Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama beberapa kelompok masyarakat lain meluncurkan standard operating procedure (SOP) pemetaan partisipatif. SOP bisa menjadi pintu masuk peta partisipatif masyarakat, dalam one map policy. Jadi, diharapkan kebijakan pemerintah ini mempunyai semangat memperjuangkan kepentingan masyarakat.
“Kebijakan one map bisa salah satu pintu masuk penyelesaian konflik agraria,” kata Deny Rahadian, koordinator nasional JKPP, belum lama ini di Jakarta.
Hingga saat ini, sudah 5,2 juta hektar wilayah adat dipetakan melalui fasilitasi masyarakat sipil. Namun, peta ini belum diakui karena terbentur standar alat, pelaku pemetaan dan lain-lain hingga harus ada sertifikasi.
Sesuai dengan UU 14 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, bahwa Badan Informasi Geospasial adalah satu-satunya penyelenggara pemetaan one map. BIG berperan mengintegrasikan seluruh peta sektoral, baik pemerintah, swasta dan lain-lain untuk dijadikan satu peta. BIG harus menyiapkan infrastruktur, sistem dan standardisasi.
“BIG telah menyiapkan panduan dan SOP pemetaan partisipatif untuk mengakodasi data spasial masyarakat. Hanya, masih terdapat perbedaan antara konsep pemetaan partisipatif versi BIG dengan yang dilakukan masyarakat,” kata Deny.
Untuk itu, JKPP membuat SOP pemetaan partisipatif dengan melibatkan akademisi, peneliti dan CSO lain. “Peta partisipatif BIG bahwa masyarakat atau siapapun boleh membuat peta. Tujuannya menambah atau merevisi informasi geospasial dasar. Sedang pemetaan partisipatif menekankan unsur sosial dan hak masyarakat.”
Pembuatan SOP mulai hasil diskusi dengan UKP4, BIG, BPN, Kemenhut dan CSO beberapa waktu lalu. Hasilnya, rekomendasi UKP4 agar JKPP menyusun SOP pemetaan partisipatif.
“Diharapkan SOP ini bisa diusulkan ke Badan Standardisasi Nasional hingga memperoleh sertifikasi SNI dan peta diakui pemerintah, terutama terintegrasi dalam one map.”
SOP ini mendorong komponen sosial dalam peta. Tak hanya persoalan teknis atau grafis, tetapi informasi sosial lebih membuktikan keberadaan masyarakat adat. Bentuknya juga menekankan keterkaitan wilayah dengan hak-hak masyarakat lokal. Dengan informasi sosial spesifik di peta, bisa menguatkan keberadaan masyarakat adat.
Kepala Devisi JKPP Imam Hanafi mengatakan, SOP ini meningkatkan kualitas one map karena merupakan masukan kepada BIG dan pemerintah.
“Kami memiliki kerjasama baik dengan BIG. Yang kami kerjakan disampaikan dan diintegrasikan dengan kerja BIG.”
Ari Dartoyo, kepala bidang standarisasi BIG mengatakan, ada perbedaan persepsi mengenai pemetaan partisipatif. Meski begitu, BIG memfasilitasi berbagai pihak agar berkontribusi dalam mengoreksi peta dasar kalau ada kesalahan. SOP sedang dibuat BIG untuk pemetaan tumpang tindih dan bisa dibawa ke bidang standardisasi.
“Kalau melihat konsep pemetaan partisipatif JKPP, lebih masuk ke informasi geospasial tematik. Semua bisa distandarkan.”
Arifin Saleh, deputi III sekretaris jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, SOP ini inisiatif baru bagaimana pengembangan pemetaan partisipatif. “Ini harus disinkronkan. Apa yang dilakukan JKPP bisa menjawab tantangan kekinian. Dengan SOP, menurut saya seperti gayung bersambut dengan visi misi dan program aksi Presiden.”
Wali Data
Deputi bidang Operasional BP REDD+ William Sabandar mengatakan, perlu satu lembaga khusus yang bisa menaungi pemetaan partisipatif. Selama ini, pemetaan warga tidak diakui.
“Minggu lalu saya ke Papua, bertemu korban investasi perkebunan sawit dan tambang. Mereka mengeluh kehilangan hak lahan. Mereka bingung, sebab pemetaan partisipatif dilakukan tetapi kepada siapa peta harus diberikan?”
Pemetaan partisipatif, katanya, belum ada payung hukum. Negara harus hadir. Selama ini, negara cenderung berkoalisi dengan korporasi merampas sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak masyarakat.
“Pekerjaan rumah adalah siapa wali data pemetaan partisipatif? Kalau tidak ada wali data, berarti pintu masuk ke pengakuan pemerintah belum ada. Menteri Agraria dan Tata Ruang harus didorong siap menjadi wali data pemetaan partisipatif.”