Durpa Adnyana, petani 33 tahun ini menyajikan teh campur madu ramuan sendiri. Dua cangkir teh tandas sebelum dingin. Belasan turis asing membuat testimoni menyenangkan usai jalan-jalan di tengah hutan Desa Tenganan Pegringsingan, tertempel di tembok dan pondokan bambu.
Durpa, adalah penyakap (buruh kebun) yang berdampingan dengan kawasan hutan desa di Kabupaten Karangasem, Bali Timur. Dia dan warga lain punya kewajiban menjaga kelestarian hutan. Ada peraturan tertulis maupun lisan tentang perlindungan, seperti larangan keras menebang pohon dan berburu.
Sebelum ada Indonesia, desa ini sudah memiliki awig-awig (aturan adat tertulis) dalam menjaga hutan. Aturan itu, antara lain berbunyi, hutan adalah tanah di luar permukiman merupakan tanah perbukitan sekeliling wilayah desa. Lahan tidak boleh dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain di luar desa adat. Lahan harus tetap dijaga dan penebangan pohon boleh kalau sudah tua atau mati atas izin desa adat.
“Ada pernah dikeluarkan karena melanggar,” kata Durpa. Dia bukan asli Tenganan Pegringsingan. Leluhur dari desa lain di Karangasem tetapi sudah turun temurun menetap di sekitar hutan itu.
Selaras upaya perlindungan hutan desa, Durpa mengadaptasi kesepakatan dengan budidaya lebah madu terbatas. Dia menggantungkan wadah-wadah bambu bulat panjang sebagai rumah koloni di pepohonan dan dalam rumah.
“Kalau ada enam bongkahan berisi madu, hanya dua yang saya ambil. Kalau diambil semua, kita tidak berperasaan sama lebah.” Dia meyakini, lebah memberikan manfaat bagi manusia namun tak boleh rakus mengambil semua. Jadi, dia tak khawatir lebah bakal meninggalkan hutan.
Ada dua koloni yang menghasilkan jenis madu beda rasa. Pertama, lebah bunga mangga menghasilkan madu dominan manis segar. Kedua, lebah kele berukuran kecil seperti semut hitam dan menghasilkan madu rasa asam. “Madu kele diyakini ampuh mengobati banyak penyakit hingga diburu balian (seperti dukun tradisional).” Masa panen kelepun, lebih lama sekitar enam bulan sekali. Lebah mangga panen dua bulan sekali.
Tiap panen, dia mengolah sekitar 60 bongkah sarang lebah. Hasilnya, sekitar satu liter seharga Rp400.000. Artinya, tiap bulan Durpa mendapat penghasilan kurang Rp500.000. Namun, tak mendorong dia mengeksplotasi satwa liar dan hutan desa.
Hutan Tenganan Pegringsingan terlihat asri. Aneka pepohonan dan buah untuk upacara adat mudah dijumpai. Para turis asing menikmati arsitektur dan tata ruang desa unik ini. Durpa juga pemandu lokal.
Ada juga I Nyoman Suwita, yang kerap bertugas di pos sumbangan sukarela pintu masuk desa. Suwita ramah menyambut turis datang dan minta mereka menuliskan nama dan keterangan lain di buku sumbangan sukarela. Desa adat tak ingin mematok tarif masuk.
“Hutan desa terus didatangi monyet-monyet yang makan nenas saat panen,” kata Suwita. Nenas tumbuh di bebukitan Karangasem terkenal dengan rasa dan tekstur. Serbuan monyet ekor panjang (macaca) terjadi saat kemarau sampai hujan.
Dia mengatakan, warga sedang merencanakan ritual penyucian, salah satu agar tak terjadi konflik dengan primata liar itu.
Suwita, anak muda aktif dalam pemetaan tata ruang desa secara mandiri. Tujuannya, agar tak mudah dialihfungsikan oleh pemerintah.
Peraturan Daerah tentang RTRW Bali 2010 menyebut, kawasan lindung adalah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup mencakup sumberdaya alam. Tujuannya, meningkatkan fungsi lindung dari air, tanah dan mempertahankan keragaman hayati serta ekosistem maupun keunikan alam.
Yayasan Wisnu, sebagai mitra desa dalam pengembangan ekowisata memetakan vegetasi alam dan hutan, baik pohon, semak (perdu), dan tanaman di wilayah pertanian atau perkebunan. Pepohonan, seperti lamtoro, bunut, waru, mangga, delundung, nangka, kelapa, juwet, jambu air, sonokeling, albesia, durian, mangga, teep, beringin, gamal, jaka, sukun, bayur, melinjo, mahoni, belalu, kayu cang, ata, pangi, dan kepuh.
Tanaman semak seperti putri malu, rumput, pandan berduri, dan blatung. Sedang vegetasi di pertanian sawah adalah padi, lombok, kacang tanah, kacang panjang, jagung, ketela, dan sayur-sayuran. Di kebun, ada pisang, kopi, alpokat, rambutan, dan nenas.
Berdasarkan sangkep (rapat) tim tata ruang, kawasan lindung tidak boleh berubah fungsi. Hutan juga sebagai perkebunan yang sebagian besar oleh penyakap (penggarap). Luas kawasan hutan lebih 583.000 km2 merupakan perbukitan, dengan kemiringan rata-rata 40%.
Yayasan Wisnu mencatat, ada lahan telah disertifikasi menjadi milik pribadi. Milik negara disebut tanah GG. Awalnya, semua tanah milik komunal dan dikelola masyarakat. Untuk menjaga tanah tidak diperjualbelikan, desa adat memberlakukan awig guna pengaturan pemanfaatan kolektif.
I Nyoman Sadra, tokoh masyarakat Tenganan mengatakan, lahan desa tak boleh bersertifikat dan alihtangan. Menurut dia, pernah ada kejadian, warga kena sanksi karena mensertifikatkan tanah sebagai agunan pinjaman bank. “Dia kena denda desa.”
Berbeda dengan desa lain di Bali, warga Tenganan meyakini desa merupakan hadiah Dewa Indra. Mereka penganut kepercayaan Hindu beraliran Indra. Dewa Indra sebagai dewa perang mempengaruhi struktur permukiman desa terkait pertahanan diri. Struktur dinamakan ”jaga satru” artinya waspada terhadap musuh, dilindungi benteng dengan empat pintu di setiap mata angin. Salah satu ritual paling terkenal, mekare-kare atau perang pandan.