Mongabay.co.id

Dari Sidang UU P3H: Kala Kearifan Lokal Hancur Gara-gara Aturan Negara

“Kalau nanti ada hukum-hukum (negara) nanti rusak (kearifan lokal). Kalau mereka tak akui aturan kami, kami juga tak mau akui adat yang datang dari luar.”  Begitu ungkapan tegas dan lantang dari Yontaneri Rajo Jambak, dari masyarakat adat Malano, di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, kala menjadi saksi pada sidang gugatan terhadap UU P3H dan UU Kehutanan di Mahkamah Konstitusi, Kamis (20/11/14). Yontaneri, tak datang ke Jakarta, dia memberikan keterangan lewat tele conference dari Universitas Andalas.

Yontaneri mengungkapkan kekhawatiran kala mendengar informasi dari berbagai daerah terjadi penangkapan-penangkapan yang dialami masyarakat adat, salah satu setelah ada UU P3H. Kekhawatiran dia beralasan karena sebagian wilayah adat Malano, diklaim negara masuk hutan lindung.

Kasus-kasus di beberapa daerah, seperti di Bengkulu, empat warga adat Semende Agung, masuk penjara hasil UU P3H dengan dalih ‘perambah’ karena berkebun di kawasan yang belakangan oleh pemerintah ditetapkan menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Yontaneri bercerita, masyarakat adat Guguk Malano, terdiri dari tiga koto mencakup 11 suku, dengan posisi tertinggi dipegang karapatan adat Nagari, Datuk Rajo Malano. Mereka menjaga alam dengan kearifan lokal.

Dia khawatir, UU P3H bakal berimbas kepada mereka dan anak cucu. “Kata pemerintah negeri kami masuk hutan lindung, tapi kami tak ada manfaat. Kami mohon yang mulia, agar jangan jadi ancaman.”

Menurut dia, penetapan status kawasan hutan tak pernah ada bahasan bersama mereka, serta merta mendapat informasi kalau wilayah adat masuk hutan lindung. Warga Malano makin terdesak. “Kami 100 meter sudah tak boleh masuk, 100 meter tak bisa cukup. Kapan dia ukur? Kapan dia bicara dengan kami? Tak tahu. Tahu-tahu gambar hijau saja pak (yang menyatakan hutan lindung),” ujar dia.

Yontaneri juga cemas, masuknya UU ini bakal merusak tatanan adat mereka. Untuk itu, katanya, jika nanti dipaksakan, mereka akan menjaga kawasan adat dengan berbagai cara. Dia menyebut beberapa cara kebatinan. “Kalau kami dibilang tak beragama, tersenyum. Kalau dibilang tak beradat, hancur kami…”

Warga juga khawatir terjadi kerusakan hutan karena negeri mereka berada antara 10-45 derajat hingga rawan gempa dan banjir. Untuk itu, dalam mengelola lahan, warga nagari mengatur dalam beberapa bagian demi menjaga kawasan terutama dataran tinggi tetap berhutan. Wilayah, terbagi antara lain, hutan cadangan, sebagai kawasan yang dialokasikan buat masa depan. Ada hutan kesepakatan, di mana untuk pemanfaatan mesti ada kesepakatan bersama. Juga ada lahan olahan pribadi.  Meskipun saat ini terbilang masih belum ada konflik dengan pemerintah, tetapi dia khawatir tatanan yang mereka buat bisa tersingkir dengan status hutan lindung itu.

Air, salah satu sumber hidup warga yang bakal hilang kala hutan-hutan mulai tergerus. Kala hutan terjaga, sumber air pun bakal melimpah. Ini salah satu yang kini dihadapi masyarakat adat, sumber air hilang karena hutan berubah fungsi menjadi peruntukan lain atas izin pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Saat kesaksian Yontaneri, sidang yang biasa hening, sempat berubah heboh. Tak jarang, jawaban-jawaban lugas Yontaneri, mengundang gelak tawa.

“Apa sudah ada warga yang ditangkap?” tanya Hamdan Zoelva, hakim MK.

Insya Allah, belum pak.”

Malah, kata Yontaneri, oknum aparat yang mereka denda karena mengganggu kayu-kayu di hutan.

“Kami denda Rp600 ribu. Kendaraan juga disita, tapi mobil kami kembalikan setelah denda adat dibayar.”

“Kalau begitu, alhamdulillah, tak ada yang ditangkap. Bukan insya Allah,” kata Hamdan.

“Iya, alhamdulillah, pak.”

Tawa pengunjung sidang tak terhindarkan.

Hamdan memuji keterangan Yontaneri yang lugas, jelas dan singkat.

***

Potret kehancuran kearifan lokal telah terjadi di masyarakat adat Sembalun yang  tinggal di Pegunungan Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat,  dampak masuk aturan negara lewat pembagi-bagian kawasan hutan.  Sejak wilayah adat sebagian menjadi taman nasional sampai konsesi perusahaan, adat istiadat yang turun menurun terjaga sulit dijalankan. Warga adat tak lagi mempunyai pengakuan wilayah mereka sekaligus tak bisa lagi menjaga kawasan itu. Cerita ini terungkap dalam kesaksian tokoh agama sekaligus tokoh adat Sembalun, Abdul Rahman Sembahulun dalam sidang di MK, siang itu.

Sejak turun menurun, komunitas ini hidup dengan kearifan lokal yang ketat. Sayangnya, setelah berbagai aturan pemerintah masuk, termasuk pembagi-bagian hutan ke dalam lindung, sampai hutan produksi—belakangan izin keluar kepada pengusaha—masyarakat adat sulit menjaga alam dengan tradisi mereka. Hutan-hutan hijau nan lebat pun berubah menjadi ilalang yang mudah terbakar.

Dari kiri, Febrian Anindita (AMAN Sumbawa), Sukran Hawalin (Komunitas Adat Semende Banding Agung, Bengkulu), Rukka Sombolinggi (deputi sekjen AMAN), Abdul Rahman Sembahulun (Komunitas Adat Sembahulun) dan Ismail (Komunitas Adat Barambang Katute), usai sidang gugatan UU P3H di MK, Kamis (20/11/14). Foto: Sapariah Saturi

Dampakpun, mereka rasakan saat ini, kala kemarau kekeringan, kebakaran hutan, kala hujan, banjir bandang sampai longsor menghantam.

“Dulu masyarakat adat kami, damai, tenteram, tak ada masalah,” katanya.

Sekitar 1941, Belanda menggeser kebebasan masyarakat di hutan, berlanjut ke era Indonesia, dengan membuat hutan tutupan, hutan lindung sampai suaka margasatwa. Pada 1941-1979, katanya, masih ada upacara adat tetapi lama-lama mereka terus terdesak hingga sulit menjalankan tradisi. Tahun 1979, warga terusir. “Penjajah setelah kemerdekaan sangat menekan kami, yang bernama Kehutanan, lewat taman nasional.”

Penderitaan masyarakat makin mendalam. Rumah-rumah dibakar, dan warga ditangkapi. “Belanda ambil satu tanah diganti, tapi sekarang (Indonesia) tidak lagi. Warga ambil kayu bakar lihat hijau (polhut) sudah takut. Lari, parang tertinggal, itu yang diambil.”

Menurut dia, Indonesia ini yang merdeka hanya pemerintah. Masyarakat adat tetap terjajah dan terhinakan. “Tak akan pernah dapatkan hak kemerdekaan, walaupun kita setiap tahun rayakan kemerdekaan. Masyarakat adat tak diakui. Kami adat dengan perangkat jauh sebelum negara merdeka. Setelah negara merdeka terjadi penjajahan baru,” ucap Abdul Rahman, kepada wartawan usai sidang.

Luas wilayah adat mereka sekitar 40.000 hektar. Kini, sekitar 12.000 hektar, wilayah adat diklaim menjadi Taman Nasional Rinjani. Belum lagi yang masuk konsesi perusahaan, tetapi dia tak tahu berapa angka pasti berapa hektar. “Taman nasional ada zona pemanfaatan, tapi buat turis, bukan buat masyarakat adat di sana,” ujar dia.

Dalam pranata sosial, katanya, masyarakat adat tanah Sembalun hidup dengan kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Mereka mempunyai konsep metu telu (Tuhan, alam dan manusia) dengan tiga tokoh penghulu adat dibantu kyai-kyai adat. Mereka khusus memberikan pembinaan spiritual keagamaan dan moral masyarakat adat. Pemangku adat mengurus alam dan lingkungan. Mereka dibantu mangku.

Wilayah adat itu terdiri dari beberapa mangku. Ada Mangku Bumi yang mengurus tata ruang, di mana perkampungan, kendaraan, kuburan, sawah, perkebunan dan hutan termasuk savana. Juga menentukan komplek untuk obat, dan mata air. Lalu, Mangku Jawat, menyangkut masalah hutan. Dia yang mengatur ketentuan-ketentuan masuk hutan dan potong kayu dan berburu atau tangkap burung, termasuk masuk hutan untuk tirakat.

Dalam sidang, Abdurahman, menceritakan, kearifan adat mereka, kala ingin menebang satu pohon di hutan, wajib menanam sampai hidup minimal 10 pohon. “Jadi, hutan tak akan pernah mati dan gundul.” Dalam berburupun, katanya, warga tak boleh menangkap rusa atau kijang yang sedang berkumpul, harus yang terpisah dari kelompok. “Setelah ada yang bawa senjata, tak ada lagi indahnya sistem ini,”  ujar dia.

Ada Mangku Gunung.  Setiap gunung, kata Abdul Rahman,  ada situs-situs yang harus dijaga dan dipelihara. Dari sekian pegunungan di sekitar Rinjani itu,  ada khusus mangku atau bisa disebut menteri. Kemudian, Mangku Makem,  khusus mengurus mata air, pemeliharaan, konservasi, menjaga biota-biota yang ada. Mangku Rantai Emas menyangkut cagar alam dan Mangku Ketapahan (Mangku Majapahit) terkait cagar budaya.

Kini, kearifan yang begitu indah itu luntur pelahan. Bukan karena warga melupakan adat tetapi mereka makin terdesak dan tak memiliki keleluasaan menjaga alam seperti dulu.

Mata air dulu ada sekitar 70, kini tersisa empat saja. Mengapa? “Dulu kan sangat dijaga sedemikian rupa dengan kearifan lokal, begitu  sudah dikuasai pemerintah, lahan saja dikuasai pemerintah, tapi tidak perbaikan hutan. Sejak itu terjadi pembalakan dan kerusakan hutan.”

Pembalakan, katanya, bisa masyarakat luar, atau petugas. Dulu, katanya, jika ada orang luar masuk seenaknya nyawa sebagai taruhan. “Tidak akan kembali kalau melanggar adat. Begitu adat dikeluarkan dari sana, apakah diketahui atau tdak terjadi kerusakan hutan.”

Pohon-pohon hutan pelahan sirna, lalu tumbuh ilalang dan mudah terjadi kebakaran. “Kemarau kemarin, dua bulan hutan di Rinjani terbakar.”

Bukan hanya kebakaran. Lahan-lahan di lembah,  rumah dan sawah-sawah warga terbawa air kala banjir. “Lahan di pinggir ditimbun batu-batu dan pohon sisa-sisa pembalakan. Makin memiskinkan masyarakat. Tak ada lagi tempat mereka bergantung. Sudah sempit,  disempitkan lagi, dan tak bermanfaat lagi,” katanya.

Tak pelak, karena himpitan ekonomi, warga banyak menjadi buruh  atau bekerja ke luar negeri. “Ibu-ibu ke Arab Saudi, yang kita tahulah bagaimana kasus-kasus di sana.”

Dua saksi warga adat yang lain, Ismail dari Komunitas Adat Barambang Katute, Sulawesi Selatan dan Sukran Hawalin dari Komunitas Adat Semende Banding Agung, Bengkulu, juga menceritakan bagaimana penderitaan warga dampak klaim pemerintah atas hutan yang sudah mereka kelola turun menurun.

Saksi ahli, Dr Hermansyah dari Untan, Pontianak, Kalbar. Foto: Sapariah Saturi

Negara gagal paham?

Pada hari itu juga ada kesaksian ahli dari Dr. Hermansyah, dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.  Pandangan dia, banyak kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan karena negara memahami azas legalitas tak utuh hingga terjadi over kriminalisasi.

Padahal, esensi pidana awal mula muncul,  sebenarnya upaya pokok para ahli melindungi masyarakat atau individu dari kesewenang-wenangan raja yang memiliki kekuasaan absolut. “Perlindungan ini jadi ruh. Namun, pemahaman yang terjadi, azas legalitas malah alat bertindak negara kepada warga.”

Terkait putusan Mahkamah Konstitusi No 35 yang menyebutkan hutan adat bukan hutan negara, katanya, merupakan amanat konstitusi yang harus dijalankan negara. “Ini untuk melindungi hutan-hutan adat dalam bentuk pengakuan negara.”

Amanah ini yang belum berjalan. “Dalam realitas belum banyak produk hukum untuk akui hutan adat.”

Sayangnya, kala negara dan pemerintah belum menjalankan tugas, belum menata hutan dengan baik, sudah menerapkan hukum pidana, salah satu UU P3H kepada warga. “Karena negara belum menata hutan, maka masyarakat adat tak berdaulat.”

Kala hutan tak ditata, maka perusakan hutan hanya masalah administratif bukan subtantif. Hingga tak melihat dampak kerusakan.  Dia mencontohkan, perusahaan perkebuan, HPH maupun HTI yang menebang hutan tak masalah karena ada izin. Bahkan, kala HPH/HTI ada di hutan adat dan terjadi pembersihan hutan tak hitung merusak hutan karena ada izin. Sedang, hak hutan adat belum diakui.

Hermansyah mengatakan, kala negara telah menata hutan, muncul masalah, barulah berlaku pidana. “Sekarang, belum ditata tapi warga sudah dikriminalisasi. Negara harus menata dulu, baru hukum negara hadir!”

Dia mengatakan, kala azas legalitas hanya dipakai negara untuk bertindak pada warga, maka pada hakekatnya negara itu belum beranjak pada negara hukum. Artinya, masih rezim otoriter (dulu raja otoriter, sekarang negara).

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, meskipun sudah ada putusan MK 35, tidak ada perubahan berati di lapangan. Saksi ahli di sidang gugatan UU P3H, katanya, menyampaikan, azas legalitas tidak bisa dilaksanakan dalam suatu suasana ketidakjelasan seperti sekarang (negara belum menata hutan).

“Jadi apa yang dilakukan pemerintah dengan kriminalisasi ini menerjemahkan azas legalitas secara salah. Karena itu,  MK harus melihat, UU itu berlaku di dalam satu kondisi hukum yang tidak layak untuk melaksanakan UU itu. Jadi, kalau secara normatif belum ada kejelasan, ya jangan melakukan hukum pidana,” kata Abdon.

Kini, hukum pidana itu malah menjadi bentuk baru dari pemaksaan negara terhadap warga yang sesungguhnya, pada saat kedua pihak belum ada posisi jelas. “Hukum pidana dimaksudkan melindungi warga negara justru sebaliknya, dipakai negara buat memaksakan kehendak terhadap warga yang nyata-nyata tak adil.”

Warga berupaya mempertahankan hutan adat karena tempat gantungan hidup mereka. Namun, banyak terjadi di Indonesia, mereka kehilangan hutan karena diklaim pemerintah ke dalam pembagian hutan versi negara. Tak jarang, hutan-hutan adat sudah menjadi wilayah konsesi, hingga warga adat tak bisa mempertahankan kala perusahaan mulai menebangi–karena legal berizin pemerintah. Kala melawan, konflik pecah, kriminalisasi warga terjadi. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version