Mongabay.co.id

Aturan Gambut Dinilai Kuat Kompromi dengan Kepentingan Bisnis. Benarkah?

Peraturan Presiden (PP) tentang Perlindungan  dan Pengelolaan Gambut akhirnya selesai setelah hampir sembilan tahun pembahasan.  Sebelum masa akhir jabatan, pada pertengahan September 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani PP No 71 tahun 2014  ini dengan niat memberikan perlindungan gambut di Indonesia ini. Namun, kalangan pegiat lingkungan menilai, PP Gambut ini kuat kompromi dengan pelaku usaha. Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, PP ini bukan ‘obat manjur’ tetapi setidaknya ada aturan dulu sambil perbaikan karena jika menunggu terlalu lama khawatir kerusakan gambut makin parah.

Zenzi Suhadi, manajer kampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional mengatakan, peraturan ini masih mempunyai banyak kelemahan bahkan, terbuka celah bagi perusahaan buat merusak gambut.

“PP ini keluar banyak proses kompromi dengan sektor swasta hingga mengabaikan mandat sesungguhnya UU Lingkungan Hidup No 32,” katanya, di Jakarta, usai konsolidasi PP Gambut dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kamis (23/10/14).

Dia mengatakan, beberapa catatan terkait PP Gambut ini, antara lain, dalam draf lama, ada pasal yang menyebutkan, bahwa sanksi administrasi tak menghilangkan pidana. “Pasal ini dalam PP final hilang. Mengapa?” Belum lagi pembebanan biaya penggantian kala perusahaan merusak gambut nilai masih bisa kompromi. “Kala ditanya, kalau kebakaran ada korban, siapa bertanggung jawab. Jawaban tadi bilang dibebankan pada perusahaan. Masalahnya, aturan tanggung jawab itu tak masuk dalam PP ini.”

Berbagai hal itu, kata Zenzi, memperlihatkan, begitu kuat kompromi-kompromi aturan ini terhadap perusahaan.  “Dibilang, hal-hal teknis mau dibahas dalam permen. Kita tak bisa gambling, tak ada jaminan juga di permen itu masuk.”

Menurut dia, jika memang memiliki niat baik, semestinya dari dulu pemerintah melibatkan berbagai stakeholder termasuk masyarakat sipil dalam membahas aturan ini. “Justru diskusi itu dibuka setelah disahkan. Seperti tak ada niat buat aturan perlindungan,” ujar dia.

Dia mengatakan, kala memang khawatir eksploitasi gambut makin luas, tentu lewat PP ini memastikan tak memberi ruang lagi pada sektor-sektor swasta ekspansi.

Dia juga mengkritisi peraturan peralihan yang membuka peluang kemudahan pemanfataan gambut oleh perusahaan. “PP ini, mau lindungi gambut tapi memberi ruang perusahaan buat rusak gambut,” katanya.

Contoh, sebagian besar sebaran titik api di Riau di lahan gambut. JIka dikaitkan dengan hasil audit lingkungan kepada 17 perusahaan di Riau, yang memperlihatkan tak ada satupun yang patuh. Mereka semua beroperasi di gambut dalam. Akankah efektif PP Gambut melindungi gambut kala realitas di lapangan seperti ini? Sumber: Greenpeace

Tak jauh beda dikatakan Teguh Surya dari Greenpeace Indonesia. Dia mengatakan, pasal yang berpotensi merusak perlindungan gambut harus segera direvisi, seperti peraturan peralihan.

Dalam aturan peralihan menyebutkan, izin usaha yang sudah ada sebelum PP dan sudah beroperasi tetap berlaku sampai masa waktu berakhir. Lalu, ada izin dan belum beroperasi tetap bisa berjalan dengan menjaga fungsi hidrologis gambut. Kala pemegang izin tak menjaga fungsi hidrologis selama dua tahun, izin usaha dicabut pemberi izin.

“Apa tidak ada pengaturan lebih baik buat izin-izin yang sudah beroperasi dan izin yang sudah diberikan? Izin sudah keluar sebelum itu harus ditinjau ulang, opsinya bisa setop dulu, atau beri lahan pengganti.  Termasuk yang belum beroperasi ditinjau ulang. Dengan pasal peralihan esensi perlindungan gambut hilang,” katanya.

Kalau memang PP ini ingin melindungi, katanya, jika ada kawasan kubah gambut harus dilindungi segera. “Persoalan pemerintah harus ganti rugi dalam kompensasi itu konsekuensi.”

Teguh mengatakan, seharusnya PP ini bisa memberikan perlindungan gambut total. Sayangnya,  kompromi bisnis masih kuat. Menurut dia, tantangan lain, keterbukaan data agar monitoring bisa berjalan. Dalam membuat aturan turunanpun harus melibatkan berbagai pihak guna memastikan fungsi perlindungan terjaga.

“Proses permen harus ketat dan libatkan stakeholder lain. Jangan mengulangi proses sebelumnya, kerja-kerja ini harus sesuai janji Jokowi yang akan memberikan perlindungan total pada gambut.

Edo Rahman dari Walhi Nasional menambahkan, PP ini harus direvisi dan diperbaiki dengan proses-proses pembahasan melalui penggalangan aspirasi di beberapa wilayah provinsi khusus di Kalimantan,  Sumatera dan Papua, yang memiliki banyak kawasan gambut.

“Secara kelembagaan, Walhi melihat penting buat menguatkan Kementerian Lingkungan Hidup, tak hanya persoalan PP ini. Kami, dari Sumatera dan Kalimantan tengah konsolidasi membahas PP ini.”

Arief Yuwono, deputi Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim mengatakan, PP ini memang bukan obat paling manjur tetapi penting untuk tindaklanjut ke langkah berikutnya.

Untuk pelaksanaan lebih lanjut, katanya, KLH akan membentuk peraturan menteri (permen) dan petunjuk teknis (juknis).

Dia mengakui, idealnya perlindungan gambut total tetapi realitas di lapangan sulit. “Mau tegas fungsi lindung, di lapangan sudah ada yang pakai.” Untuk itu, katanya, harus segera melakukan langkah-langkah penetapan, apakah gambut lindung atau budidaya.

Dalam penyusunan PP Gambut—satu dari 11 aturan turunan UU 32—dan PP yang lain cukup sulit hingga penyelesaian terkendala. “Situasi konflik kepentingan itu tinggi sekali,” aku Arief.

Api masih menyala di areal perusahaan. Sejak belasan tahun, warga kepulauan di Riau ini menanam sagu dan lahan tak pernah terbakar. Namun, kala sagu menjadi tanaman monokultur oleh perusahaan dan kanal-kanal dibuka, kebakaran pun mulai terjadi seperti awal tahun 2014 ini. Bagaimana PP Gambut, bisa melindungi gambut dengan kondisi seperti ini? Foto: Walhi RIau.

Dia mencontohkan, pembahasan ketentuan peralihan memakan waktu lama, salah satu hambatan kala berhadapan dengan kementerian dan lembaga. “Terjadi konflik kepentingan dan keluar dengan kompromi dengan lingkungan tak harus dikorbankan.”

Dia khawatir, jika pembahasan PP terus berlarut alias tak selesai, gambut yang mau dilindungi keburu habis. “Ini khawatir, mau berapa tahun lagi, kalo lama gambut sudah habis.”

Untuk itu, katanya, ada PP Gambut ini, setidaknya sebagai koridor untuk masuk ke masalah-masalah yang nanti lebih detil dalam aturan turunan. “Kita sudah cukup lama diskusi. Kami juga memobilisasi pakar-pakar. Pakar juga pro dan kontra.”

Mengenai sanksi, ucap Arief, selain PP, ada UU No 32 tahun 2009. “Kalau di PP tidak diatur tapi di UU ada, dikembalikan lagi ke UU 32.  Kalau sudah diatur di tempat lain tak perlu (di PP).”

Prof Azwar M’aas, pakar gambut yag ikut pembahasan PP ini mengungkapkan, sebenarnya PP Gambut untuk melanjutkan perlindungan kala moratorium izin hutan dan lahan mungkin berakhir 2015. “Kalau moratorium berakhir dengan PP ini perlindungan makin kuat. Moratorium kan hanya dua tahun. Jadi itu salah satu  alasan yang belum diungkap pentingnya PP ini.”

Dengan PP itu, kata Azwar,  ada aturan hukum yang mengikat. “Itu sebabnya kenapa ini  harus keluar. Apapun alasan meski banyak masalah harus keluar.  Karena dengan ada aturan hukum ini kita sudah bisa mulai mencegah, terutama yang belum ada aturan hukum, yang belum dimanfaatkan.”

Kondisi di lapangan, katanya, sudah parah. Dia mencontohkan, di Sumatera Selatan lahan gambut relatif sudah dikuasai pemegang izin. “Hutan lindung, cagar alam, antara fakta lapangan dengan di peta atau konsep itu banyak gak nyambung. Batas huta mana? Gak jelas.”

Contoh lain di Cagar Alam Siak. Di situ, terbagi-bagi ada kawasan masyarakat, penyangga sampai lindung (konservasi). Sayangnya, penetapan kawasan konservasi tak tepat dan harus diperbaiki karena wilayah yang seharusnya terlindungi ternyata tidak.  “Kawasan yang dilindungi berbeda dengan yang harus dilindungi. Waktu membuat belum ada pemahaman konsep kesatuan hidrologis,” ujar dia.

Menurut dia, dengan tekanan kebakaran hutan dan lahan, sebenarnya, ada banyak peluang pemanfaatan adaptif terhadap gambut, seperti pemilihan jenis tanaman. Masyarakat yang tinggal di kawasan gambut, sudah terbiasa bahkan mereka bisa menciptakan lingkungan. Sedang di kebun skala besar, banyak terjadi, misal,  tanaman HTI di lahan gambut miring. “Ini karena mereka mencari makan. Akar mau ke dalam tak ada makanan dan tak ada udara. “

Jadi, katanya, jika perusahaan beroperasi di lahan gambut tanpa memperhatikan tanaman yang cocok akan mengalami penurunan kualitas dari waktu ke waktu.

Khawatir

Dalam PP Gambut itu, KLH diberi mandat menyelesaikan pemetaan kesatuan hidrologis dua tahun terhitung setelah aturan ini ditetapkan. Daerah-daerah prioritas yakni Kalimantan dan Sumatera karena wilayah bergambut dan sering kebakaran.  Setelah itu, penetapan fungsi lingdung, KLH diberi waktu paling lama dua tahun, terhitung sejak penetapan peta hidrologis gambut.

Azwar khawatir terhadap kecepatan KLH dalam membuat peta kesatuan hidrologis gambut. Sebab, peta one map dengan 1: 50.000, tak cukup buat peta satuan hidrologi.  Untuk peta ini, jika ingin beda kontur satu meter, paling tidak harus punya skala 1: 2.000.

“Artinya, kalau ini dibebankan ke KLH, mungkin tak akan selesai. Biaya luar biasa mahal. Mungkin bisa kerja sama dengan BIG atau Lapan,” katanya. Dia mengacu pada pemetaan yang pernah dia lakukan terhadap beberapa ribu hektar kawasan gambut saja memerlukan dana sekitar Rp650 juta.

Exit mobile version