Sebuah hasil penelitian terbaru tentang pentingnya ekosistem mangrove yang diluncurkan oleh The Nature Conservancy, Wetlands International dan Universitas Cambridge menyatakan bahwa ekosistem mangrove merupakan sumber penting untuk mendukung penghidupan ratusan juta masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan dataran rendah dan menghasilkan sumber protein hewani.
Data FAO menjelaskan pada tahun 2011 mengungkap bahwa hasil tangkapan dan konsumsi perikanan, crustacea, moluska dari seluruh lautan duniat adalah 78,9 juta ton atau 16,6 persen dari seluruh proten yang dihasilkan dari protei hewani. Permintaan dunia akan hasil laut telah meningkat secara dramatis dalam beberapa dekade belakangan ini, meningkat dua kali lipat dari 9,9 kg per kapita pada tahun 1960-an menjadi 18,8 kg perkapita pada tahun 2011. Para peneliti mempercayai bahwa di masa depan, dunia tidak lagi dapat bergantung hanya kepada hasil perikanan tangkap laut lepas, tetapi harus mulai menggali sumber-sumber lain yang potensial, salah satunya pada ekosistem mangrove.
“Hasil kesimpulan studi kami menyatakan bahwa upaya konservasi mangrove dan restorasi ekosistemnya yang ada di daerah yang dekat dengan hunian akan memberikan keuntungan investasi terbesar untuk meningkatkan perikanan,” jelas Mark Spalding, ilmuwan laut senior di The Nature Conservancy menyebutkan. Dia menambahkan seharusnya sumberdaya yang ada di ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan untuk mendorong upaya perikanan yang lebih baik lagi, termasuk memberikan nilai ekonomi dari sektor perikanan di satu sisi dan kesejahteraan masyarakat di sisi lain.
Dalam studi yang dipaparkan minggu ini, dinyatakan bahwa populasi ikan yang bergantung pada mangrove berkorelasi dengan produktivitas biomassa yang ada di mangrove, termasuk daun dan batang kayu, yang membentuk sebuah rantai makanan bagi ekosistem.
Meskipun demikian, masih banyak kebijakan yang tidak berpihak untuk mempertahankan kondisi mangrove terutama yang berada di daerah yang padat penduduknya, diantaranya akibat degradasi mangrove karena konversi, desakan pemukiman dan industri, polusi dan penangkapan biota yang berlebihan (over-fishing). Padahal dengan memanfaatkan ekosistem mangrove dengan pengelolaan yang baik, akan memberikan nilai tambah yang besar bagi nelayan.
“Banyak pembuat keputusan dan nelayan tidak menyadari hutan mangrove memegang peran kunci dalam mendukung perikanan. Dengan pemahaman yang lebih lengkap terhadap layanan ekosistem mangrove maka kami berharap nilainya sosial dan ekonomi akan meningkatkan pengelolaan berkelanjutan baik dari sisi pelestarian mangrove dan sektor perikanan,” jelas Femke Tonneijck, peneliti dari Wetlands International.
Padahal di daerah-daerah yang perikanannya telah maju, sebagian tergantung kepada upaya pemanfaatan mangrove. Sebagai contoh di Florida, Amerika Serikat yang 80 persen hasil komersial laut tergantung kepada mangrove, dan di Filipina yang 72 persen hasil lautnya juga tergantung kepada pemanfaatan mangrove.
Dari hasil penelitian de Groot et al tahun 2012, dengan pemanfaatan optimal maka dapat diperoleh nilai ekonomi USD18 ribu untuk satu hektar mangrove di area produktif. Beberapa spesies komersial yang diperoleh dari mangrove mencakup berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan berbagai pemanfaatan jenis-jenis kayu bakau lainnya.
Pengelolaan Mangrove di Indonesia
Pengelolaan mangrove di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari ideal. Dari sekitar 3,2 juta hektar total mangrove di Indonesia, atau 22 persen luas mangrove dunia, maka hanya sekitar 46 persen yang masih baik. Salah satu kendala dalam upaya rehabilitasi mangrove diakui oleh salah satu pejabat dari Kemenhut (sekarang Kemen LH Hut) adalah berkejar-kejaranya kerusakan mangrove dengan rehabilitas mangrove. Pada tahun 2014, pemerintah mematok 40 ribu hektar mangrove untuk direhabilitasi.
Salah satu sumber dari pengelolaan mangrove yang tidak optimal di Indonesia terletak kepada ketidaksinkronan program antara pemerintah pusat dan daerah, yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan yang berbeda, termasuk penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah di tingkat daerah yang menyebabkan mangrove sering dikorbankan. Konversi lahan mangrove menjadi daerah industri dan tambak udang menjadi problem utama pelestarian mangrove.
Sebagai contoh adalah bentuk kegagalan tambak udang skala raksasa di Delta Mahakam Kaltim seluas 60 ribu hektar yang menyisakan endapan asam sulfat yang muncul di permukaan tanah di eks area mangrove.
Alih-alih mempertahankan ekonomi berbasis ekosistem mangrove yang ada, konversi menjadi tambak udang skala raksasa telah memunculkan zat kimia dari dalam tanah, yang telah menyebabkan ekonomi berbasis tambak udang di area eks mangrove mangrove kolaps hanya dalam beberapa kali siklus tambak udang saja. Akibatnya, masyarakat yang ada di lokasi tersebut kehilangan mata pencarian dan terpaksa meninggalkan area yang tidak lagi produktif untuk budidaya perikanan.
Kawasan mangrove yang masih baik di Indonesia terletak di Papua, secara khusus di kabupaten Mimika dan Asmat, yang meliputi 69 persen dari seluruh kawasan mangrove di Indonesia. Namun demikian, mangrove yang ada belum mampu dimanfaatkan secara optimal.
Hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada tautan ini