Mongabay.co.id

Nasib Para Penyedia Pangan di Tengah Beragam Ancaman

Aksi pemerintahan Jokowi-JK dalam mewujudkan kedaulatan pangan dinanti. Jadi, tak hanya komitmen, tapi implementasi di lapangan.

Sukinah, bersedih, sesekali dia mengusap air mata kala menceritakan perjuangan warga Rembang melawan keberadaan tambang karst yang mengancam lahan pertanian mereka. Perempuan dari Desa Tegal Dowo, Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah ini, salah satu dari ratusan petani yang mempertahankan agar lahan pertanian mereka tak terancam. Dia rela berbulan-bulan hidup di tenda demi sumber pangan mereka tak terampas dan berganti tambang semen.

Kalo ada pabrik semen gimana lahan pertanian saya. Masa’ mau jadi pemulung?” katanya.

Para petani di Rembang ini khawatir keberadaan pabrik semen bakal merusak sektor pertanian yang ada di daerah mereka. Mereka khawatir, lahan pertanian tergerus dan sumber air rusak hingga mematikan kehidupan mereka.

Sejak empat bulan lalu, para ibu-ibu  di Rembang, bertahan tetap menolak tambang, PT Semen Indonesia, dengan aksi tenda. “Pokoknya semen harus keluar dari Rembang. Soalnya bagaimana anak cucu kita. Air-air itu. Petani air dua kabupaten, Rembang dan Blora, hidup dari air di Kendeng. Kalau ada pabrik semen air-air itu bisa hilang.”

Perempuan 38 tahun ini, sehari-hari bersama suami berladang jagung, dan padi. “Musim hujan tanam padi. Habis padi, jagung. Ada tanaman tumpang sari, singkong, kencur, jahe, kunyit. Ada cabai , kacang,” katanya, kala berbincang dengan Mongabay, di Jakarta, pertengahan Agustus 2014.

Untuk itulah, dia berkuat menolak tambang. Dia khawatir kalau sampai tambang masuk, tanaman-tanaman petanian yang memenuhi keperluan sehari-hari, bakal tak bisa tumbuh subur lagi. “Soalnya, kalo orang tani di kampung  mesti ngeratani. Sayur juga ada, rempah-rempah harus ada. Terus makanan pokok jagung dan beras punya sendiri. Ke pasar, beli minyak, dengan jualan jahe, cabe. Itu sudah cukup. Bangga kami tak perlu beli.”

Dia berharap pemerintah bisa mendengarkan kekhawatiran warga dan peduli lahan pertanian yang menjadi sumber pangan masyarakat daripada berpihak pada perusahaan.  “Masa’ orang Indonesia ngimpor beras, kedelai gak malu. Tapi kok ngimpor semen malu. Harusnya kan pertanian itu yang diutamakan biar gak ngimpor. Kenapa kok semen? Kalo  Indonesia itu utamakan industri, terus pertanian mau di mana?” katanya.

Kekhawatiran serupa juga muncul dari Serang, Banten. Maftoh dari Riung Hijau mengatakan, air Sungai Ciujung sudah tercemar parah limbah pabrik kertas. Ia tak hanya mengancam kehidupan warga dan nelayan, lahan pertanianpun terdampak.

“Sungai itu tumpuan hidup masyarakat di sekitar rusak karena PT Indah Kiat Pulf and Paper yang membuang limbah di sungai. Jelas limbah mengalir memasuki irigasi-irigasi yang mengairi sawah di sekitar sungai juga merusak ekosistem,” katanya.

Sungai Ciujung yang tercemar mengalir ke laut utara Banten, berdampak pada kerusakan ekosistem laut. Belum lagi, izin legalisasi penambangan pasir di laut utara Banten. “Petani dan nelayan kesulitan hidup.”

Ancaman terhadap sumber pangan tak hanya di Rembang dan Serang, tetapi terjadi di berbagai daerah.  Lahan pertanian menjadi perkebunan atau tambang, wilayah tangkap ikan makin sulit karena laut atau sungai tercemar, terjadi di mana-mana.

Masalah panganpun muncul. “Busung lapar, petani tak bertanah dan konflik-konflik tanah banyak terjadi,” kata Maftoh.

Untuk itu, memperingati Hari Pangan Sedunia, pada 16 Oktober 2014, Front Perjuangan Rakyat Banten terdiri dari LMND, HMJ, Agroeko,  VICI Club Banten, APJ, Gembel, dan Riung Hijau aksi damai di DPRD Serang. Mereka menyuarakan bencana pangan yang mengancam karena lahan-lahan produksi pangan tergusur. Mereka juga mengkhawatirkan alih fungsi lahan, dari sawah kelas A menjadi perumahan, pusat perbelanjaan dan industri–Industri dan pencemaran sungai-sungai yang menjadi sumber air bagi sawah.

Pernyataan bersama mereka menyebutkan, bencana pangan jelas bukan kesalahan petani atau nelayan, dalam mengelola tanah, mereka terdidik turun-termurun menghidupi keluarga dan berupaya mencapai kedaulatan pangan. “Mereka  tahu menjaga laut yang menjadi tumpuan hidup keluarga, mereka tahu menjaga lahan pertanian.”

Bencana pangan timbul, kata Maftoh, banyak karena kesewenang-wenangan pemerintah dalam memgulirkan izin pada perusahaan. “Seperti memberikan izin limbah ke perusahaan kertas, eksploitasi laut utara Serang kepada penambang pasir dan regulasi-regulasi yang merugikan kedaulatan pangan lain.”

Untuk itu, mereka menuntut pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria, irigasi  air tidak tercemar, dan normalisasi sungai-sungai di Banten guna keperluan kedaulatan pangan.

“Kami akan mengawal legislatif dan pemerintahan baru dalam mengaplikasikan demokrasi sejati untuk kedaulatan rakyat,” ucap Maftoh, juga koordinator aksi.

Beragam ancaman pangan, dari alih fungsi lahan pertanian, sampai sungai dan laut tercemar hingga sumber pangan terganggu.Itulah yang disuarakan Fron Perjuangan Rakyat Banten dalam aksi Hari Pangan Sedunia di Gedung DPRD Serang. Foto: Riung Hijau

Menanti pelaksanaan komitmen Jokowi-JK

Di Hari Pangan ini, komitmen pemerintahan baru yang mengusung kedaulatan pangan, diingatkan kembali. Bina Desa menyatakan, mengapresiasi pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-JK), memilih jalan kedaulatan pangan (food sovereignty) sebagai pilihan politik pangan. Namun, kedaulatan pangan hanya mungkin terwujud jika arus kebijakan pangan pemerintahan Jokowi-JK kembali basis.

Sabiq Carebesth, kepala Penelitian dan Media Bina Desa dalam siaran pers menyatakan, tata niaga dan tata kelola di level pusat adalah persoalan politik dan niatan para pengambil keputusan publik di pemerintahan. “Tidak boleh lupa problem mendasar dan tuntutan kedaulatan pangan sejatinya jaminan alat produksi, terutama tanah untuk petani kecil penggarap yang selama ini,  baik karena perampasan tanah oleh perusahaan maupun  kemiskinan membuat mereka harus menjual tanah hingga menjadi tidak memiliki lahan,” katanya.

Kedaulatan pangan, katanya,  sebagai wacana maupun desain kebijakan baru itu penting bagi kedaulatan bangsa. Pada 30 tahun lalu, melalui revolusi hijau, sistem pertanian dan model pembangunan berorientasi semata modern-urban hingga menciptakan ketergantungan terhadap pangan baik sistem maupun budaya. “Sejak sistem tanam, produksi benih, penggunaan pestisida sampai pola konsumsi  menyebabkan ketergantungan dan kearifan perempuan petani hilang. Ibarat ayam mati di lumbung padi,” ujar dia.

Dia mengatakan, selama pemerintahan SBY impor pangan tak terbendung bahkan memecahkan rekor. Bila dibanding pada 2007-2009, impor komoditas pangan meningkat 61% pada periode 2011-2013. Pada 2012, nilai impor komoditas pangan mencapai US$6,297  juta. Pada September 2013 mencapai US$3,897 juta. Begitu juga impor produk holtikultura, US$1,813-1,261 juta.  “Ini rekor impor terbesar dalam sejarah bangsa ini.”

Menurut dia, banyak faktor penyebab impor ini, antara lain kerusakan sistem pertanian dan ketimpangan pengusaan tanah yang nyata di samping pertumbuhan penduduk yang kerab jadi alasan pemerintah. “Itulah tantangan yang harus dirumuskan pemecahan oleh pemerintahan baru Jokowi-JK ke depan.”

Sabiq menambahkan, pemerintahan Jokowi-JK ke depan agar membangun komitmen politik dengan pemerintahan daerah baik provinsi maupun kabupaten.

Dwi Astuti, direktur eksekutif Bina Desa, menyoroti kerusakan sistem pangan dan pertanian di pedesaan berakibat sistemik pada migrasi perempuan desa khusus, menjadi TKI. Mereka bekerja ditempat yang rentan dengan perlindungan minim.

Menurut dia, kekerasan terhadap buruh migran perempuan salah satu dampak kerusakan sumber ekonomi pedesaan. “Kedaulatan pangan mestinya harus mengembalikan tidak hanya hak hukum perempuan atas tanah, juga sistem pertanian dan budaya yang mengembalikan hak asal perempuan mengolah tanah dan menyediakan pangan.”

Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Jokowi-JK melalui visi-misi dalam Nawa Cita Kedaulatan Pangan, berkomitmen mengimplementasikan pembaruan agraria. Antara lain, melalui pendistribusian aset terhadap petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani.

Jokowi-JK berkomitmen menyerahkan lahan 9 juta hektar, meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektar menjadi dua hektar per rumah tangga tani. Juga pembukaan satu juta hektar lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali guna mewujudkan kedaulatan pangan.

Dalam Nawa Cita, Jokowi-JK juga berkomiten pembangunan irigasi, bendungan, sarana jalan, dan transportasi, serta pasar dan kelembagaan pasar secara merata. Rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak terhadap tiga juta hektar pertanian dan 25 bendungan hingga tahun 2019. Jokowi-JK juga akan meningkatkan pembangunan dan aktivitas ekonomi pedesaan yang ditandai peningkatan investasi dalam negeri sebesar 15% per tahun hingga rata-rata umur petani dan rakyat Indonesia yang bekerja di pedesaan makin muda.

Acmad Yaqub, kepala Advokasi Bina Desa mengatakan, melihat kondisi riil lapangan saat ini, Indonesia tak hanya membutuhkan komitmen politik dan retorika belaka.

Data BPS menyebutkan, rumah tangga pertanian pada 2013 sebanyak 26,14 juta dengan jumlah jiwa 31,70 juta terdiri dari 24,36 juta (76,84%) laki-laki dan 7,34 juta (23,16%) perempuan. Angka BPS ini, kata Yaqub, bila dibandingkan sensus pertanian 2003, ada penurunan 5 juta rumah tangga petani atau 1,75% .

Untuk itu, katanya, Jokowi-JK dituntut mengubah paradigma dengan kembali mempercayai petani kecil, kembali ke basis dan berhenti mempercayakan urusan pangan kepada korporasi. “Seperti yang lalu melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate yang gagal.”

Pada Hari Pangan ini, Bina Desa meminta Jokowi-JK transaparan dalam strategi kedaulatan pangan. “Kami berharap Jokowi-JK memiliki skema jelas dan desain program konkrit selama 100 hari pertama pemerintahan ke depan.”

Jokowi-JK, harus menunjukkan niatan mewujudkan kedaulatan pangan dengan pembiayaan masuk akal melalui APBN untuk program mendasar.  Seperti redistribusi lahan, pendidikan pertanian, subsidi benih dan pupuk, jaminan dan hak bagi petani untuk memproduksi benih sendiri, pupuk dan jaminan hukum atas lahan-lahan sengketa.

Aksi perjuangan Front Rakyat Banten di Hari Pangan Dunia. Foto: Riung HIjau
Exit mobile version