Mongabay.co.id

2014 Masih Tahun Konflik Agraria, Adakah Harapan Perbaikan ke Depan?

“…1.000 Km dari Jambi ke Jakarta. Masyarakat Suku Anak Dalam dan petani dari Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, yang berkonflik  agraria dengan PT Asiatic Persada, PT Jamer Tulen, dan PT Maju Perkasa Sawit…..”

Begitulah spanduk sekaligus dinding tenda aksi di depan Komnas HAM, di penghujung 2014. Ia juga berisi beberapa tuntutan.

Pada Desember 2013, aksi serupa juga dilakukan warga SAD dan petani Jambi di Komnas HAM. Mereka ‘tinggal’ di bagian depan  ruang Panda Nababan. Kini, sudah lebih 27 hari, puluhan warga Jambi, yang berjalan kaki, bertenda di Jakarta, mencari keadilan pengembalian lahan-lahan mereka yang diklaim perusahaan.

Penyelesaian berlarut-larut. Belum ada titik cerah. Kala saya ke sana, Kamis (25/12/14), hujan deras turun. Tenda tak mampu melindungi mereka dari hujan. Kala panas, mereka kepanasan. Kala hujan, harus rela berbasah-basah dan kedinginan. Mereka tak peduli, demi menagih janj-janji kesepakatan yang sudah dibuat bersama pemerintah beberapa tahun belakangan.

Abas Subuh, warga Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi mengatakan, warga SAD memperjuangkan pengembalian lahan seluas 3.550 hektar mencakup antara lain Dusun Padang Salak, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Tanah Menang. “Di luar itu, lahan-lahan petani yang juga terampas perusahaan,” katanya yang juga Ketua Organisasi Kelompok SAD Sub 113, kala itu.

Sayangnya, kata Abas, sudah hampir sebulan di Jakarta, belum ada satu perwakilan pemerintah datang. Padahal, mereka sudah aksi di berbagai tempat seperti ke depan Istana Presiden, Kementerian Koordinasi Polkam, sampai Kementerian Agraria dan Tata Ruang. “Awalnya, kami sekitar 80-an orang. Sekarang tinggal 27-an, banyak yang pulang karena sakit.”

Menurut dia, mereka ke Jakarta, karena menuntut realisasi kesepakatan yang sudah dibuat perusahaan bersama warga dan pemerintah daerah, pada 1 Agustus 2012, antara lain pengukuran ulang obyek hak guna usaha PT Asiatic Persada (AP) seluas 20.000 hektar dan pengukuran areal 3.550 hektar surve mikro. Juga , realisasi surat BPN  5 Oktober 2012 mengenai penyelesaian konflik serupa.

Pada 10 Juli 2012, juga ada kesepakatan dengan Komnas HAM tentang pengukuran areal 3.550 hektar. Lalu, pengambilalihan lahan dan kebun eks PT Jamer Tulen dan eks Maju Perkasa Sawit, yang dikuasai ilegal oleh perusahaan sejak 1993.

“Sekarang ada tim terpadu yang  tangani di daerah bikin pola baru, malah penggusuran warga,” ujar dia.

Menurut dia, tanaman-tanaman seperti padi, ubi kayu, cabai, sayur mayur, karet, sampai durian digusur. “Tanaman makanan petani abis dibuldozer.”

Siti Zaenab, satu dari dua perempuan yang masih tinggal di tenda aksi juga menceritakan hal serupa. Tanaman pertanian, dari padi, cabai sampai karet, miliknya, ludes tergusur. “Kami hanya minta kembali seperti dulu, bisa tanam di kebun,  tak diganggu,” ucap ibu 63 tahun warga Desa Bungku ini.

Setelah tanaman digusur, kini Siti, tak bisa lagi menjadi bertani. “Suami saya kerja seadanya. Ya ikut orang, pokoknya cari kerja,” ujar dia.

Tak mudah bagi Zaenab sampai ke Jakarta, berjalan kaki dari Jambi. Kaki dia sampai lecet-lecet. “Saya sampai nangis waktu di Palembang. Tak kuat. Tetapi setelah mikir ini perjuangan, saya bertekad dan bisa sampai…”

Konflik menggila

Kasus SAD hanya satu dari ribuan konflik agraria di Indonesia. Data yang terekam Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2.860.977 hektar. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain tuh konflik (1,48%).  Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga.

Iwan Nurdin (Sekjen KPA, paling kiri), Eva Bande (pejuang petani) dan Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, kala jumpa pers di Jakarta, awal pekan lalu. Foto: Sapariah Saturi

“Ini hasil laporan anggota KPA, laporan langsung dan pantauan dari media.Ini angka minimum, kondisi di lapangan jauh lebih besar,” kata Iwan Nurdin, Sekjen KPA kala diskusi Catatan Akhir Tahun 2014 di Jakarta, Selasa (23/12/14).

Jika dilihat dari luasan konflik, perikanan dan kelautan mencapai 1.548.150 hektar (54,1%), perkebunan 924,740 ribu hektar (32,32%), dan kehutanan 271,544 ribu hektar (9,49%). Lalu, infrastruktur 74,405 ribu hektar (2,6%), pertanian 23.942 hektar (0,8%), lain-lain 11.242 hektar (0,39%) dan pertambangan 6.963 hektar (0,2%).  Dibanding 2013, terjadi peningkatan 123% atau sebesar 1.579.316 hektar. “Perikanan dan kelautan terbesar karena perebutan konsesi migas dan perbatasan antara negara (Malaysia dan Indonesia).”

Menurut dia, trend peningkatan karena tak ada satu unitpun di pemerintah yang bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria. “Banyak unit yang coba menangani tapi tak bisa….”

Tak hanya itu, kata Iwan, penanganan juga tak terkoordinir. “Menangani saja tak akan menyelesaikan. Yang bisa diselesaikan pengadilan.  Repotnya, selesai di pengadilan  tetapi tak selesai keadilan buat warga,” ujar dia.

Sedangkan, jumlah korban konflik agraria tahun ini juga masih tinggi. Pada 2014, korban tewas 19 orang, luka-luka dianiaya 110 orang, dan ditahan 156 orang. Selama 10 tahun, terekam tewas 85 orang, 110 tertembak, 633 luka-luka aniaya dan 1.395 ditangkap.

Pelaku kekerasanpun tak berubah. “Aktor tetap polisi, tentara dan pam swaskarsa perusahaan. Tiga aktor ini pelaku kekerasan atas nama hukum dan izin di lapangan,” katanya.

Iwan miris karena polisi tak bisa membedakan antara izin dan hak.  “Kalau perusahaan punya izin dianggap berhak, padahal izin itu proses panjang. Kita sayangkan, polisi yang terlibat konflik-konflik keperdataan padahal mereka hanya dibekali kepidanaan.”

Dengan korban kekerasan makin banyak itu, katanya, memperlihatkan cara-cara primitif masih berlangsung dan luar biasa di lapangan. “Gerakan HAM saja menolak menembak mati orang yang proses di pengadilan. Ini hukuman mati orang yang belum proses. Ini pelanggaran HAM. Miris. Harus terus pantau dan hentikan.”

Untuk wilayah penyumbang konflik terbesar, katanya, Riau menduduki posisi tertinggi,  52 kasus, disusul Jawa Timur 44, Jawa Barat 39, Sumatera Utara 33, Sumatera Selatan 33, Jawa Tengah 26, Jakarta 25, Banten 20, Sulawesi Selatan 19 dan jambi 17 kasus. “Bukan berarti di Kalimantan gak ada konflik. Ini yang meletup tahun ini,” ucap Iwan.

Tak jauh beda dikatakan Dianto Bachriadi, Wakil Ketua Komnas HAM. Dia mengatakan, problem terus menerus muncul dan akut tetapi tak pernah ada solusi.  “Saya setuju, konflik agraria penuh pelanggaran HAM. Sesudah pelanggaran-pelanggaran itu berturut-turut terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM lain. Kalo tak diselesaikan, problem tak akan selesai,” ujar dia.

Dia mengatakan, laporan konflik yang masuk ke Komnas HAM, pada 2012 sekitar 6.200, 2013 hampir 7.000. “Pada 2014 di atas 7.000, 20% konflik agraria dan penggusuran paksa. Kalau tak dilesaikan konflik akan ada terus.”

Masinton Pasaribu, Komisi III DPR mengatakan, dalam menyelesaikan konflik agraria pemerintah memang harus melakukan langkah-langkah lebih.  “Harus ada kebijakan-kebijakan yang lebih lindungi kepentingan rakyat,” katanya. Terlebih, eskalasi kekerasan oleh pelaku, baik polri, TNI dan preman perusahaan, makin tinggi.

Dalam penyelesaian konflik, Polri malah menugaskan Brimob, bukan negoisator. “Saya ingin Kapolri ada SOP khusus, misal tangani petani jelas, jangan rakyat dikriminalisasi!” Pemerintah, katanya,  jangan hanya pakai cara-cara biasa mengatasi beragam konflik ini, apalagi malah membiarkan.

Dia berharap, dengan ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang, maka “paku-paku” itu bisa makin menancap hingga sampai puncak dan keadilan masyarakat bisa terwujud.

Eva Bande, pejuang petani dari Sulawesi Tengah, yang baru mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo mengatakan, konflik agraria di Indonesia, sudah akut dan darurat. Konflik terjadi di mana-mana, seperti di Sulawesi Tengah. “HTI, HGU…Brengsek lagi,  bupati bisa keluarkan IUP dan mereka modus dipecah-pecah hingga gak perlu izin kementerian. Di daerah,  pengusaha biayai pilkada hingga mudah jaga kemapanan investasi.  Satu perusahaan bisa dipecah-pecah sampai 10 atau lebih anak usaha.”

Sisi lain, tanah-tanah rakyat yang tak memiliki surat-surat legal, misal tanah adat, bisa seenaknya diklaim perusahaan maupun pemerintah. “Tiba-tiba izin datang dan klaim. Ini yang terjadi.”

Sebenarnya, kata Eva, presiden tinggal memilih kebijakan yang akan dikeluarkan. “Dimusuhi segelintir pengusaha tapi dibela rakyat, atau sebaliknya.”

Pemerintahan ini, katanya, ada sinyal positif. Dalam statemen-statemen Jokowi kala pidato, tegas menyatakan, tak boleh lagi ada kriminalisasi pada pejuang agraria. Namun, ucap Eva, kriminalisasi itu hanya dampak dari konflik-konflik berkepanjangan dengan perusahaan maupun pemerintah yang menyebabkan warga tersingkir dari wilayah hidup. “Akar masalah yang harus diselesaikan.”

Eva optimistis, pemberian grasi ini sebagai pembuka. “Ada sinyal baik yang diberikan… saya kira rakyat akan mendukung… Tak boleh berakhir pada Eva Bande..mesti ada grasi-grasi dan konflik juga diselesaikan…”

Hutan yang dibelah PT TPL untuk membuat akses jalan. Di areal ini juga lokasi peristiwa penangkapan warga adat Pandumaan-Sipituhuta. Foto: Made Ali

Langkah ke depan?

Guna menyelesaikan konflik agraria menggunung ini, kata Iwan, KPA merekomendasikan beberapa hal. Pertama, pembentukan badan ad hoc penyelesaian konflik agraria. Kedua, penghormatan, pengakuan, pemulihan hak-hak korban kriminalisasi dan kekerasan. Ketiga, pelaksanaan reforma agraria. “Janji land reform Jokowi dalam Nawa Cita melalui redistribusi tahan 9,2 juta hektar bagi petani dan masyarakat miskin harus jalan.”

Menurut Iwan, grasi kepada korban kriminalisasi konflik agraria pemerintah lalu memang penanda baik. Namun, katanya, harus didorong agar realisasi terus berjalan.

Dia mengatakan, banyak pekerjaan rumah pemerintah ke depan. Jika penyelesaian konflik agraria tak menjadi prioritas, akan mengulang sisi gelap pemerintah sebelumnya. “Terlalu sering berwacana tapi tak ada aksi nyata di lapangan terkait konflik agraria.”

Dianto mengungkapkan, sejak era Presiden Megawati Soekarno Putri, Komnas HAM sudah mengusulkan konsep penyelesaikan konflik yang sistematik namun belum terealisasi. “Era itu sudah minta bikin komisi khusus tangani penyelesaian konflik agraria.”

Komisi khusus itu penting, katanya, karena beberapa alasan, antara lain lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan tak memadai. Kalau ke pengadilan, misal perdata, dari sejumlah data, kurang saru satu persen kasus dimenangkan masyarakat.  “Jadi 99 persen menang pihak lain,  mayoritas korporasi.

Alasan lain, hampir tiap unit di kementerian punya bagian penyelesaian konflik tetapi yang diurus malah proses administrasi penerbitan izin yang mereka keluarkan. “Tak menyangkut nasib bagaimana lahan masyarakat  yang diambil. Kalo gak ada lembaga khusus menyelesaikan konflik agraria, massif, sistematis dan cepat, sulit. Komnas HAM berulang-ulang rekomendasi.”

Senada dikatakan Eva Bande. Dia mengusulkan harus ada satgas khusus penyelesaian konflik agraria. “Bukan hanya pemetaan tapi penegakan hukum.”

Konflik agraria di Indonesia, katanya, sudah akut dan darurat. “Kalau gak diselesaikan akan konflik terus.  Karena pemodal kerja terus. Pengusaha kerja karena ada izin dari pemrintah.” Untuk itu, pemerintah harus menyelesaikan masalah ini dengan melibatkan pihak-pihak kredibel.

Eva mengatakan, penyelesaikan konflik agraria tak bisa lagi kasus tak boleh lagi kasus per kasus hingga harus ada satgas khusus. “Tak boleh main-main lagi kita, karena sudah banyak kriminalisasi.” Dia berharap, awal tahun sudah ada kemajuan mengenai pembentukan satgas ini.

Dia bercerita, kala bertemu Jokowi, juga menyampaikan pentingnya satgas khusus ini. Namun, katanya, tak hanya cukup membentuk satgas, orang-orang yang duduk di sana harus kredibel, dengan melibatkan masyarakat sipil.  “Kalau tidak gagal lagi upaya selanjutnya.”  Hal penting lain,  katanya, penegakan hukum juga harus jalan.

Masinton menambahkan, Kementerian  Agraria dan Tata Ruang, tak bisa menyelesaikan konglik sendirian. “Dengan model gini harus ada upaya radikal.  Ada badan khusus. Hingga rakyat gak dikriminalisasi.”

Binbin Firman, Koordinator Serikat Tani Nasional mengatakan, pemerintah mesti menyelesaikan darurat agraria ini. “Memang harus ada intervensi langsung dari presiden. Karena situasi sudah darurat. Entah itu apa namanya panitia nasional, satgas. Okelah, satgas penyelesain konflik agraria, segera inventarisasi kasus-kasus agraria, yang berdampak krusial besar,” katanya.

Penyelesaian konflik-konflik agraria memang harus lebih komprehensif. Seluruh penyelesaian konflik, kata Binbin, harus berbasiskan Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD’45. “Karena kalau melenceng dari itu, tak akan menyelesaikan masalah. Menurut kami problem dasar dari konflik agraria ini karena pemerintah tak konsisten terhadap pelaksanaan UUPA dan Pasal 33 UUD 45.” Dia setuju pembentukan segera satgas  yang berisi para penggiat agraria dan langsung di bawah presiden.

Abdon Nababan (kiri) kala penandatanganan penyerahan peta wilayah adat sebanyak 4,8 juta hektar kepada kepala BP REDD+, Heru Prasetya, awal pekan lalu di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Kabar bagi masyarakat adat 

Sejalan dengan KPA, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menyatakan, pada 2014 ini masih tahun konflik, meskipun ada sinar cerah ke depan.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, pada tahun politik ini, dari 185 kader AMAN maju di pemilu legislatif, 25 orang berhasil ke parlemen.  “Walaupun kecil,  teman-teman yang terlatih, sudah agendakan di parlemen. Di kabupaten ada program legiaslasi daerah, setidaknya ada tujuh kabupaten siap proses peraturan daerah,” katanya dalam diskusi Catatan Akhir Tahun AMAN di Jakarta.

Pada pemilihan presiden, katanya,  AMAN secara organisatoris memberikan dukungan resmi pada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dari sana, setidaknya, ada enam komitmen untuk masyarakat adat.

Pertama, tinjau ulang seluruh peratuan UU terkait penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, khusus sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang diamanatkan Tap MRP 2001. Kedua, lanjutkan proses legislasi RUU yang sebenarnya bisa disahkan periode parlemen lalu. “Komitmen kedua ini jadi sangat penting untuk dipegang.”

Ketiga, memastikan proses-proses legislasi terkait masyarakat adat pada UU sektoral. “Karena UU sektoral banyak atur hak-hak masyarakat adat, satu sama lain saling tumpang tindih hingga UU sektoral tak bisa bekerja sesuai harapan,” ucap Abdon.

Keempat, mendorong inisiatif RUU terkait konflik-konflik agraria. “Ini masalah utama masyarakat adat. Konflik ada di mana-mana.” Kelima, komitmen presiden membentuk komisi independen untuk kerja-kerja intensif menyiapkan kebijakan dan kelembagaan khusus menyangkut penghormatan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. “Ini harus segera dilakukan pemerintah baru.”

Keenam, melaksanakan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hal ini, katanya, sudah dinyatakan dalam Nawa Cita tetapi AMAN harus bekerja bersama pemerintah memastikan enam komitmen ini berjalan.  “Kami bayangkan, 2015 itu tahun kerja keras masyarakat adat bersama pemerintah.”

Untuk itu, AMAN mengambil langkah, antara lain dengan memberi masukan-masukan kepada presiden. “Apa yang kami sampaikan, segala rancangan, gagasan juga bentuk-bentuk kerja sama yang diusulkan di rumah transisi agar bisa dijalankan pemerintah.”

AMAN, kata Abdon, sebelum ini menyuarakan pembubaran Kementerian Kehutanan. Jokowi mengambil jalan menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kementerian gabungan ini, katanya,  penting bagi masyarakat adat karena sekitar 80% wilayah adat di kawasan hutan. Dengan penggabungan ini,  Abdon berharap, kemacetan-kemacetan bisa terbuka. AMAN juga menyambut baik kementerian agraria dan tata ruang.

Sumber : KPA

“Ini bisa jadi harapan masyarakat adat. Masyarakat adat daftarkan dan jadi pengakuan. Kalau LHK bersama-sama masyarakat  adat menjaga fungsi hutan dan pastikan hutan berfungsi buat banyak orang dan beguna bagi banyak orang di dalam dan luar negeri. Kementerian Agraria pastikan status wilayah adat sebagai hak masyarakat adat. Kami ada harapan besar…”

Saat ini, katanya, setidaknya, ada 20 kementerian bersentuhan dengan hidup masyarakat adat. Kondisi ini, cukup berat bagi masyarakat berinteraksi dengan 20 kementerian ini. “Untuk ringankan, dalam 2015, kami berharap komisi nasional urusan masyarakat adat terbentuk.”

Dengan begitu, kata Abdon, ada sinergi dan koordinasi, antara persoalan-persoalan dan pelayanan agar 20 kementerian. “Kami tak bisa bayangkan kalau setiap kementerian bikin sesuatu di wilayah masyarakat adat. Akan banyak institusi di masyarakat adat yang bisa rusak tatanan mereka.”

Kabar buruk

Tahun 2014, bukan hanya ada hal-hal yang memberikan harapan, cerita-cerita sedih bagi masyarakat adat terjadi.  Tahun ini, RUU masyarakat adat tak selesai. “Hanya karena Menteri Kehutanan tak bisa mengesahkan.”

Mengapa? Sebab, kala itu rapat-rapat hanya diikuti staf yang tak punya wewenang hingga pansus DPR tak bisa memutuskan. “Mudah-mudahan tahun 2015, tak terjadi lagi.”

Abdon berharap, pada 2015, Kementerian Hukum dan HAM bisa mengambil inisiatif mendorong RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat bisa dibahas kembali di DPR. “Dimotori Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri. Bukan kementerian sektoral seperti Kemenhut lalu, terlalu banyak kepentingan hingga hal-hal mendasar tak dibahas baik.”

Dia juga menjabarkan, kabar baik pada 2013, dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, belum menjadi kebaikan bagi masyarakat adat.  Di lapangan, kriminalisasi masyarakat adat sangat tinggi dan luar biasa.”Hampir di seluruh tempat. Paling tinggi justru terjadi di kawasan-kawasan konservasi. AMAN mencatat di Sumatera Selatan, Bengkulu dan Sulawesi Selatan. Mereka diadili tanpa mempertimbangkan sejarah masyarakat adat. Jadi, 2014,  masih tahun peti karat dan kekerasan bagi masyarakat adat.”

Dia mencontohkan, di Sumsel, lebih 100 bangunan masyarakat adat dirobohkan BKSDA karena berkonflik dengan suaka margasatwa. “Konflik-konflik ini, pembiaran. Mudah-mudahan tak terjadi di 2015.”

Saat ini, penjara-penjara di berbagai tempat ada para aktivis dan masyarakat adat, karena menggarap dan mempertahankan wilayah adat jadi korban kriminalisasi.

Harapan ke depan?

Menurut Abdon, pada 2015, ada banyak harapan besar, salah satu inisiatif Komnas HAM menyelesaikan pelanggaran HAM di wilayah adat masuk kawasan hutan lewat inkuiri nasional. “Inkuiri berlangsung sejak Agustus dan berakhir 17 Desember 2014.

Harapan AMAN, presiden akan memperhatikan hasil atau rekomendasi-rekomendasi inkuri nasional.  Temuan inkuiri nasional itu, ada sekitar 30-an jenis pelanggaran HAM dialami masyarakat adat dari hak sipil, sosial, ekonomi dan budaya.

“Itu luar biasa. Saya masih penasaran mendengar hasil rapat pleno Komnas HAM, apakah dengan 30 bentuk pelanggaran HAM yang massif lewat instrumen negara akan dikategorikan pelanggaran HAM berat atau bukan. Yang jelas, semua bentuk-bentuk pelanggaran ini harus dihentikan. Saya tahu, negara tak bisa bayar kerugian yang dialami masyarakat adat.”

Dengan temuan-temuan itu, bisa menjadi landasan memulai rekonsiliasi nasional pada 2015. “Rekonsiliasi nasional dengan pemerintah akan jadi momentum bagus, karena segala sesuatu sudah disiapkan Komnas HAM lewat inkuiri nasional.”

Dengan rekonsiliasi ini, katanya, akan mudahkan memasuki zaman baru. “Kita tahu banyak penderitaan, kerugian dan nyawa hilang selama UU Kehutanan sejak 1967. Bukan hanya itu banyak UU lain yang sebabkan penderitaan masyarakat adat.  Saatnya, inisiatif Komnas HAM, tahun 2015 jadi masa rekonsiliasi,” ucap Abdon.

Dia mengatakan, sikap presiden memberikan grasi kepada Eva Bande, merupakan sinyal positif.  “Saudara-saudara di penjara dan alami proses peradilan hanya karena garap tanah adat mereka seharusnya dapat grasi. Mudah-mudahan ini didapatkan awal tahun 2015.”

AMAN juga ingin mendorong, pemerintah menyediakan satgas di bawah kendali presiden. Satgas bagi masyarakat adat, katanya, sangat perlu karena tumpukan masalah tak mungkin selesai dalam waktu dekat oleh kementerian atau lembaga. “Unit kerja ini sangat diperlukan ada di kantor presiden.”

AMAN mendesak, pelanggaran HAM yang sudah ditemukan oleh Komnas HAM, agar mendapat jalan keluar tuntas. “Kami rekomendasikan pada pemerintah supaya komitmen ini dikerjakan bersama-sama, melibatkan masyarakat adat, dan semua pihak. Kami yakin, masalah besar ini tak bisa hanya dipikul presiden dan wakil.”

Dia juga meminta,  DPR segera memasukkan kembali RUU masyarakat adat menjadi agenda prioritas 2015. “Kami ingin keseriusan pemerintah mengawal ini. Jangan seperti pemerintah lalu. Pemerintah baru sudah komitmen resmi bisa kawal serius. Kami juga dorong inisiatif ada di level pemerintah daerah dan Permendagri Perlindungan Masyarakat Adat,  bisa dapat perhatian seluruh pemerintah di Indonesia.”

Abdon berharap, hal-hal baik dalam kebijakan dan praktik yang berdampak bagi masyarakat adat terus berlanjut ke depan.

Inkuiri nasional masyarakat adat region Sulawesi yang dilaksanakan di Palu, Sulawesi Tengah. Komnas HAM, sekitar dua bulan, melakukan dengar keterangan umum kasus-kasus yang menimpa masyarakat adat di kawasan hutan di tujuh region di Indonesia. Hasilnya, temuan telah terjadi berbagai pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Foto: Christopel Paino
Exit mobile version