, ,

Para Pelaku Usaha Sahabat Alam di Festival Teras Mitra

Endang, perajin daur ulang sampah plastik di Denpasar bangga memamerkan aneka bentuk wadah sesajen yang dikelola kelompok Bank Sampah Berlians. Sokasi, nama populer wadah aneka persembahan di Bali ini biasa dibuat dari anyaman bambu.

Kini ada sokasi dari bekas wadah kopi instan dan kemasan lain. Para perajin membersihkan, melipat, menjahit, dan merakit. Terlihat estetik dan kuat.

Anom, perajin lain terlihat sumringah memperlihatkan cara menjahit sampah-sampah menjadi benda bernilai jual. Mereka ikut Festival Teras Mitra III, di Denpasar.

Para perajin ini kelompok dampingan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali yang berusaha mendorong pengolahan sampah sejak dari komunitas banjar. Banjar adalah komunitas masyarakat adat di tiap desa. Satu dusun atau desa bisa terdiri dari beberapa banjar. Caranya, mendorong bank sampah di tiap banjar.

“Bank sampah di dekat rumah saya bisa mengolah sampah plastik menjadi minyak tanah,” kata Endang.

Puluhan aktivis di isu pemberdayaan lingkungan di pelosok Indonesia memaparkan perkembangan gerakan di Festival Teras Mitra III, yang dihelat di Kuta, 14-17 Oktober 2014. Pertemuan mitra Global Environmental Facility – Small Grand Programme (GEF-SGP)  ini ajang kumpul dan pameran pelaku usaha komunitas dengan pendekatan lingkungan.

Tercatat 45 komunitas terlibat. Misal, Sokola Pesisir Makassar. Berawal dari beberapa kelompok belajar kreatif di Sokola Pesisir, lembaga ini lantas memproduksi beragam karya sesuai minat dan bakat anggota. Sejak 2009, Sokola Pesisir memproduksi berbagai macam kerajianan rotan, video dan foto dokumentasi acara serta mencetak beragam desain kaos terkait konservasi pesisir.

Ada juga Yayasan Ciliwung Merdeka (Craft) dari Jakarta. Idenya dari banyaknya sampah anorganik dimanfaatkan menjadi produk bernilai jual. Sejak 2008, YCM mengolah sampah anorganik menjadi beragam produk seperti tas, aksesoris, dan kini menguji pembuatan pupuk padat dan cair.

Ada Transformasi Hijau (Ekowisata) di Jakarta. Transformasi Hijau atau Trashi, adalah lembaga pendidikan lingkungan hidup (PLH) yang aktif menyebarkan kecintaan terhadap lingkungan lewat kegiatan belajar alternatif di sekolah-sekolah. Sejak 2008, Trashi membuat beberapa program jelajah untuk mengenal sampah, air, satwa dan hulu hilir, sekaligus mendorong perubahan lewat program Young Transformers dan bekerja sama dengan beberapa SMU dan SMK di Jakarta.

Benih dari Pesantren Ekologi Ath-Taariq Garut juga hadir dalam Festival Teras Mitra. Foto: Luh De Suryani
Benih dari Pesantren Ekologi Ath-Taariq Garut juga hadir dalam Festival Teras Mitra. Foto: Luh De Suryani

Perkumpulan LAWE yang fokus di peningkatan fungsi kain tenun nusantara dari Jogja juga mendorong perajin menanam tumbuhan yang menjadi bahan baku pewarna alami. “Pewarnaan alami harus didukung ketersediaan bahan baku,” ujar Adinindyah, pengelola. LAWE makin dikenal dengan produk aksesoris, alat tulis, tas, dan lain-lain.

Ada Kelompok Peduli Lingkungan Belitung berhasil mengenalkan konsep ekowisata pasca terkenalnya daerah ini karena film Laskar Pelangi besutan Mira Lesmana dan Riri Riza.

Kelompok ini menggarap Belitung Adventure, sebuah operator wisata yang menggarap paket wisata konvensional dan minat khusus lingkungan sepertidiving mengusung konsep eco-diving, snorkeling, jungle trekking sambil belajar tentang ekosistem hutan.

Ada juga pahlawan perempuan Aleta Baun, penerima penghargaan lingkungan internasional Goldman Prize pada 2013, yang mengusir penambang marmer di Timor Tengah Selatan, NTT. Perajin tenun ini berhasil mengusir tambang dengan menenun selama setahun di bukit penuh deposit marmer itu.  Aleta memimpin Organisasi A’Taimamus (OAT) mendorong masyarakat perbukitan Molo, Amanuban, dan Amanatun menghasilkan tenun selaras alam.

Catharina Dwihastarini, koordinator Nasional GEF-SGP Indonesia, mengatakan, hibah kecil dari GEF-SGP ada di lebih dari 100 negara di dunia. “Kami tak mau menunggu ancaman lingkungan makin banyak dan diselesaikan pemegang kebijakan. Kami mau bekerja dengan komunitas karena mereka menemukan cara unik.” Di Indonesia, sejak 1992 menjangkau lebih dari 500 komunitas. “Inisiatif ini perlu dibagi dan diapresiasi.”

Produk-produk komunitas ini  berhasil dijual hingga menjadi alternatif pendapatan dan bisa dikembalikan lagi ke lingkungan.

Dia mengatakan, salah satu masalah adalah pemasaran produk. Karena itu festival ini memberikan perhatian pada aspek peningkatan bisnis.

Bisnis sosial

Panca Pramudya dari Institut Riset Sosial dan Ekonomi (INRISE) menyebut usaha berawal dari upaya penyelamatan lingkungan harus menyadari pentingnya pengelolaan bisnis. “Pemerintah harus beri contoh bisnis ramah lingkungan. Bisnis yang memperkokoh upaya konservasi yang sudah dilakukan,” katanya.

Agung Alit, Presiden Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) menyebut pola usaha seharusnya perdagangan berkeadilan. Yakni, prinsip menghormati hak produsen atau perajin melalui pembayaran layak, tepat dan cepat. Pembayaran, adalah jantung dunia usaha. “Yang brengsek di usaha pariwisata Bali adalah pembayaran.”

“Mereka jual produk ke hotel, pembayaran menunggu tiga bulan. Itu bullshit. Ini yang kita lawan.” Fair trade, selain sebagai gerakan juga model bisnis. Ada 10 prinsip dalam fair trade ini seperti pembayaran layak dan tepat waktu, tak menggunakan pekerja anak, dan bahan baku ramah lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,