Mongabay.co.id

Soal Usul BP REDD+ Lebur di Kementerian LHK, Inilah Tanggapan Mereka

AMAN menilai, BP REDD+ bak alat diagnosis beragam masalah. Sedang bagi Greenpeace, badan ini bisa jadi agen akselerasi perubahan. Dalam masa ini, saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, baru ‘hidup’ dengan budaya Kementerian Kehutanan yang dipastikan masih kuat,  sangat rawan menggabungkan BP REDD+ ke kementerian ini.

Era pemerintahan Presiden Joko Widodo, usia BP REDD+ baru setahun lebih tetapi kini mengalami ketidakjelasan status. Padahal, masa pembentukan saja memakan waktu sekitar tiga tahun. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ingin badan ini lebur menjadi bagian dalam Direktorat Perubahan Iklim. Berbagai kalangan menilai terlalu rawan karena kementerian ini baru terbentuk, dan khawatir kefleksibelan badan ini hilang dan agenda mandek.

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, ada risiko besar kalau dalam waktu dekat presiden meleburkan BP REDD+ ini dengan Kementerian LHK.  Mengapa? “Kementerian LHK baru lebur. Apalagi dengan paradigma di kehutanan terhadap masyarakat adat selama ini.  Mau bereskan ini saja mungkin dua tahun.”

Untuk itu, AMAN akan meminta resmi kepada presiden dapat mempertahankan BP REDD+ setidaknya dalam dua tahun ke depan. “Sampai semua sistem di LHK siap dan paradigma mereka bener. Minimal, dua tahun ini BP REDD+ hidup dan bersama-sama masyarakat adat,” ujar dia.

AMAN,  katanya, sebenarnya tak mempersoalkan siapa yang akan mengurus masyarakat adat. “Tapi saya mau mengatakan, kalau urusan baru mulai bekerja dengan benar, kok mau dibubarkan?”

Bagi dia, BP REDD+ merupakan media transformasi. “Reduce emission itu bonus karena kita bisa sumbang lebih besar. Lewat badan itu banyak masalah terbongkar,” katanya dalam diskusi catatan awal tahun BP REDD+ di Jakarta, Kamis (15/1/15).

Sebenarnya, REDD+ itu investasi yang tak komersial. “Ketika investasi tak pakai duit suap menyuap memang jadi terbuka. Ini sulit di Indonesia karena ketidakpastian luar biasa. Batas-batas tanah tak jelas. Izin tumpang tindih. BP REDD ini ada sebagai alat diagnosis.”

Kini penguasa berubah. Jangan sampai, katanya, pemerintahan baru tak tahu kerja-kerja BP REDD+. “Diagnosis ini akan menyembuhkan kalau ke dokter yang benar,  kalau dokter salah,  maka sakit makin parah.”

Sejak Indonesia merdeka, kata Abdon, masyarakat adat belum hadir di dalam negara. Meskipun ada dalam UU Pokok Agraria Tahun 1960. “Tetapi sampai sekarang tak ada administrasi buat hak ulayat. Disebut UUPA dan tak pernah dilaksanakan. UUPA bubar setelah UU Kehutanan hadir. Tak penah masyarakat adat hadir. Bahkan, kala masyarakat adat masih beragama leluhur tak bisa dapat KTP. Bayangkan. Ada persoalan.”

Dalam menghadirkan masyarakat adat di dalam negara inilah, katanya, UKP4 dan BP REDD+ banyak berperan. Setelah satu tahun BP REDD+, ada banyak kemajuan buat pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. “Saya tak bisa anggap enteng kontribusi UKP4 dan BP REDD+. Ini sangat penting.”

Satu contoh teranyar, BP REDD+ mengambil peran sebagai walidata peta wilayah adat sementara. Setelah terima peta, diperiksa dan dicek. “Hal sama kami lakukan dengan BIG. Peta adat diserahkan pada 2012, dan kami tak tahu apa yang sudah dilakukan.”

“Terima kasih atas keberanian BP REDD+ ambil jadi walidata sementara. Selama ini, belum orangnya, data aja gak ada yang urus. Keberanian BP REDD jd walidata itu suatu kebanggaan, walaupun BP REDD masa depan belum jelas.”

Abdon kembali mengenang  pada 2010,  ketika ada pembicaraan antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia, Agus Purnomo, kala itu staf alhi presiden  meminta bagaimana peran masyarakat adat. “AMAN minta ada penataan izin-izin, ada lembaga atau wajah negara yang bisa adukan persoalan masalah-masalah masyarakat adat. Komitmen presiden buat turunkan emisi karbon serahkan saja ke masyarakat adat. Saya ingin pastikan masyarakat adat itu bagian dari negara.” Lalu, Abdon bertemu Kuntoro Mangkusubroto, selaku kepala UKP4. “Pak Kun bilang ok, sebagai kepala UKP4, mau masyarakat adat hadir dulu dalam negara.”

Bustar Maitar, Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia Greenpeace mengatakan, kehadiran BP REDD+ membuat akselerasi perubahan atau reform yang selama ini diinginkan di darat laut dan udara. “Menurut saya masih dibutuhkan buat akselerasi itu. BP REDD+ harus bisa bantu akselerasi dorong tata kelola. REDD itu hanya satu bagian. Buat capai itu dorong perbaikan tata kelola. Itu yang susah. Saya lihat, saat ini mengakselerasi kementerian masih susah. Dengan BP REDD+ ada di luar kementerian malah bisa ambil bagian.” 

Pemerintahan baru, katanya, ada harapan besar kepada Presiden Jokowi. “Bagaimana dengan menteri? Apakah optimis? Belum juga karena banyak yang datang dari parpol,” ucap Bustar. Dalam kondisi seperti ini, katanya, BP REDD+ jangan dulu lebur dengan Kementerian LHK.

Bustar belum percaya karena Kementerian LHK baru, leburan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Karena dalam bertahun-tahun  partai politik sebagai perpanjangan tangan untuk kepentingan politik. Biarlah ini berjalan dulu sampai beberapa tahun ke depan. Baru dinilai pantas atau tidak dilebur.”

Kasmita Widodo, koordinator BRWA (paling kiri) diikuti Hudoyo, staf ahli Menteri LHK; Abdon Nababan, Sekjen AMAN; Heru Prasetyo Kepala BP REDD+ dan Deny Rahadian, koordinator JKPP, usai menandatangani penyerahan peta wilayah adat di Jakarta, Senin (22/12/14). BP REDD+ selaku walidata peta adat sementara tetapi nasib badan ini belum jelas. Apakah peta adat ini akan mengalami nasib sama dengan peta-peta yang diserahkan pada 2012 kepada BIG tanpa kejelasan? Foto: Sapariah Saturi

Bagi dia, BP REDD+ ini agenda transpormasi dan perubahan. Selama ini, katanya, BP REDD+ tak berjalan sendiri. Mereka melibatkan berbagai kalangan, dari masyarakat sipil hingga akademisi. “Datang ke sana tak susah. Ini yang dirindukan dari pemerintahan sebelumnya. Dengan ini bisa duduk bersama. Ada otoritas lain dan diskusi cari jalan terbaik. Dukungan industri juga meningkat dan banyak komitmen dibuat dan dilaksanakan. Walau ada juga yang baru komitmen” Namun, katanya, masih banyak perusahaan di Indonesia tak berkomitmen tak babat hutan alam dan selesaikan konflik. “Ini bagian proses yang bisa digiring BP REDD+ ke depan,” kata Bustar.

Dia juga memberikan catatan ke depan, bagaimana menjadikan BP REDD+ gerakan dan membumi serta masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari inisiatif ini.  “Jika bicara REDD turunkan emisi itu tak sebatas tak boleh tebang tetapi bisa bermanfaat maksimal buat pencapaian ekonomi masyarakat. Lindungi lingkungan tetapi masyarakat di pedalaman dan kampung bisa rasakan manfaat ekonomi dari REDD itu.”

Dalam diskusi itu, Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ memaparkan capaian-capaian dalam 2014 dan rencana kerja 2015. Hadir dalam acara itu perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, perwakilan kementerian. Ada Duta Besar Norwegia Stig Traavik, Beathe Trankmann Direktur UNDP Indonesia dan lain-lain.

Gerakan perubahan

Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ mengatakan, dari awal menyadari, agenda REDD+ yang ditugaskan punya rentang 2010-2020 guna menuju komitmen presiden pengurangan emisi karbon 26% sampai 40%. Lembaga ini, katanya dibangun lewat pendekatan multistakeholders dari masyarakat, pemerintah, swasta sampai akademisi. “Hingga REDD+ bukan program atau proyek tetapi movement. Badan dibentuk presiden, tugas lintas sektor dan lintas disiplin ilmu.”

BP REDD+, katanya, mengupayakan gerakan nasional yang dilakukan oleh semua pihak. “Kami ingin gerakan ini berkelanjutan, mengubah paradigma, dan menjadi agenda reformasi kongkrit.”

Dalam 2014, badan ini membangun indikator penyeimbang antara penurunan emisi, ekologi dan ekonomi lewat REDD+, action and performance indicator (RAPI).

“Misal, daerah ada ekonomi bagus, lingkungan hancur, ada ekonomi jelek tetapi ekologi bagus. Nah, BP REDD+ turun  buat perbaiki kondisi itu.” .

Setahun lalu, BP REDD+ menjalin kerja sama dengan 11 provinsi dan 76 kabupaten yang memiliki hutan dan lahan gambut. Provinsi-provinsi ini meliputi Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Papua Barat, dan Papua.

Tahun ini, jejaring akan makin diperkuat dan dikapitalisasi ke tingkat nasional melalui program strategis dalam 10 aksi imperatif. Sepuluh agenda itu yakni, memantau moratoriumdan  one map, penataan perizinan berbasis lahan, dan dukungan penegakan hukum. Lalu, pemetaan hutan adat dan pengembangan kapasitas masyarakat adat, pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut, desa hijau, dan sekolah hijau. Ditambah lagi, dukungan pada perencanaan tata ruang, dukungan resolusi konflik, dan program strategis penyelamatan taman nasional dan hutan lindung.

Agenda pemantauan moratorium, katanya, lewat aktivasi situation room. “Usaha ini sambil menjaga moratorium ditaati. Pada 2013, moratorium diperpanjang. Transparansi peta indikatif penundaan izin baru, tiap enam bulan direvisi dan diunggah.”

Pada 2015, BP REDD+ mengharapkan ketegasan pemerintah memperpanjang moratorium izin hutan dan lahan gambut dengan ukuran bukan tahun tetapi capaian. Lalu, menyediakan laporan reguler dari situatuion room di tiga lokasi, yakni, Riau, Jambi dan Kalteng. “Mereka monitor lapangan dan laporkan capaian dalam kaitan moratorium.”

Mengenai one map, selama ini, citra satelit tersebar dan untuk mendapatkan berbagai data itu Lapan harus memiliki alat. ”BP REDD+ beri alat itu.” Terkait, peta tematik juga dibuat percontohan di Kalteng. Ada 67 lapis informasi di atas peta satu itu. “Ini sudah disampaikan ke BIG untuk dikelola. Nanti akan ada walidata untuk sambung dan sahkan itu buat jadi informasi tunggal.”

Rencana tahun ini, katanya, menambahkan peta masyarakat adat ke dalam one map. BP REDD+ sudah menjadi walidata sementara. “Peta adat ini nanti harus ada dalam peta nasional sebagai satu tema penting buat lahan dan hutan dengan hak dan benar,” kata Heru.

Dia menambahkan, pada 2014, BP REDD melakukan penataan perizinan berbasis lahan, bersama UKP4, KPK dan provinsi di Kalteng. Juga mendukung Kementerian LHK dalam pengukuhan kawasan hutan, dengan metode klaim dan verifikasi.

Dalam tahun ini, badan ini ingin mendorong penataan perizinan, misal bekerja sama dengan BKPM dalam mengembangkan satu perizinan terpadu. “BP REDD+ akan mengawal, bahwa yang akan masuk itu sesuai rencana dan memberikan pemastian itu terjadi. Memastikan aksi itu sampai sesuai rencana.”

BP REDD+ juga mendukung pendekatan multidoor atau penegakan hukum berlapis. “BP REDD+ kerja sama dengan UKP4. Juga dukung pelatihan terintegrasi dengan penegak hukum dan meeting rutin, misal buat penanganan kebakaran  hutan dan lahan.”  Saat ini, memonitor kasus penegakan hukum di Riau. Bersamaan dengan itu, perusahaan ingin memperbaiki tata kelola lewat audit kepatuhan. Tahun ini, BP REDD+ akan memfasilitasi pemberantasan mafia sumber daya alam. “Badan ini berupaya memastikan apa yang dilakukan kementerian jalan dengan baik dan benar.”

Exit mobile version