Dalam beberapa kasus yang ditemui, ada indikasi ke pelanggaran HAM berat tetapi masih harus penelitian lebih lanjut.
Setelah Tim Inkuiri Nasional melakukan dengar keterangan umum alias kesaksian sekitar 40-an kasus dari tujuh region, terungkap terjadi begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat adat di kawasan hutan negeri ini.
Dalam kesaksian sejak 27 Agustus di Palu, Sulawesi Tengah hingga Jayapura, Papua, pada 28 November 2014, yang mendatangkan berbagai pihak, dari masyarakat adat, pemerintah dan pengusaha dan aparat keamanan itu, tim komisioner menyatakan, terjadi berbagai pelanggaran HAM, antara lain hak ekonomi, sosial, budaya sampai hak-hak sipil. Bahkan ada kasus-kasus yang terindikasi pelanggaran HAM berat, tetapi harus dilakukan penelitian lebih lanjut.
Sandrayati Moniaga, Ketua Komisioner Inkuiri Nasional mengatakan, pelanggaran HAM banyak terjadi di semua region inkuiri. Hak-hak yang dilanggar, antara lain; hak ekonomi seperti hak mempunyai milik, hak bertempat tinggal dan berkehidupan layak. Lalu hak sosial, yakni hak atas pekerjaan layak. Hak budaya, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi serta melakukan kehidupan budaya.
Paling banyak terlanggar lagi, kata Sandra, adalah hak-hak sipil masyarakat adat, seperti hak hidup; mempertahankan hidup; hidup tenteram, aman, damai, bahagia dan sejahtera; hak perlindungan dari ancaman ketakutan. Lalu, hak tak diganggu tempat kediaman, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perlakuan kejam, hukum yang adil, mendapatkan kepastian hukum, hak melaksanakan kepercayaan, sampai hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik, serta masih banyak lagi.
Dia mengatakan, komisioner menilai, secara umum belum terjadi pelanggaran HAM berat. Karena pelanggaran HAM berat itu ada beberapa indikator, misal ada garis komando.
Dari pemaparan di tujuh region itu, kata Sandra, memang ada beberapa kasus yang mempunyai unsur pelanggaran HAM berat, seperti soal pemindahan paksa di beberapa daerah seperti Kalimantan Utara, Sumbawa dan Halmahera. “Di mana masyarakat dipindahkan paksa, dalam arti tak sepenuhnya mau pindah. Tanah pun diklaim kawasan hutan,” katanya dalam inkuiri nasional penutup di Jakarta, Rabu (17/12/14).
Menurut dia, perpindahan penduduk itu menyebabkan, a kind of affliction (penderitaan) tetapi masih harus diteliti lagi. “Indikasi ada tetapi masuk harus didalami. Kalau pelanggaran HAM berat, harus ada faktor perintah, terstruktur yang diwujudkan lewat surat perintah.”
Mengenai tindakan kekerasan yang terjadi di lapangan dan menimbulkan banyak korban, kata Sandra, itu terjadi spontan. Warga adat yang berkonflikpun, masih tinggal di tanah walau tak memiliki hak kelola wilayah adat. “Jadi, bukan pelanggaran HAM berat. Kalau sistematis dan meluas, jelas.”
Selama ini, katanya, orang melihat sekadar konflik, dengan inkuiri ini bisa melihat dimensi. “Karena itu kita ungkap, gali pelanggaran HAM untuk memperlihatkan kepada pemerintah bahwa kebijakan-kebijakan mereka itu sebenarnya langsung, maupun tak langsung melanggar hak masyarakat.”
Akar konflik
Dari inkuri ini, tim berhasil memetakan sebab-sebab akar konflik. Antara lain, pertama, ketidakpastian hukum pengakuan masyarakat adat. Kedua, ketiadaan batas-batas wilayah yang dianggap sebagai wilayah adat. Ketiga, simplikasi keberadaan masyarakat adat dan hak-hak atas wilayah serta sumber daya hutan menjadi masalah administrasi semata. Keempat, perseteruan antara legalitas vs legitimasi, misal antara masyarakat adat vs perusahaan atau pemerintah.
Kelima, perempuan dalama masyarakat adat masih mengalami diskriminasi berlapis. Keenam, sikap pemerintah atau aparat keamanan lebih melindungi kepentingan perusahaan atau pemegang izin daripada masyarakat adat. Ketujuh, ketiadaan lembaga setingkat menteri dalam penyelesaian konflik-konflik agraria, termasuk kehutanan.
Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, hasil inkuiri nasional ini mengungkapkan bergitu banyak pelanggaran HAM dialami masyarakat adat sudah masuk pelanggaran HAM berat, bahkan mengarah ke genosida. Namun, yang bisa menetapkan itu pelanggaran HAM berat atau tidak, dari komisioner. “Bagi AMAN itu sudah masuk pelanggaran HAM berat, bahkan mengarah ke genosida,” katanya.
Dia mengacu pada kasus-kasus seperti Talang Mamak di Riau, Suku Marind di Papua dengan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan banyak lagi. Mereka kehilangan ruang hidup dan mengalami kekerasan. “Karena sudah mengubah seluruh sistem kehidupan mereka. Semua hak dilanggar. Ada gak teori akumulasi dari bergitu banyak pelanggaran ini menjadi pelanggaran HAM berat.”
Bagian aksi NKB
Bambang Widjanarko, Wakil Ketua KPK mengatakan, inkuiri nasional masyarakat adat ini bagian aksi nota kesepakatan bersama (NKB) 12 kementerian dan lembaga yang dibikin di hadapan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2013.
“Ini salah satu kajian Komnas HAM. Komnas HAM juga terlibat, maka mereka menyelesaikan ini. Jadi bagian turunan masalah dalam NKB. Mengatasi konflik sosial. Kalau konflik sosial, masa’ KPK yang masuk, ya enggaklah.”
KPK, katanya, menjalankan fungsi sebagai pemicu, bagaimana menyelesaikan masalah dan fungsi koordinasi serta supervisi.
Bambang mengatakan, inkuri nasional ini bertujuan memetakan masalah, mencari akar masalah, proses pembelajaran karena semua stakeholders mendengar, dan mencari rekomendasi-rekomendasi paling layak dilakukan. Lalu, penyelesaikan masalah tenur dan HAM dan perbaikan-perbaikan sistemik.
“Jadi memang bukan case per case. Karena kalau case per case, jumlah kasus yang diproduksi dari kekacauan ini jauh lebih banyak dan lebih cepat daripada kemampuan penegak hukum dan penegak hukum itu sendiri.” Menurut dia, penyelesaiaan kasus per kasus ini tak menyelesaikan pokok masalah.
Dari hasil inkuiri itu, katanya, KPK merekomendasikan, beberapa hal. Pertama, moratorium izin-izin dan konsesi perusahaan tambang, perkebunan dan kehutanan bermasalah yang melanggar aturan dan hak masyarakat adat. Kedua, tarik keamanan baik TNI/Polri dari perusahaan (tambang, perkebunanan dan kehutanan). Ketiga, perbaikan sistem kebijakan dan pengelolaan kawasan hutan untuk pencegahan korupsi, sebagai bagian aksi NKB. Keempat, revisi beragam aturan, kebijakan dan regulasi yang tak mendukung pengakuan masyarakat adat atas wilayah di kawasan hutan. Kelima, penyelesaian konflik tenurial kehutanan menyeluruh bagi masyarakat adat. Keenam, penuntasan kasus-kasus HAM serius dan menyeluruh bagi masyarakat adat.
Pada inkuiri nasional di Jakarta, itu hadir perwakilan dari masyarakat adat, kementerian dan lembaga. Mereka memberikan pandangan-pandangan guna melengkapi rekomendasi dari inkuiri nasional ini.