Mongabay.co.id

Bagaimana Nasib BP REDD+ Era Pemerintahan Jokowi?

“Kini, Indonesia memiliki peralatan lengkap untuk mengambil tempat sebagai pemimpin global dalam perlindungan alam, dan hutan tropis, yang berperan penting dalam perang melawan perubahan iklim.” Demikian pernyataan resmi dari Kementerian Lingkungan Norwegia,  menyambut kelengkapan BP REDD+ lewat penunjukan Heru Prasetyo menjadi kepala, pada Desember 2013.

BP REDD+, mungkin berbeda dengan badan atau lembaga lain, ia dibentuk dengan proses cukup lama, sekitar tiga tahun, dari 2010-2013! Lewat Keputusan Presiden No 62/2013 ia terbentuk dengan tujuan memastikan upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada presiden.

“Proses mendirikan badan ini berlangsung lama dan menyeluruh. Badan ini bukti komitmen Indonesia berkontribusi terhadap upaya global mengurangi emisi karbon, melestarikan hutan Indonesia yang memiliki keragaman hayati luar biasa,” kata Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim pada September 2013.

Badan ini, katanya, salah satu elemen utama dalam melaksanakan komitmen REDD+ di Indonesia, antara lain, memastikan keberlangsungan kemitraan REDD+ antara pemerintah Indonesia dan Norwegia.

Kini memasuki era pemerintahan baru. Presiden Joko Widodo, menekankan efesiensi di pemerintahan, sekitar 10 badan sudah dihapus. Nasib BP REDD+ belum diputuskan.  Baru-baru ini muncul usulan dari Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk melebur BP REDD+ ke dalam direktorat di Kementerian LHK.

Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ mengatakan, kala pemerintahan SBY akan berakhir, BP REDD+ mengajukan dua usulan, pertama, tetap seperti Perpres 62 berada di bawah sekretariat negara. Kedua, BP REDD+ menjadi badan mandiri dengan memodifikasi Perpres 62. “Dua hal ini belum tuntas. Ini masih bagian dari diskusi,” katanya di Jakarta, Jumat (9/1/15).

Pada pemerintahan Jokowi, katanya, BP REDD+ hampir tiap minggu melaporkan kepada presiden apa yang sudah, sedang dan akan dijalankan. Komunikasi dengan Sekretaris Kabinet, Andi Widjayanto, terus dilakukan. “Setiap surat yang kami kirim itu ada respon. Surat disambut setkab dan didisposisikan kepada Menko dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar dia.

Pada 6 Januari 2015, Heru Prasetyo, Andi Widjayanto dan Siti Nurbaya, bertemu membahas posisi BP REDD+. Dalam rapat itu dibahas struktur kementerian gabungan ini dengan sembilan direktorat, dan lima atau enam staf ahli. Salah satu Direktorat Pengendalian dan Perubahan Iklim. “Ada pemikiran perlu center atau institusi yang kepakarannya bisa dimanfaatkan Kementerian LHK untuk mem-back up soal perubahan iklim.” Di sini, Bu Siti berkeinginan BP REDD+ berada di dalam direktorat ini. “Dibahas struktur sebaiknya bagaimana? Masuk kementerian atau bagaimana? Saya bilang akan pikirkan dan diskusikan lagi,” katanya. Jadi, dalam pertemuan itu tak ada keputusan kalau BP REDD+ dilebur ke dalam Kementerian LHK.

Bagi Heru, hingga kini usulan BP REDD+ belum ada perubahan, diasuh setneg atau berdiri sendiri. “Harapannya, bangun BP REDD+ ini tak hanya dihentikan dalam satu pemerintahan, karena ini esensial.”

Pemerintahan baru, katanya, sedang berbenah dan mereformasi diri. “Keberadaan BP REDD+ bisa menjadi pantulan positif di dalam kementerian yang tengah reformasi.”

Dia berharap, Presiden Jokowi mendapatkan informasi mengenai peran penting keberadaan BP REDD+ dalam komitmen kaitan perubahan iklim. “Keputusan BP REDD+ itu di tangan presiden.”

Meskipun usia terbilang muda, tetapi beberapa aksi digagas badan ini, antara lain terkait usaha pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Pada September 2014, BP REDD+ bersama beberapa kementerian launching pengukuhan dan pengakuan masyarakat adat lewat REDD+.  Bersama beberapa kementerian, BP REDD+ juga audit perusahaan dan pemerintah daerah terkait penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Audit pertama di Riau, dan hingga kini BP REDD+ terus memonitoring perkembangannya. Menyusul beberapa provinsi lain seperti Kalimantan Tengah. Pada akhir 2014, BP REDD+ juga menjadi wali data peta partisipatif wilayah adat sementara, sebelum diserahkan kepada Kementerian Dalam Negeri, yang masih melakukan persiapan infrastruktur.

Siti Nurbaya, Menteri LHK membenarkan jika mengusulkan BP REDD+ masuk dalam direktorat di Kementerian LHK. Selama ini, katanya, pengendalian perubahan iklim ditangani beberapa lembaga antara lain, Kementerian LHK, BP REDD+ dan Dewan Nasional perubahan iklim (DNPI).  “Iya itu usulan saya. Agar tak tumpang tindih. Tapi itu usulan, keputusan ada pada presiden,” katanya, Kamis (8/1/15).

Bagaimana dana-dana yang dikelola BP REDD+ jika masuk direktorat di LHK? “Itu nanti tetap mereka yang tangani, tak ada masuk ke kementerian, malah susah kalau nanti kalau dikelola kita.”

Kementerian LHK, kata Siti,  telah menyelesaikan struktur kelembagaan meliputi sembilan fungsi lini yakni, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ditjen Konservasi SDA dan Ekosistem, dan Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung. Lalu, Ditjen Pengelolaan Hutan Produk Lestari, Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, serta Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Untuk direktorat perubahan iklim ini Siti ingin didukung tim advisory atau kepakaran, yang dirancang lebih teknis agar mencakup aspek-aspek kekuatan dukungan stakeholders gerakan sosial kemasyarakatan dalam dan luar negeri, termasuk skema pendanaan internasional.

Struktur LHK  belum teruji

Usulan Menteri Siti mendapat tanggapan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Abdon Nababan, Sekjen AMAN tidak setuju BP REDD+ bubar saat ini dan masuk ke Kementerian LHK.

Mengapa? Abdon punya beberapa alasan. Pertama, BP REDD+ baru terbentuk dan baru mulai kerja. Kedua, struktur Kementerian LHK baru dan belum teruji. Ketiga,  pada rancangan struktur Kementerian LHK masih bercokol Planologi Kehutanan yang menjadi jangkar doktrin kolonial sumber konflik dan korupsi. Keempat, setelah tatanan pemerintahan baru sudah efektif barulah dikaji kembali pembubaran BP REDD+.

“Saya mengusulkan kepada presiden agar memberi waktu dua tahun bagi BP REDD+ tetap ada dan bekerja bersama-sama atau bersebelahan dengan Kementerian LHK dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.”

Protes Planologi di LHK

Pernyataan resmi AMAN juga menyayangkan Ditjen Planologi masih ada dalam struktur Kementerian LHK. AMAN menyebut, Ditjen Planologi merupakan sumber utama penyebab pelanggaran hak-hak masyarakat adat, konflik dan korupsi sektor kehutanan. “Masih ada Ditjen Planologi dalam rancangan struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan sesungguhnya doktrin kolonial domain velklaring masih hidup dan menjadi roh di tubuh KLHK.”

AMAN mendesak, Presiden Jokowi agar urusan penunjukan, penataan batas dan pengukuhan kawasan hutan serta administrasi diserahkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Ditjen Planologi Kehutanan, cukup terkait urusan perencanan hutan. Ditjen Planologi dan Tata Lingkungan harus diubah menjadi Ditjen Perencanaan Lingkungan dan Kehutanan. “Jika Presiden Jokowi membiarkan Ditjen Planologi di LHK, berarti penjajahan masyarakat adat akan terus berlangsung. Presiden gagal revolusi mental,” demikian pernyataan AMAN.

Kasmita Widodo, koordinator BRWA (paling kiri) diikuti Hudoyo, staf ahli Menteri LHK; Abdon Nababan, Sekjen AMAN; Heru Prasetyo Kepala BP REDD+ dan Deny Rahadian, koordinator JKPP, usai menandatangani penyerahan peta wilayah adat di Jakarta, Senin (22/12/14). BP REDD+ menerima peta wilayah adat selaku wali data sementara. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version