar pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan pasal 170 KUHP karena melakukan perusakan barang milik orang lain.

Membubuhkan tandatangan, sebagai dukungan terhadap penolakan pembangunan hotel di Kota Batu. Foto: Tommy Apriando

Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, perlawanan warga ini direspon pihak Hotel The Rayja dengan melakukan kriminalisasi. Caranya melaporkan warga dengan tuduhan melakukan perusakan dan mengambil material bangunan.

“Warga hanya memindahkan material berupa batu, tidak mengambilnya,” kata Ony.

Ia menambahkan, penolakan warga terhadap pembangunan Hotel The Rayja karena akan mengancam keberlanjutan sumber mata air Umbul Gemulo. Hasil penelitian WALHI Jatim menemukan bahwa pembangunan besar-besaran di wilayah Batu dan sekitarnya yang tidak mengindahkan daya dukung dan daya tampung lingkungan  menyebabkan banyaknya sumber mata air yang rusak dan mati.

Penghancuran terhadap hak rakyat atas air adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusi warga dan hak asasi manusia. Polri seharusnya menjadikan UU Lingkungan Hidup pasal 66 sebagai acuan tertinggi.

Lihat saja, pelaporan pidana lingkungan yang diajukan terhadap Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) Kota Batu Syamsul Bakri serta Direktur PT Panggon Sarkarya Sukses Mandiri, Willy Suhartanto terkait pembangunan The Rayja Batu Resort di kawasan perlindungan sumber mata air Umbul Gemulomalah diperlambat. Sedangkan upaya warga memperjuangan lingkunganya terancam dipidana dan diproses cepat.

“Kami melihat pasal ini masih dalam ujian dan belum banyak diterapkan. Laporan kami untuk memidanakan perusahaan dan kepala dinas KPPT Kota Batu berlajang lamban, namun proses kriminalisasi warga berjalan cepat,” kata Ony.

Catatan Walhi Jatim, sumber mata air Umbul Gemulo yang diperjuangkan warga saat ini digunakan untuk kebutuhan konsumsi air bersih  dan pertanian bagi kurang lebih 9.000 warga di Desa Bulukerto dan Bumiaji. Bahkan, data kantor Lingkungan Hidup Kota Batu 2005 menyebutkan telah ditemukan 53 mata air yang mati dan 59 mengalami penurunan debit.

“Saat ini, hanya tersisa enam mata air yang tergolong baik dengan debit cukup besar. Sumber mata air Umbul gemulo sendiri memiliki debit 179 liter/detik dan menjadi tumpuan hidup ribuan warga enam desa,” ujar Ony Mahardika.

Di Jogja, warga solidaritas menolak apartemen dipenjara

Dua minggu lebih, terhitung Rabu, 24 September 2014 yang bertepatan dengan hari Tani Nasional, aktivis gerakan sosial dan gerakan lingkungan hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta Adji Koesoemo ditahan Polres Sleman.

Jerinx penggebuk drum SID ketika tampil di panggung di Alun-alun Urata Jogja dukung gerakan Jogja Ora Didol dan Bali Tolak Reklamasi. Foto: Tommy Apriando

Adji ditahan terkait solideritasnya mendampingi warga Pedukuhan Karangwuni, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Sleman, yang menolak pembangunan apartemen “Uttara The Icon”.  Adji disangka telah mencabut dan marusak baliho yang berisi iklan promosi apartemen tersebut.

“Saya ini bersolidaritas atas hak lingkungan hidup warga yang takut pembangunan apartemen akan mengancam hilangnya air sumur. Saya tidak merusak baliho, mencabut umbul-umbul dan lainnya,” kata Aji.

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polres Sleman, dengan Penyidik Aiptu Supriyadi dan Aiptu Sagimin, Aji Koesoemo diperiksa pada Selasa, 23 September 2014 sekitar pukul 19.30 Wib. Aji diperiksan dan diminta keterangannya sebagai tersangka perkara tindak pidana secara bersama-sama dimuka umum melakukan pengerusakan, sehingga dikenakan pasal 170 ayat (1) KUHP subsider pasal 406 ayat (1) KUHP.

Rita Dharani, warga Paguyuban Karangwuni, 26 September 2014 lalu mengatakan, penolakan kami karena selama ini kami tidak pernah dilibatkan, tidak pernah diberitahu akan ada pembangunan apartemen. Kami juga tidak pernah diberikan sosialisasi dampak negatif dari pembangunan apartemen.

“Ketakutan kami adalah terkait kondisi air sumur warga yang terancam kering jika pembangunan apartemen dilakukan,” kata Rita Dharani.

Menanggapai hal tersebut, Komite Aksi Perlindungan Aktivis Lingkungan (KAPAL) Yogyakarta melakukan aksi di depan Polres Sleman, Kamis, 9 Oktober 2014. Tri Wahyu KH, koordinator umum aksi KAPAL mengatakan, ironis sekali dengan materi pertanyaan penyidik Polres Sleman Sagimin yang kontroversial dan tendensius. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

“Kami mendesak aparat penegak hukum di Polres Sleman menegakkan pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait hak imunitas bagi aktivis dan pejuangan lingkungan hidup demi optimalisasi perlindungan pengelolaan lingkungan hidup di DIY dan Republik Indonesia,” kata Tri dalam seruannya.

Mengedepankan hak publik

Syamsul Munir, dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menanggapi meningkatnya eskalasi kriminalisasi terhadap pejuang agraria atau perjuang lingkungan mengatakan, kami melihat perspektif polisi masih mengutamakan KUHP sebagai acuan dan belum menggunakan UU PPLH terutama pasal 66.

Bentangkan spanduk, tolak PLTU Batang yang dinilai menerabas kawasa konservasi laut di Pantai Utara Jawa. Foto: Afif Saputra/ Greenpeace Indonesia

Alasan Polri bahwa mereka mengutamakan perusahaan atau investor karena pembangunan yang dilakukan merupakan objek vital negara, adalah keliru. Seharusnya, polri paham bahwa UU Lingkungan adalah (lex spesialis) atau lebih khusus dibanding KUHP yang bersifat lebih umum (lex generalis).

“Polri masih diskriminatif. Jika warga yang melaporkan perusahaan yang melanggar dan merusak lingkungan hidup tidak diproses dan tidak menindaklanjuti. Namun, jika perusahaan yang melaporkan warga, prosesnya cepat. Ini bentuk diskriminasi,” kata Munir.

Ia mencontohkan Freeport di Papua yang membayar Polri untuk kepentingan keamanan perusahaan. Padahal Polri tidak boleh menerima uang perusahaan, karena akan mengganggu kinerja dan independensi Polri.

“Perlu adanya reformasi birokrasi dan kinerja polri kedepannya. Polri juga harus tegas menindak anggotanya yang melanggar aturan internal dan perundang-undangan yang ada,” tambah Munir.

Deni Bram, pakar hukum lingkungan Univeritas Tarumanegara mengatakan, fenomena kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan semakin marak dan masif. Ini terjadi karena kapasitas dan kapabilitas aparat penegak hukum yang belum memaknai substansi dari aturan di bidang perlindungan lingkungan itu sendiri.

Lemahnya pemahaman dari aparat polisi hingga hakim dalam pemaknaan rumusan perlindungan pejuang lingkungan merupakan kendala. “Jika penegak hukumnya tidak paham dan salah tafsir undang-undang ini akan fatal,” katanya.

Menurut deni Bram, ada langkah strategis yang dapat ditempuh. Pertama, membuat aturan perlindungan terhadap pejuang lingkungan dengan memberikan presisi (tingkat kepastian) yang tinggi sehingga tidak memberikan peluang untuk penafsiran secara liar.

Kedua, peningkatan kapasitas dan kapabilitas dari aparat penegak hukum agar memiliki pemahaman substansial terhadap prinsip-prinsip yang diadopsi dalam hukum lingkungan.

“Jika perlu, ada Pengadilan Lingkungan agar semakin optimal perlindungan yang diberikan, karena hukum harus berpihak kepada kepentingan ekologis,” tambahnya.

Samsudin Nurseha, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta mengatakan, selama ini pembangunan insfrastruktur di DIY membuat warga resah dan terganggu dengan proses pembangunan yang tidak mengindahkan keberadaan masyarakat.

“Pemerintah sering mengabaikan aspek hak asasi manusia. Seharusnya, kepentingan masyarakat yang didahulukan. Pembangunan itu harus mengedepankan aspek keadilan, kemanfaatan, dan penghormatan HAM, barulah aspek kepastian hukum,” kata Samsudin.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Laila, mengatakan, UU Lingkungan Hidup telah mengatur bahwa masyarakat yang berjuang untuk lingkungannya tidak bisa dipidana dan digugat secara perdata.

Ia mencotohkan, pada 18 September 2014 lalu, Komnas HAM sudah bersurat ke Polres Batu yang inti suratnya merekomendasikan kepada Kapolresta Batu untuk tidak mengkriminalisasikan masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Penting sekali pembangunan itu mengedepankan kepentingan publik dan tidak melanggar hak asasi.  Pejuang lingkungan itu dilindungi secara hukum,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,