Mongabay.co.id

Mengelola Lahan Gambut dengan Beradaptasi Bukan Merekayasa

Pada 28 Oktober 2014, Abdul Manan,  warga Desa Tohor, membuat petisi mengajak Presiden Joko Widodo, blusukan ke Riau. Tepatnya ke Desa Tohor, Kabupaten Meranti. Buat apa? Buat melihat langsung kondisi masyarakat, kebun masyarakat sekaligus kebakaran lahan gambut sejak perusahaan masuk ke sana. Petisi di Change.org ini, mendapat banyak perhatian. Hampir 28 ribu penandatangan, dalam waktu kurang sebulan.

Gayung bersambut. Belum sebulan, pada 27 November 2014, Jokowi bersama rombonganpun datang ke Desa Tohor. Manan begitu bahagia dan terharu. Jokowi berjanji melindungi gambut, dan mengapresiasi praktik-praktik perkebunan warga dalam mengelola lahan gambut.

Namun, di pulau itu tak hanya kebun warga, sudah ada perusahaan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berjanji mengevaluasi dan mencabut izin HTI akasia, PT Lestari Unggul Makmur.

Setelah itu, bagaimana pengelolaan lahan gambut ke depan?  Dr Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana dan Ahli Gambut Universitas Riau, angkat bicara.

Dia mengatakan, perlu perspektif baru dalam pengelolaan gambut.  “Karena perspektif lama tak cukup berikan solusi pada problem kebakaran,” katanya, dalam diskusi yang dimoderatori Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, di Jakarta, pekan lalu.

Ke depan, katanya, bagaimana mengelola lahan gambut dengan mengembalikan kepada karakteristik semula, yakni gambut basah. “Jadi kita yang beradaptasi. Bukan kita merekayasa, atau  mengubah karakteristik asli (gambut). Gitu.”

Haris mengatakan, kata kunci gambut itu basah (peat swamp), maka pendekatan pembangunan ke sana, bukan merekaya atau mengubah. “Harus pertahankan nomenklatur ini. Karena danau-danau besar terancam jika sekeliling udah dibolong-bolongin dengan kanal.”

Terlebih Riau, katanya, tak ada gunung hingga sumber air hanya ada di lahan gambut. Ia menghidupi kala musim kemarau dan menyimpan air saat musim hujan. “Ini kontrol alam yang luar biasa, yang tak jadi bagian integral dalam pembangunan. Hingga semua diubah. Kalo diubah, ini sistem yang sangat rapuh. Kalo salah, akan berhadapan kebakaran dan penurunan tanah. Dua fenomena itu karena kanal. Gambut berair malah dibuat parit-parit. Jadi kering. Rawan, mudah terbakar.”

Tak hanya itu, katanya, menjaga gambut penting karena pelepasan emisi karbon dari lahan ini sangat besar.

Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, ucap Haris, dalam 17 tahun belakangan, terus menimbulkan kebakaran hutan dan lahan. “Ini menjadi sinyal kuat ada yang keliru. Kita harus mulai dengan sesuatu yang lain.”

Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, sejak September 2014. Kebakaran menyebabkan, asap tebal menyelimuti daerah ini hingga berbagai aktivitas terganggu. Foto: Zenzi Suhadi/Walhi

Dia mencontohkan, kondisi di Riau, dalam tahun 2014 saja, kerugian kebakaran hutan dan gambut, dengan perhitungan kasar lebih Rp15 triliun. Dengan 2.398 hektar Cagar Alam Biosfer terbakar, 21.914 hektar lahan dilalap api, 58 ribu orang terkena ISPA, sekolah libur seminggu dan biaya pengendalian lebih Rp150 miliar.  “Apalah artinya keuntungan sekian triliun, kalau dihitung kerugian gak imbang. Antara gain economic dengan loss economic gak imbang. Kerugian besar sekali.”

Dia mengatakan, dengan pengelolaan lahan gambut kembali ke gambut basah, walaupun tidak instan menghasilkan ekonomi besar tetapi berkelanjutan.  “Selalu didengung-dengungkan ada tiga benefit (kelola hutan dan lahan),  seimbangkan ekonomi, sosial dan lingkungan. Tapi itu kan enak di meja, di lapangan…Mana? Jauhlah…Jadi memang kita harus bangun sesuatu yang baru,” ucap Haris.

Dengan kehadiran presiden, katanya, memberikan harapan dan ketulusan hingga mesti ada tindak lanjut yang sejalan.

Gambut tropis di Indonesia, 22, 5 Mha terluas di Asia Tenggara. Riau memiliki 4,04 juta hektar lahan gambut terluas di Sumatera, dan gambut terdalam tropis di dunia terletak di pantai timur. “Ini riskan kala bicara perubahan iklim. Kalau tak ubah pola lama akan jadi danau-danau besar yang akan menenggelamkan pulau….”

Lanjutkan moratorium

Martua Sirait dari Dewan Kehutanan Nasional menyoroti, pemberian izin-izin pada perusahaan besar tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan sangat membahayakan.

Dia mencontohkan, Riau, dengan hutan dan lahan gambut yang dipenuhi perizinan. Begitu juga Pulau Aru, sebanyak dua per tiga pulau-pulau kecil itu disuguhkan kepada izin skala besar. “Ini rentan buat ekosistem. Diberikan izin tebu, Kemenhut janji mau dicabut tapi belum dicabut,” katanya.

residen Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Foto: Indra Nugraha

Selama ini, pola pembangunan Indonesia, seakan dengan semangat land grabbing (state land lord) atau janji-janji kepada swasta, untuk melepaskan lahan menjadi usaha-usaha skala besar. “Ini berakibat buruk bagi lingkungan, kemiskinan dan konflik.”

Di negeri ini, ada 30 ribuan lebih desa, berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Namun, hutan dibagi-bagi kepada 531 konsesi seluas 35,8 juta hektar, sedangkan kepada hutan masyarakat hanya 57 izin,  dengan 20 ribu desa hanya mengelola sekitar 0,32 juta hektar. Tak pelak, konflik terjadi di mana-mana. “Padahal merekalah (warga) yang mengelola lahan-lahan itu sebelumnya.”

Pemberian izin skala besar inipun, katanya, memicu kerusakan hutan. Sayangnya, upaya pemerintah malah gerakan satu miliar pohon.  “Apakah sanggup dengan menanam ini melawan kecepatan konversi hutan? Yang pasti gerakan tanam itu, kita tahulah, seremonial. Ini masalah struktural perencanan dan pola pikir pengelolaan hutan yang keliru. Ini satu langkah rehabilitasi. Betul. Tapi kecepatan tak mungkin selesaikan itu.”

Era lalu, memang sudah ada kebijakan, seperti moratorium izin hutan dan lahan, tetapi masih belum efektif. Moratorium, katanya, selalu dibatasi tahun. “Ini harus ada langkah pembenahan.”

Seharusnya, kata Martua, moratorium itu berbasis capaian. “Capaian apa? Salah satu one map.” One map, katanya,  mempunyai empat dimensi: satu standar, satu eferensi, satu data base, dan satu portal terbuka kepada publik.

“Ini hal paling penting agar kita bisa tahu mana izin-izin itu, kepada siapa dan apa saja di sana? Ini dituntut kepada pemerintah buat buka ini semua. Ini aset-aset publik yang diberikan kepada badan usaha,” ujar dia.

Untuk itu, kata Martua, ada beberapa agenda besar yang harus dilakukan pemerintah saat ini.  Pertama, review perizinan. “Izin-izin dengan rencana tak matang harus direview. Ia bisa jadi pembatasan izin, pengurangan atau pembatalan.”

Dalam kaji ulang izin itu, katanya, perlu melihat apakah perangkat-perangkat izin legal, korupsi atau tidak. Terpenting lagi, harus ada kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) guna mengukur batas ambang lingkungan atau alam dalam satu wilayah. “Ini pe er besar untuk terbitkan PP KLHS dan jabarkan sebagai perangkat review perencanaan dan pengelolaan lingkungan dan hutan,” katanya.

Kedua, restitusi hak-hak masyarakat, Ketiga, fasilitasi perluasan wilayah kelola rakyat. “Pengembalian hak tak hanya kembalikan saja, harus bisa memastikan tak rusak.”

Sumber: presentasi Martua Sirait, DKN

Nurdiana Darus, Deputi Teknologi Sistem dan Monitoring BP REDD+ juga berbicara mengenai moratorium. Menurut dia, moratorium ini menjadi alat membenahi dan perencanaan ke depan. “One map, dipakai lintas kementerian dan benahi bagaimana sebaiknya peta untuk agraria, kehutanan, kependudukan dan lain-lain.”

Untuk kebakaran hutan dan lahan, katanya, BP REDD+ menguatkan aspek pencegahan. “Yang diperkuat sistem informasi karhutla. Juga evaluasi konsesi dan pengawasan berjenjang,” ujar dia.

Dalam 2015, BP REDD+ akan mengawal beberapa hal, antara lain memantau audit kepatuhan—sudah dilakukan di Riau–, early warning system rawan kebakaran, intensif fasilitasi dengan memasukkan peta indikatif dalam one map/ “Juga audit kepatuhan lanjut ke Kalsel dan Kalteng.”

Dalam kesempatan itu, San Afri Awang, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, banyak sisi harus dilihat dalam mengambil keputusan. “Pasti Kementerian LHK dengan perspektif lingkungan yang baru akan jaga agar hutan tak rusak. Moratorium diteruskan sampai evaluasi benar. Kita tak mau Kalteng terulang di Papua dan Riau,” katanya. Yang dimaksud Kalteng oleh Awang, adalah proyek gagal pembangunan satu juta hektar sawah di lahan gambut era Soeharto.

Menurut dia, Kementerian LHK dari segi kebijakan akan mendorong upaya perbaikan. “Apakah kita peat swamp, adaptif atau mitigasi? Langkah pertama harus setop perizinan baru, sampai selesai evaluasi.”

Bagaimana agar pengelolaan hutan lestari?  “Jangan over harvesting yang lebih dari daya dukung alam. Yang terjadi saat ini, over cutting melebihi daya dukung. Kalo kerusakan hutan,  ya lakukan replanting,” kata Awang.

Warga menyaksikan hutan alam terbakar pada 25 Oktober 2014 di bagian Riau wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Foto: Patar
Exit mobile version