,

Jikalahari Desak Jokowi Meninjau Ulang Izin Usaha di Atas Lahan Gambut

Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ketujuh, merealisasikan komitmen meninjau ulang perizinan perusahaan yang beroperasi di atas lahan gambut.

Desakan itu untuk menindaklanjuti pernyataan Jokowi ketika didampingi Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan , Arsjadjuliandi Rachman Plt Gubernur Riau dan Irwan Nasir Bupati Kepulauan Meranti berkunjung ke Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Propinsi Riau pada 27 November 2014.

Kehadiran Jokowi, atas petisi yang dibuat oleh Abdul Manan, warga Sungai Tohor di change.org yang berhasil mengumpulkan 25.000 dukungan agar  Riau bebas asap akibat lahan gambut terbakar sejak tujuh belas tahun silam.

“(Gambut) yang dikelola masyarakat biasanya ramah terhadap lingkungan, tapi kalo diberikan kepada perusahaan biasanya monokultur ditanami akasia dan sawit, menyebabkan masalah ekosistem. Perusahaan-perusahaan yang mengkonversi gambut menjadi tanaman monokultur agar ditinjau kembali (izinnya),” kata Jokowi.

Jikalahari juga mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, segera meninjau ulang produk hukum kementerian kehutanan berupa Permenhut, Keputusan atau Surat Edaran yang mengizinkan perusahaan HTI menebang hutan alam di atas lahan gambut, termasuk pemberian izin baru dan perluasan izin baru.

Mereka juga mendesak BP REDD+, agar mengajukan 10 perusahaan (5 HTI dan 5 Sawit) yang sudah ditetapkan tersangka oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 2013 dan 2014 ke pengadilan. Sejauh ini baru Polda Riau yang cukup sukses membawa dua perusahaan pembakara lahan sampai ke Pengadilan.

Jikalahari juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), segera menetapkan 27 perusahaan HTI sebagai tersangka korupsi menebang hutan alam yang merugikan keuangan negara dan menyuap pejabat, termasuk menetapkan tersangka pemberi izin kepada PT SAL

Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari mengatakan tanaman monokultur penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Riau. “Umumnya kebakaran hebat terjadi di areal perusahaan-perusahaan bergerak di industri pulp and paper dan perkebunan kelapa sawit. Selebihnya, kebakaran hutan dan lahan terjadi di areal hutan yang dilindungi yang dirambah oleh masyarakat yang dibiayai oleh cukong dan pemodal,” katanya dalam rilis Catatan Akhir Tahun 2014 Jikalahari bertajuk “Presiden Joko Widodo Harus Mereview Izin Korporasi Di Atas Hutan Alam Dan Gambut Riau” yang dirilis pada Rabu (31/12/2014).

Jikalahari mencatat jumlah titik api sepanjang tahun 2014 total 20,827  titik api. Titik api terbanyak terdapat pada areal gambut sebanyak 18.867 titik api dibanding pada areal mineral soil sebanyak 1.960 titik api. Titik api juga ditemukan terbanyak di areal hak guna usaha (HGU) atau perkebunan kelapa sawit sebanyak  9.126 titik api. Areal HTI  ditemukan sebanyak 3.668 titik api dan di areal HPH  sebanyak 349 titik api.

“Tahun 2014 peristiwa kebakaran hutan dan lahan terbesar di Riau. Titik api meningkat drastis pada gambut yang pada tahun 2013 hanya 10.917 titik api, tahun 2014 menjadi 20.827  titik api,” kata Muslim.

Selain merekam titik api, sepanjang tahun 2013 – 2014, Jikalahari juga mencatat telah terjadi deforestasi sekira 174.027,82 hektare di kawasan hutan yang masih memiliki tutupan hutan alam. Penebangan Hutan Alam terbesar terjadi di areal IUPHHKHTI (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri) yaitu areal yang ditanami pohon akasia dan ekaliptus untuk pulp and paper) seluas 55.775,09 ha. Di Riau hanya dua grup besar yang mengelola HTI akasia-ekaliptus yaitu grup APRIL (Raja Garuda Eagle) dan APP (Sinarmas Grup).

Penebangan hutan alam juga terjadi pada: kawasan konservasi seluas 12.308,61 ha, hutan lindung seluas 12.359,57 ha, IUPHHK-HA/HPH seluas 7.547,47 ha, HGU seluas 34.319,8 ha dan pada areal lainnya seluas 51.717,28 Ha.

Peta deforestasi hutan di Riau. Sumber : Jikalahari
Peta deforestasi hutan di Riau. Sumber : Jikalahari

“Di Riau perusahaan dengan tanaman monokultur seperti HTI dan Sawit perusak utama hutan alam dan gambut dalam di propinsi Riau, bahkan dua industri tersebut terindikasi kuat telah melakukan praktek monopoli,” kata Muslim Rasyid.

Tak jauh dari Pulau Tebing Tinggi, di Pulau Padang masih bagian dari Kabupaten Kepulauan Meranti pada 18 Oktober 2014, Mongabay Indonesia melihat langsung tiga alat berat berupa eskavator sedang menebang hutan alam dan menggali gambut dalam untuk pembuatan kanal di Desa Bagan Melibur. Kayu-kayu alam yang sudah ditebang lantas ditumpuk di sisi kanal. Sekitar tiga hektare hutan alam sudah ditebang oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP).

Penebangan itu telah berlangsung lama. Hasil investigasi Eyes on the Forest yang dipublish pada pertengahan November 2014 bertajuk  “Penghancuran berlanjut oleh APRIL/RGE: Operasi PT. RAPP melanggar hukum dan kebijakan lestarinya di Pulau Padang”, menyebut dari tahun 2011 hingga 2012, PT RAPP telah menebang hutan alam sekitar 21.000 hektar.

Jikalahari juga menemukan penebangan hutan alam dan penggalian gambut untuk dibuat kanal terjadi di dalam kawasan PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa salah satu pemasok kayu untuk Asia Pulp and Paper. Pada Agustus 2014 Jikalahari menemukan satu unit alat berat sedang bekerja membuat kanal dan jalan pada konsesi PT. MSK di area “community use”.

Menurut pantauan lapangan investigator Jikalahari, alat berat ini telah bekerja mulai bulan Agustus 2014 dan telah membuat kanal dan jalan lebih kurang lima kilometer. Alat berat ini diduga milik perusahaan perkebunan PT Setia Agrindo Lestari / PT SAL (first resources group/Surya Dumai Grup).

Diperkirakan areal PT SAL tumpang tindih dengan PT MSK lebih kurang 2.000 hektar, hal ini sesuai dengan alokasi areal “community use” seluas sekitar 2.000 ha. Penebangan hutan alam juga dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SAL  tergabung dalam First Resources milik Martias.

Pada 16 Agustus 2014 Mongabay Indonesia bersama Walhi Riau dan warga berjalan kaki dari Desa Pungkat, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir menembus hutan, hampir tiga jam dan menemukan di tempat kejadian alat berat yang dibakar oleh warga.

Alat berat milik PT Mutiara Sabuk Katulistiwa (MSK) dengan PT Setia Agro Lestari (SAL) melakukan pembuatan kanal di areal moratorium SMG/APP di kawasan yang menjadi komitmen moratorium. Foto : Jikalahari
Alat berat milik PT Mutiara Sabuk Katulistiwa (MSK) dengan PT Setia Agro Lestari (SAL) melakukan pembuatan kanal di areal moratorium SMG/APP di kawasan yang menjadi komitmen moratorium. Foto : Jikalahari

Khusus di parit 9, tim melihat bekas tapak ban beko atau alat berat untuk menebang pohon-pohon tinggi. Sekitar 3 hektar hutan telah ditebang oleh PT SAL. Di daerah parit 9 dan 10 ada pondokan milik warga yang di samping pondokan mereka tanami pisang, nenas dan lainnya. Khusus di parit 10, tim melihat 4 alat berat bekas tebakar masih berdiri. Dua pondokan rumah sudah hangus rata dengan tanah, dan satu mesin robin.

 Saat Jikalahari mengambil titik menggunakan alat GPS dan menumpang tindih data tersebut dengan areal perizinan PT SAL. Hasilnya penebangan hutan dan lokasi alat berat PT SAL berada di luar izin lokasi seluas 17.095 ha yang diberikan oleh Bupati Indragiri Hilir tahun 2013. “Dan PT SAL juga belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Sementara PT SAL sudah menebang kayu hutan di parit 9 dan parit 10,” tulis Jikalahari dalam Catatan Akhir 2014.

Laporan Korupsi Terkait Kehutanan Ke KPK

Selain berisi penebangan hutan alam dan kebakaran hutan dan lahan gambut, dalam Catatan Akhir 2014, Jikalahari juga menyoroti korupsi kehutanan Riau.

Pada Selasa 16 September 2014 Jikalahari bersama Koalisi Anti Mafia Hutan melaporkan 27 korporasi tanaman industri akasia-ekaliptus ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi kehutanan berupa merugikan keuangan Negara dan menyuap penyelenggara negara saat memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Propinsi Riau sepanjang tahun 2002-2006. Ke-27 korporasi tersebut terafiliasi dengan grup APP dan grup APRIL. Koalisi juga melaporkan pemberi IUP PT SAL kepada KPK.

Tujuh korporasi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) telah menebang hutan alam seluas 120.745 hektar sepanjang 2002-2006 untuk ditanami akasia-ekaliptus. Thamsir Rachman, Bupati Indragiri Hulu telah menerbitkan IUPHHK-HT di atas hutan alam sepanjang tahun 2002-2003 untuk PT. Artelindo Wirautama, PT. Citra Sumber Sejahtera, PT. Bukit Batabuh Sei Indah, PT. Mitra Kembang Selaras dan PT. Sumber Maswana Lestari.

HM Rusli Zainal, Bupati Indragiri Hilir telah menerbitkan IUPHHK-HT di atas hutan alam kepada PT Bina Duta Laksana dan PT. Riau Indo Agropalma sepanjang tahun 2002.  Dengan menerbitkan IUPHHKHT, Thamsir Rachman dan HM Rusli Zainal telah melanggar aturan terkait kehutanan.

“Koalisi juga melaporkan 20 perusahaan HTI di Siak dan Pelalawan yang terlibat dalam perkara Gubernur Riau, Dua Bupati dan tiga kepala dinas yang sudah berkekuatan hukum tetap,” kata Boy Even Sembiring dari Koalisi Anti Mafia Hutan.

Selain melaporkan korupsi sgektor kehutanan ke KPK, Jikalahari bersama Riau Corruption Trial memantau langsung di Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap terdakwa Gulat Medali Emas Manurung. Gulat Manurung dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau juga Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia menyuap Annas Mamun Gubernur Riau sekira Rp 2 miliar untuk mengubah status kebun sawitnya, dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan/area penggunaan lainnya (APL).

Menurut dakwaan jaksa, kebun sawit berada di Kabupaten Kuantan Singingi seluas 1.188 hektar dan Bagan Sinembah Rokan Hilir seluas 1.214 hektar. Perkembangan kasusnya bisa diikuti di twitter @riaucorruption.

“Jokowi juga harus menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK untuk memperbaiki dan meninjau ulang izin perusahaan HTI dan Sawit termasuk terkait pelepasan kawasan hutan untuk RTRWP Riau. Sebab kuat dugaan izin menebang hutan alam di atas gambut penuh kongkalikong antara pengusaha dengan pemberi izin,” kata Muslim.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,