Mongabay.co.id

Kembangkan Tanaman Pangan, Mentan “Minta” 1 Juta Hektar Kawasan Hutan

Kementerian Pertanian berencana mengembangkan tanaman pangan, seluas satu juta hektar dan meminta penyediaan lahan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lahan seluas itu, untuk membangun 10 pabrik gula sekaligus kebun dan tanaman palawija serta padi. Kedua menteripun bertemu pada 8 Januari lalu membahas ini.

Amran Sulaiman, Menteri Pertanian mengatakan, keperluan lahan ini untuk membangunan 10 pabrik beserta kebun seluas 500.000 hektar. Sisanya, sekitar 500.000 hektar buat tanaman palawija dan padi.

Dari perhitungan, katanya, satu unit pabrik dan kebun tebu memerlukan sekitar 50.000 hektar, dari bangunan, jalan, sungai, sampai alur alam. “Kalau 10 unit, ya sekitar 500.000 hektar,” katanya, belum lama ini di Jakarta.

Untuk 500.000 hektar yang lain, kemungkinan dibangun food estate, untuk palawija seperti jagung dana kedelai, serta padi.

Dia diam sebentar kala diingatkan kalau Kementerian Pertanian pernah punya program food estate, yang dikenal dengan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), juga melepaskan ratusan ribu hektar kawasan hutan. Namun, hingga kini baru sukses ‘menyulap’ hutan jadi lapangan tetapi ‘swasembada pangan’ yang digembar-gemborkan tak ada. Bahkan, serangan investasi skala besar menciptakan konflik dengan warga adat yang kehilangan tempat hidup. “Lihat dulu dimana yang cocok, masih cek kondisi lahan, elevasi, kontur. Harus ahli yang lakukan,” ujar dia.

Apakah akan melihat lahan-lahan yang pernah dicanangkan menjadi food estate di Merauke? “Bisa saja kita cek kalau sesuai kita lanjutkan.”

Menurut dia, pengembangan ini guna mencapai swasembada pangan yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo. Namun, dia belum menargetkan kapan mulai berjalan. “Doakan secepatnya. Saya sudah sampaikan ini pada rapat kabinet.”

Kebun tebu PTPN di Sulawesi Selatan. Kebun terkesan tak terurus dan banyak lahan ‘nganggur.” Proses pengambilan lahan juga bermasalah karena banyak yang dikelola warga, hingga kehadiran kebun yang digadang-gadang buat pemenuhan pasokan gula nasional malah menyusahkan warga sekitar. Penyediaan lahan kawasan hutan pemerintah saat ini mesti belajar dari pengalaman-pengalaman buruk ini. Foto: Sapariah Saturi

Saat ini, katanya, terjadi penurunan rumah tangga petani dari 31 juta menjadi 26 juta, atau sekitar 500 ribu per tahun. “Ini harus diganti dengan alat pertanian. Jadi, kita bicarakan yang satu juta hektar ini.”

Siapa yang bakal mengelola? “Bisa BUMN, bisa swasta,” kata Amran.

Dia mengatakan, pemerintah menargetkan swasembada pangan padi, kedelai dan jagung. Untuk mencapai itu dilakukan berbagai hal, antara lain perbaikan irigasi rusak sekitar tiga juta hektar, pemberian benih, distribusi pupuk yang selama ini kerab terlambat, penyediaan alat pintal sampai pengembangan lahan baru.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, sudah bertemu Mentan dan membahas permintaan lahan. Kementerian LHK,  menyiapkan lahan dengan melihat potensi yang ada dan bisa dipakai untuk keperluan tanaman pangan dengan syarat tanaman padi, palawija, dan tebu. Referensi lokasi dari Kementerian Pertanian.

Beberapa rencana awal lokasi tanaman pangan, yaitu Kalimantan Tengah 119.000 hektar dan Kalimantan Barat 178.000 hektar. Di area PT. Inhutani 100.000 hektar dan KPH 100.000 hektar untuk tanaman pangan. Untuk tebu di Sulawesi Tenggara 300.000–400.000 hektar, serta Gorontalo dan Sulawesi Tengah 100.000–200.000 hektar.

Rencana ini, katanya,  lebih rinci didalami bersama antara Dirjen LHK dan Kementan, antara lain, mengenai pola manajemen yang akan dipakai, misal, menggunakan tenaga kerja masyarakat lokal. Pada dasarnya usaha tani rakyat memerlukan orang kerja cukup banyak terutama padi dan palawija.

Menurut Siti, permintaan lahan pertanian lagi deras ke Kementerian LHK. Tak hanya Kementerian Pertanian, juga dari pemerintah-pemerintah daerah. “Yang sudah datang, Menteri Pertanian satu juta hektar, dan Pemerintah NTT mau bikin agrosilvopastur, minta 50.000 hektar. Lampung buat tanaman pangan minta 117.000 hektar. Jadi kita masih diskusikan terus. Begitu ada permintaan, saya langsung minta dirjen cek.”

Penyediaan lahan ini, kataya, tetap berpegang pada visi presiden, ketahanan pangan dengan pembangunan berkelanjutan yang kongkrit.  Jadi, kata Siti, penyediaan lahan terpenuhi, tetapi berhati-hati betul. “Jangan sampai lepas dari observasi lapangan. Terjemahkan, kebijakan hati-hati. Persyaratan konservasi tinggi, juga perspektif ekonomi di depan. Mau pertumbuhan ekonomi tinggi, artinya ada pengelolaan dan eksploitasi.”

Jangan abai lingkungan dan masyarakat

Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace di Indonesia, menanggapi rencana ini. Menurut dia, dalam menyediakan lahan, harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, apakah lahan itu dari sisi lingkungan hidup masih berhutan atau memiliki nilai ekologi tinggi. Kedua, bagaimana  kondisi lahan apakah dalam kelola masyarakat atau masuk wilayah adat.

Greenpeace menilai, pengembangan pangan itu hal penting bagi pemerintah dan harus dilakukan. Namun, katanya, pertimbangan kelangsungan lingkungan hidup dan masyarakat,  sangat penting.

Selama ini, Kementerian Kehutanan, menyatakan, masih ada jutaan hektar lahan terdegradasi  yang belum termanfaatkan. “Sebaiknya itu dilihat terlebih dahulu, apa mungkin dikembangkan. Baru lihat areal lain yang masih berhutan. Bukan tak boleh tapi harus berhati-hati,  dengan memperhatikan kelangsungan hutan dan lingkungan hidup.”

Para petani yang aksi karena lahan tanam mereka tak pasti, kalau tidak  dikuasai perusahaan ya  negara. Pemerintah mau ekspansi lahan pertanian  buat swasembada pangan, dengan membuka satu juta hektar kawasan hutan, tetapi pelaksana cenderung BUMN dan swasta. Mengapa tidak ribuan bahkan jutaan petani di negeri ini yang berteriak meminta lahan demi kelangsungan pertanian mereka ini yang   diberi lahan kalau memang sasaran ketahanan pangan? Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version