,

Menyelamatkan Sumber Air Lewat Festival Mata Air

Ratusan orang warga Kota Batu, Malang, Jawa Timur, khususnya dari 3 Desa di Kecamatan Bumiaji tumpah memenuhi jalanan mengusung gunungan tumpeng beserta aneka makanan dan hasil bumi diarak oleh yang menandai rangkaian kegiatan Festival Mata Air yang digelar pada 7 – 16 November 2014.

Kegiatan peduli penyelamatan mata air ini diwujudkan dalam aksi budaya berupa Ruwat Mata Air, yang mengajak masyarakat memposisikan mata air dalam dimensi yang sakral.

Aris Faudzin selaku Panitia Festival Mata Air mengutarakan, kondisi mata air di beberapa daerah yang berstatus krisis, membutuhkan gerakan kesadaran bersama untuk menyelamatkan serta mencegah kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat krisis mata air.

“Sejauh ini sudah saling kait mengkait mengenai penyebab krisis mata air. Meski sudah diketahui penyebabnya, langkah penyembuhan sulit dilakukan karena efeknya yang sudah sangat meluas,” katanya

Melalui budaya, masyarakat diajak untuk melihat kembali kearifan lokal yang mengajarkan manusia harus menghormati alam semesta, termasuk keberadaan mata air yang memberikan kehidupan bagi makhluk hidup di sekitarnya.

“Mata air harus dihormati, tidak boleh diperlakukan semena-mena, karena alam semesta telah banyak memberikan jasa kepada umat manusia,” ujar Aris.

Kegiatan Festival Mata Air dirangkai dalam beberapa kegiatan seperti Sarasehan Pelestarian Lingkungan, Arak-arakan Tumpeng, Pagelaran Wayang Kulit, Pentas Seni, Gerak Jalan, dan Parade Band.

Festival Mata Air ini diikuti oleh berbagai kelompok masyarakat maupun LSM Lingkungan, antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), Yayasan Pusaka, Dewan Sumberdaya Air Nasional, Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA), dan Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM), serta berbagai organisasi non formal seperti Paguyuban Pelestari Mata Air.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Ony Mahardika mengatakan, inisiatif penyelamatan sumber mata air melalui kegiatan Festival Mata Air ini merupakan pengingat untuk membangunkan semua orang bahwa sumber mata air di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) Brantas sudah sangat kritis dan harus diproteksi.

“Ini mengingatkan bahwa penyelamatan mata air melalui budaya dan lingkungan, harus terus disuarakan bagaimana pun caranya. Melalaui gerakan budaya ini dapat dibangun kesadaran masyarakat,” tutur Ony Mahardika.

Upaya menyelamatkan lingkungan, lanjut Ony, harus terus dikembangkan dan digelorakan oleh seluruh eleman masyarakat maupun pemerintah. Bahkan pemerintah diminta belajar banyak dari berbagai bencana ekologis yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, sehingga lebih berhati-hati dalam membuat dan mengambil kebijakan terkait lingkungan.

“Pemerintah harus tegas terhadap keselamatan ekologis di suatu wilayah. Jangan biarkan ketidaktaatan terhadap tata ruang, pengalihfungsian wilayah-wilayah serapan, serta penghancuran sumber mata air dan kerusakan keseluruhan ekosistem terus berlanjut,” papar Ony

Pada Sarasehan tersebut juga membahas berbagai isu, terkait perjaungan melestarikan dan mempertahankan mata air dari eksploitasi maupun alih fungsi mata air. Sarasehan menghasilkan beberapa kesimpulan mengenai pentingnya  keberadaan mata air bagi kehidupan, serta ajakan kepada semua eleman mayarakat untuk ikut memperjuangkan kelestarian mata air.

“Ini bentuk membangun solidaritas dan kesadaran masyarakat betapa pentingnya sumber mata air di hulu DAS Brantas. Data yang ada mengenai kerusakannya semakin drastis, penurunananya semakin drastis, tapi tidak ada upaya mempertahan sumber-sumber yang ada, tapi malah kebalikannya, malah aktif menghabiskan sumber-sumber itu,” tukasnya.

Ada sedikitnya 15 kabupaten dan kota yang akan mengalami krisis air, jika seluruh kawasan hulu DAS Brantas tetap dibiarkan rusak. Dari sekian ratus sumber mata air di awal mula, saat ini tinggal menyisakan 56 sumber mata air, dan 6 sumber mata air diataranya termasuk kategori besar.

Mata Air Umbul Gemulo di Malang. Foto: Walhi Jawa Timur
Mata Air Umbul Gemulo di Malang. Foto: Walhi Jawa Timur

Salah satu yang terbesar adalah Umbul Gemulo yang berada di Dusun Cangar, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, yang memiliki debit 179 liter/detik. Umbul Gemulo menjadi tumpuan hidup tidak hanya bagi enam ribu warga Desa Bulukerto, tapi juga bagi ribuan warga di enam desa lainnya yaitu Sidomulyo, Bumiaji, Pandanrejo, Sisir, Mojorejo, dan Pendem.termasuk untuk PDAM Kota Batu.

“Dari 6 sumber yang terbesar itu, salah satunya ya di Umbul Gemulo ini. Jadi sejak 3 tahun terakhir ini, apa yang dilakukan warga untuk Umbul Gemulo memang betul-betul upaya mempertahankan mata air untuk kehidupan,” kata Ony.

Festival Mata Air di Kota Batu  ini digagas secara mandiri oleh masyarakat yang peduli terhadap lingkungan, terutama terhadap keberadaan sumber mata air di wilayah Kota Batu yang terus menyusut. Penyusutan itu dipengaruhi oleh pesatnya pembangunan di Kota Batu, terutama pembangunan hotel dan villa yang membutuhkan air dalam jumlah besar yang cenderung tidak terkontrol. Dampaknya dapat dipastikan bahwa ancaman kekurangan air dapat melanda masyarakat sewaktu-waktu.

“Sekarang ini air tidak cukup lagi untuk keluarga, apalagi untuk sawah mereka harus bergiliran mengakses air,” tambah Aris.

Festival Mata Air ini lanjut Ony, bukan sekedar menyoroti menyusutnya sumber mata air di Batu, melainkan juga sumber mata air lainnya yang ada di Jatim. Berdasarkan laporan Dinas Pengairan Pemprov Jatim tahun 2010, terdapat 4.389 sumber mata air yang tersebar di 30 kabupaten dan kota.

“Makanya disini banyak juga dihadiri kelompok-kelompok masyarakat pemakai mata air, yang memiliki potensi ancaman yang sama dengan yang di Batu,” ucap Ony.

Data Perum Jasatirta I menyebutkan bahwa pada awalnya terdapat 1.597 sumber mata air di DAS Brantas yang tersebar di 10 kabupaten dan kota. Dari jumlah itu, 358 sumber mata air terdapat di wilayah kabupaten dan kota Malang, serta 109 sumber mata air di wilayah Kota Batu.

Di Kota Batu sendiri sebanyak 50 persen mata air hilang dalam kurun waktu dua tahun terakhir, yakni 107 sumber mata air pada 2007, 111 sumber mata air pada 2008, serta 49 sumber mata air pada 2009. Selain itu sebanyak 11 sumber mata air mengering, dan 46 sumber mata air mengalami penurunan debit dari 10 m3/detik menjadi kurang dari 5 m3/detik.

Pemerintah, lanjut Ony, juga diharapkan mau lebih memperhatikan dan peduli terhadap pelestarian lingkungan, dengan tidak mudah mengeluarkan ijin usaha yang dapat merusak lingkungan serta kelestarian sumber mata air.

“Bukan hanya mereka yang tinggal di desa dan pegunungan yang akan terkena dampaknya, tapi juga warga kota yang pasti akan terkena dampaknya ketika kelestarian sumber mata air tidak terjaga dan semakin rusak atau bahkan musnah,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,